Falsafah

Fazlur Rahman: Tuhan Tidak Pernah Mengatakan Diri-Nya Ada

3 Mins read

Dalam forum-forum diskusi pembahasan mengenai Tuhan selalu menjadi pembahasan yang menarik dan menggoda. Sejak dulu sampai dengan sekarang pembahasan tentang-Nya tak pernah selesai. Sebab pendapat dan pemikiran tentang Tuhan tidak pernah atau bahkan tidak akan mungkin mencapai kebenaran yang absolut atau mutlak. Gambaran tentang-Nya selalu subjektif. Karena bergantung pada pengalaman dan kelas pengetahuan masing-masing personal.

Pembahasan tentang Tuhan selalu bernasib sama dengan penjelasan mengenai definisi cinta. Sebagaimana Tuhan, pembahasan tentang cinta pun tak kunjung habis-habisnya. Entah telah berapa ribu definisi tentang cinta yang dikemukan. Semua orang punya persepsi tentang cinta. Pengertian cinta Rumi berbeda Iqbal. Iqbal berbeda dengan Kahlil Gibran. Begitu seterusnya. Mungkin sampai dengan bumi ini wafat.

Demikian pula dengan Tuhan. Wacana-wacana tentang-Nya akan terus bergulir hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Karenanya apa yang menjadi pembahasan tentang Tuhan di sini hanyalah setitik dari lautan pemikiran mengenai Tuhan.

Sekilas tentang Fazlur Rahman

Siapa yang tidak mengenal sosok satu ini: Fazlur Rahman, Pemikir Raksasa Islam di abad modern. Lahir di Pakistan dan kemudian melakukan pengabdian intelektualnya di Universitas Chicago, Amerika hingga akhir hayatnya. Semasa hidupnya, ia sering ditahbiskan dan dielu-elukan sebagai Maha Guru Pencerahan berkat kiprah murid-muridnya yang ada di seantero negeri muslim. Di Indonesia, murid-muridnya telah tampil menjadi suluh bagi bangsa ini: Ahamd Syafii Maarif dan Nurcholis Madjid.

Karya-karyanya begitu fenomenal dan mungkin terbilang ‘viral’ kalau menggunakan bahasa sekarang, khususnya di kalangan penggiat kajian islamic studies atau pemikiran Islam. Analisisnya tajam dan solusi-solusi yang ditawarkannya selalu tepat sasaran dan menusuk jantung persoalan. Khusus dalam tulisan ini, hal yang akan diulas dari pemikiran Fazlur Rahman adalah pemikirannya tentang Tuhan.

Baca Juga  Al-Ghazali, ‘Illat, dan Fleksibilitas Hukum

Tuhan dalam Al-Qur’an

Banyak yang mungkin tak menyadari kalau Tuhan tidak pernah mengatakan diri-Nya ada. Coba perhatikan dengan saksama ayat-ayat yang berbicara tentang Tuhan dalam al-Quran. Fazlur Rahman menyebutkan, seluruhnya hampir tidak ada yang menyebutkan bahwa Tuhan pernah berfirman kalau diri-Nya ada. Seluruhnya hanya berbicara mengenai sifat Tuhan atau yang lazimnya kita sebut dengan sebutan asma al-husna.

Contoh surah al-Ikhlas. Tidak ada dari bagiannya yang menyebut bahwa Tuhan mengatakan diri-Nya ada. Yang ada ialah hanya penggambaran sifat-sifat Tuhan seperti Tuhan itu Esa (qul huwa allahu ahad), tempat segala sesuatu bergantung (allahu ash-shamad), tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (lam yalid wa lam yu lad) dan bahwa tidak ada sesuatu yang mirip dengan-Nya (lam yakun lahu kufuwan ahad). Begitu pula dengan ayat-ayat lain. Hanya menggambarkan Tuhan sebagai Zat yang Maha Pengampun, Maha Pengayang, Maha Pengasih, Maha Perkasa dan lain-lain.

Menurut Rahman, Tuhan tidak pernah mengatakan diri-Nya ada sebab Dia menginginkan adanya Dia dikenal dengan keberadaan ciptaan-Nya. Dengan ciptaan-Nya yang ada ini manusia diharapkan dapat melakukan pengembaraan yang nantinya akan menghantarkan dia sampai ke telos, yakni kesimpulan tentang bahwa Tuhan itu benar-benar ada (Fazlur Rahman, 2017: 15). Hal ini semakin dikuatkan dengan adanya hadis qudsi di mana Allah berfirman kepada Rasulullah: Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin dikenal maka Kuciptakan mahluk.

