Pemerintah Indonesia resmi mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli 2017. Dengan pencabutan status tersebut, HTI resmi bubar.
Pembubaran oormas keislaman tersebut memiliki tiga alasan. Pertama, HTI dianggap tidak melaksanakan peran positif dalam proses pembangunan. Kedua, HTI terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, HTI dinilai menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan da ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, HTI adalah organisasi yang berafiliasi ke Hizbut Tahrir (HT). HT didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani di Palestina pada tahun 1953. HT dan HTI memiliki visi dan ideologi politik yang sama, yaitu penegakan sistem khilafah Islamiyah.
Bagi HTI, khilafah merupakan satu-satu sistem politik yang sesuai dengan Alquran dan sunnah. Maka, selain sistem khilafah dianggap sistem yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sementara itu, Muhammadiyah secara resmi telah mengakui bahwa Indonesia adalah Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah. Artinya, Indonesia merupakan negara hasil konsesnsus nasional dan tempat pembuktian untuk menjadi negara yang aman dan damai.
Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia adalah ideologi negara yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa Pancasila itu Islami karena substansi pada setiap silanya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam Pancasila terkandung ciri keislaman dan keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme religius), hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran.
Sementara itu, perbedaan lain antara Muhammadiyah dengan HTI adalah HTI tidak mengakui tasawuf sebagai ajaran Islam. Menurut HTI, tasawuf berasal dari India dan tidak berasal dari Islam.
Di sisi lain, Muhammadiyah mengakui tasawuf. Secara garis besar, corak tasawuf yang diterima di Muhamamdiyah adalah tasawuf akhlaki, yang menjadikan ihsan sebagai landasan utama. Bukan tasawuf dan tarekat yang mengamalkan ajaran-ajaran yang tidak memiliki dasar dalam Alquran dan sunnah.
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, HTI juga menolak hadis ahad dan hanya mengakui hadis mutawatir. Sedangkan menurut Muhammadiyah, hadis yang dapat diterima adalah al-sunnah al-maqbulah. Yang termasuk maqbulah adalah hadis shahil lidzatihi, shahih lighairihi, hasan lidzatihi, dan hasan lighairihi.
Perbedaan lainnya adalah dalam penggunaan hisab/rukyat dalam penentual awal bulan hijriah. HTI menggunakan konsep atau kriteria rukyat global. Apabila di muka bumi ada satu tempat yang berhasil melihat hilal, maka seluruh dunia sudah masuk bulan baru.
Sedangkan, sebagaimana kita tahu, Muhammadiyah menggunakan hisab untuk menentukan awal bulan hijriah dan sedang mengusahakan terwujudnya kalender Islam global.
Sumber: Majalah SM No 14 Tahun 2021
kalau muhammadiyah bisa menerima sistem demokrasi kapitalis yg dibentuk org kafir, kenapa tidak mau menerima dan atau meneliti dan menyempurnakan sistem khilafah yg notabene digagas oleh pemikir muslim? jk yakin islam rohmatan lil “alamin, seharusnya yakin dengan sistem yg telah dipakai pada jaman rosul SAW dan khulafaur rosyidin dalam menjalankan pemerintahan bukan justru menolaknya.