IBTimes.ID – Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, tarekat adalah jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, keadaan dan atau tiang tempat berlabuh. Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan diri yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendapatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.
Majelis Tarjih menggarisbawahi bahwa sebagai jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, orang yang melakukan tarekat tidak dibenarkan meninggalkan syariat. Bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syariat agama.
Agar dapat melaksanakan tarekat dengan baik, seorang murid hendaknya mengikuti jejak dan melaksanakan perintah serta anjuran yang diberikan mursyid atau gurunya. Ia tidak boleh mencari-cari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang sudah ditetapkan. Dengan segala kekuatannya ia harus mengekang hawa nafsunya untuk menghindari dosa dan noda yang dapat merusak amal.
Selain itu, ia juga harus memperbanyak zikir, wirid dan doa, serta memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin. Untuk tidak melanggar hukum-hukum agama, murid harus belajar ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat.
Tarekat banyak muncul pada abad keenam dan ketujuh Hijriah, ketika tasawuf menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam dan dijadikan sebagai filsafat hidup. Pada periode ini tasawuf memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus. Sedangkan sebelumnya, tasawuf dipraktikkan secara individual di sana-sini tanpa adanya ikatan satu sama lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, sebagaimana ditulis oleh Bisri M Djaelani, tarekat menjadi semacam organisasi atau perguruan, dan kegiatannya pun semakin meluas, tidak terbatas hanya kepada zikir dan wirid atau amalan-amalan tertentu saja, tetapi juga pada masalah-masalah lain yang bersifat duniawi.
Tarekat terbelah menjadi beberapa golongan, di antaranya Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Sammaniyah, Tarekat Tijaniyyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat Shiddiqiyah dan lain-lain.
Tarekat Shiddiqiyah merupakan satu-satunya dari 46 tarekat yang berkembang di dunia, yang berpusat di Indonesia. Yaitu di desa Losari Kecamatan Ploso Kabupaten Jombang Jawa Timur. Tarekat ini sesungguhnya pernah muncul di beberapa negara, akan tetapi kemudian hilang. Hanya di Jombang itulah satu-satunya kelompok tarekat yang masih tersisa dan eksis hingga hari ini. Nama tarekat ini menurut mursyidnya, Kyai Muchtar Mu‘thi, dinisbatkan kepada Abu Bakar al-Shidiq.
Beberapa ajaran pokok dari tarekat Shiddiqiyah ini adalah: (1) doktrin teosofi, dan (2) pandangan tentang manusia dan kebangsaan. Doktrin teosofi adalah konsep yang menggambarkan kebijaksanaan ketuhanan terkait dengan upaya manusia untuk membangun hubungan yang harmonis dengan tuhannya.
Dengan demikian, dalam konteks ini menurut tarekat Shiddiqiyah, manusia memerlukan seperangkat pemahaman dan pengetahuan terkait dengan dirinya sendiri sebagai hamba, alam sebagai tempat manusia berada serta Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Mencipta. Teosofi mengarahkan sebuah proses praktis yang memberi arah bagaimana manusia melakukan teknik-teknik mendekatkan diri pada Allah yang ditempuh dengan bentuk-bentuk ritual zikir dan sebagainya.
Pokok pangkal ajaran tarekat Shiddiqiyah adalah Lailahaillallah. Kalimat Lailahaillallah dalam perspektif tarekat ini memiliki banyak nama, antara lain kalimat tauhid, kalimat ‘urwatul wutsqo, dan lain-lain. Kalimat Lailahaillallah yang jumlah hurufnya ada 12 ini, kemudian menurut mereka memiliki kaitan dengan kehidupan manusia. Yaitu: usia manusia semalam 12 jam, usia manusia siang 12 jam, dan satu tahun ada 12 bulan.
Tidak berhenti di situ, mereka kemudian mengaitkan dengan hal-hal lain yang tidak memiliki dasar argumentatif dalam nas agama (lihat selengkapnya dalam Muhammad Shodiq, Tarekat Shiddiqiyyah di Tengah Masyarakat Urban Surabaya, 2016).
Ajaran pokok kedua tarekat Shiddiqiyah tentang pandangan manusia dan kebangsaan dapat dijumpai dalam 8 Kesanggupan yang menjadi pedoman mereka. 8 Kesanggupan itu ialah: (1) Sanggup taat kepada Allah Ta’ala, bakti kepada Allah Ta’ala; (2) Sanggup taat kepada Rasulullah, bakti kepada Rasulullah; (3) Sanggup taat kepada orang tua (Ibu-Bapak); (4) Sanggup bakti kepada sesama manusia; (5) Sanggup bakti kepada Negara Republik Indonesia (untuk warga Negara Indonesia); (6) Sanggup cinta tanah air Indonesia (untuk warga Negara Indonesia); (7) Sanggup mengamalkan tarekat Shiddiqiyyah; (8) Sanggup menghargai waktu (Selengkapnya lihat dalam Muhammad Shodiq, Tarekat Shiddiqiyyah di Tengah Masyarakat Urban Surabaya, 2016).
Dalam Muhammadiyah, menurut Majelis Tarjih dan Tajdid, istilah tarekat hampir tidak pernah digunakan. Baik sebagai landasan berpikir maupun implementasi gerakan. Hal ini karena Muhammadiyah memiliki manhaj tersendiri yang berbeda dengan tarekat pada umumnya.
Sikap Muhammadiyah terkait tarekat secara umum dapat terbaca dalam fatwa tarjih yang terbit pada Majalah Suara Muhammadiyah Nomor 3 Tahun 2015. Sikap ini pada gilirannya dapat dijadikan pijakan untuk melihat tarekat Shiddiqiyyah atau tarekat-tarekat yang lain. Ketika itu ada seorang penanya yang menanyakan alasan Muhammadiyah tidak bertarekat.
Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa meskipun tujuan ibadah dari Muhammadiyah dan tarekat secara umum sama. Yaitu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun dalam praktiknya terdapat beberapa hal yang berbeda. Realisasi Muhammadiyah dalam mendekatkan diri kepada Allah dijelaskan dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) butir ke-3 dan ke-4.
Dalam butir ke-3 MKCH, dijelaskan bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: (a) al-Qur’an: kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw; dan (2) Sunnah Rasul: penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Adapun dalam butir ke-4 MKCH, ditegaskan bahwa Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: (a) akidah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; (b) akhlak. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; (c) ibadah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah saw, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; dan (d) muamalah duniawiyah. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya muamalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah swt.
Lebih penting lagi, Muhammadiyah baru-baru ini sedang mengembangkan produk Tarjih berupa Risalah Akhlak. Di mana di dalamnya dibahas bagaimana posisi dan urgensi akhlak menurut Muhammadiyah. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa corak tasawuf yang diterima di Muhamamdiyah adalah tasawuf akhlaki, yang menjadikan ihsan sebagai landasan utama; bukan tasawuf dan tarekat yang mengamalkan ajaran-ajaran yang tidak memiliki dasar dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Sumber: Majalah SM No 14 Tahun 2021