***

Bagi penulis, pandangan Rahman yang demikian adalah bentuk keterpengaruhannya dari gagasan Aristoteles tentang prima causa. Setelahnya ia mencari pandangan al-Quran atasnya: setuju atau menolak. Dan ternyata, setelah melalui penelitiannya terhadap al-Quran, pandangan Aristoteles yang demikian senafas dengan ajaran al-Quran. Sebab membaca tanda-tanda keberadaan Tuhan melalui sebab-sebab yang ada pada alam ini.

Baca Juga  Teori Kognitif Sosial: Berpikirlah Sebelum Berbuat!

Aristoteles mempertanyakan, apakah sesuatu yang ada di dunia ini ada dengan sendirinya tanpa ada sebab? Ia menjawabnya sendiri kalau hal itu tidak mungkin. Pasti ada yang ada menjadi sebab utama dari segala sesuatu ada di dunia ini. Aristo (panggilan akrab aktivis bagi Aristoteles) menamakannya sebagai prima causa yang kemudian oleh orang-orang beragama diterjemahkan sebagai Tuhan (Mulyadhi Kartanegara, 2017: 18).

Dengan tidak pernah mengatakan diri-Nya ada, Tuhan sebenarnya ingin menunjukan kalau Dia tidak butuh pengakuan. Sebab tanpa diminta, manusia yang aktif melakukan tadabbur terhadap alam raya ini, ingin atau tidak ingin, pasti akan segera mengakui beradaan-Nya.

Dengan logika sehari-hari kita juga dapat memahami bahwa sikap Tuhan yang seperti itu adalah praktek dari ungkapan klasik bahwa orang akan lebih percaya kita sebagai penulis dengan menunjukan karya kita daripada menjelaskan secara panjang lebar kalau kita telah menulis buku ini dan itu.

Misal, dalam bergaul dengan orang yang belum mengenal kita, baiknya kita tidak perlu mengatakan kalau kita pernah menjadi juara kelas atau juara umum selama sekolah di pesantren. Sebab tanpa diberitahu, teman kita akan sendirinya mengakui kita orang cerdas jika memang ia melihat pancarannya pada bobot dan isi kualitas pembicaraan kita selama berbicara dengannya.

***

Justru orang akan memandang kita remeh dan menganggap kita hanya jago berbicara jika hanya mengatakan pada orang lain kalau kita cerdas, sedangkan kualitas ilmu kita saat berbicara dengannya tidak mencerminkan kecerdasan kita. Oleh karena itu, Tuhan bisa saja menggunakan alasan itu ketika tidak pernah mengatakan diri-Nya ada.

Kita mungkin juga dapat berkata bahwa alasan dibalik ketidakinginan Tuhan untuk mewartakan diri-Nya ada ialah karena menganggap manusia dengan rasionalitasnya mampu untuk mencapai pengetahuan tentang keberadaan Tuhan tanpa harus terlebih dahulu dituntun oleh dogma-dogma.

Baca Juga  Filsafat Mengajarkan Beragama dengan Pikiran, Bukan Kekonyolan

Teruntuk orang-orang yang beranggapan bahwa dunia ini tidak dapat menjadi titik tolak untuk mengetahui keberadaan Tuhan karena dunia ini tercipta dengan sendirinya, Rahman punya kiasan yang menarik. Ia menggambarkan orang-orang yang demikian sebagai seorang anak kecil yang diberi mainan dan berkata bahwa mainan itu niscaya dan ada dengan sendirinya. Sangat tidak masuk akal.

Manusia dapat mengenal Tuhan melalui keberadaan mahluk-mahluk-Nya. Karena menjadi sangat tidak mungkin bagi pikiran untuk sampai kepada Tuhan dengan sendirinya tanpa melalui perantara apa pun. Sebagaimana halnya manusia yang tidak dapat melihat dirinya secara utuh tanpa menggunakan cermin. Dalam kasus Tuhan, keberadaan alam semesta inilah yang menjadi cermin untuk kita dapat menggapai keberadaan Tuhan.

Editor: Yahya FR
Avatar
21 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds