Langit itu maskulin, dan bumi adalah seorang wanita;
Apapun yang dimasukkan ke dalamnya menghasilkan buah
(Rumi)
Al-Qur’an, kata Annemarie Schimmel, jarang membicarakan kaum wanita. Schimmel kemudian menelisik bagaimana wanita dalam Al-quran diangkat satu demi satu seperti Maryam, Ratu Saba, Bilqis.
Perempuan-perempuan itu dikisahkan Schimmel untuk menjelaskan bahwa spiritualitas Islam juga memiliki aspek feminin. Rabiah al-Adawiyah, menjadi sosok yang dikagumi oleh para sufi. Karena ia menolak sebuah ibadah dan ketundukan yang disebabkan alasan.
Ia menegaskan bahwa ketundukan, kepasrahan, cinta kasih adalah murni. Nabi sendiri pun pernah mengatakan: Allah telah membuatku menyayangi dari duniamu kaum wanita, wewangian, dan kebahagian bagi mataku adalah ketika salat.
Agama memberikan perhatian tersendiri dan mendudukkan kaum perempuan ke dalam kedudukan yang tinggi. Kita bisa mengingat bagaimana Khadijah istri nabi. Kedudukan, kekuatan, pendampingan kepada nabi, dan dukungan kepada apa yang diperjuangkan, tidak diragukan lagi.
Sampai-sampai kehilangan, duka mendalam nabi harus dihibur oleh Allah sendiri. Dalam cerita turun-temurun yang berkembang di kalangan umat Islam, Khadijah menunjukkan tradisi yang cukup unik dalam menyatakan cinta.
Khadijah yang melamar Muhammad. Ini bukan hanya bertolak belakang dengan tradisi yang kelak diwariskan oleh Muhammad. Ini tentu berbeda dengan zaman sekarang, perempuan yang galau, menunggu pria idaman melamar dan terkesan malu-malu serta lemah. Khodijah setidaknya sudah melawan mitos itu. Ia adalah lambang perempuan yang kuat secara ekonomi maupun karakter.
Diskriminasi Terhadap Perempuan yang Masih Berlangsung
Meskipun agama mendudukkan perempuan sebagai kaum yang istimewa dan sosok yang memiliki kedudukan tinggi, akan tetapi penindasan kaum perempuan pun seperti tak pernah usai.
Penindasan terhadap kaum perempuan justru nampak dalam ruang publik maupun privat. Dalam ruang privat, terjadi saat perempuan mengalami perkosaan, penyiksaan, baik fisik maupun verbal oleh lelaki menjadi kasus yang belum berhenti sampai sekarang.
Secara psikologis, kekerasan verbal lebih mengena, akan tetapi hal ini belum sepenuhnya mendapat perhatian khusus. Dalam ruang publik, kaum perempuan juga rentan terhadap pelecehan seksual daripada kaum lelaki, transportasi yang tidak ramah, jalanan yang tidak aman, membuat perempuan menjadi objek massif dari kekerasan.
Yang paling parah, apa yang dilakukan oleh dominasi rezim patriarkal ini, disahkan oleh lembaga yang bernama negara. Produksi undang-undang yang mengikat kaum perempuan, tetapi tidak memberi ruang bersuara bagi kaum perempuan, menjadikan perempuan begitu mudah dipersalahkan, didakwa.
***
Merebaknya perda Syariah, misalnya, menjadi aturan yang cukup mengekang dan membatasi perempuan di ruang publik. Perempuan keluar malam dilarang dan distereotipkan negatif. Perempuan bekerja dianggap sebagai masalah dalam keluarga.
Saya jadi ingat Putu Wijaya. Ia pernah menulis di buku NgEH (1997). Ia mengisahkan tentang kebahagiaan seorang wanita. Ibu saya ternyata punya konsep berbeda tentang kebahagiaan.
Kebahagiaan baginya adalah kalau dia mengabdi pada pekerjaan rumah tangga. Patuh, mengabdi, dan memberikan ruang lega pada suami. Urusan bersenang-senang adalah urusan lelaki. Mempertahankan semua itu pada tempatnya, merupakan kewajibannya yang membuat bahagia.
Dan dia memang bahagia, setidak-tidaknya menurut pengakuannya, meskipun saya dan istri saya mati-matian menunjukkan betapa mengerikannya penderitaannya, karena konsep kebahagiannya keliru.
Putu Wijaya pun menutup esainya dengan kalimat menyentil. Tatanan perempuan dan lelaki sedang berubah di negeri ini. Dalam proses penemuan nilai-nilai baru, akan banyak yang harus diderita.
Putu menulis tatkala menjelang Soeharto lengser keprabon. Sebelumnya, kita mengerti betapa lemahnya Soeharto saat ditinggal istrinya Ibu Tien Soeharto. Kesan Soeharto yang keras, tegas, dan bengis begitu luluh, saat istri tercintanya pergi.
Problem Feminisme
Problem feminisme sebenarnya bukan hanya terletak pada kebijakan ataupun masalah rumah tangga. Kadang, masalah feminisme justru datang dari kaum perempuan. Ketakutan kaum perempuan sendiri untuk melawan sistem yang selama ini mengungkung, mengikat, dan membatasi dirinya untuk bergerak menjadi masalah tersendiri.
Ketakutan ini tidak hanya karena kurangnya pengetahuan perempuan, tetapi dari pemahaman yang keliru bahwa perempuan memang ditakdirkan tunduk pada kaum lelaki. Yang lebih parah, saat pemahaman seperti ini justru ditanamkan oleh para pemuka agama, pendakwah, yang sering dipegang kata-katanya bagi kaum awam.
Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa istri bukanlah budak belian suami, melainkan teman dan partner yang setara dalam suka dan duka yang sama bebasnya dengan suami untuk menentukan jalannya sendiri.
Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi karena perempuan tidak berani bersuara alias memilih bungkam. Stigma yang diberikan masyarakat pun lebih kejam saat yang menjadi korban kekerasan. Seorang lelaki bisa saja langsung menikah dengan perempuan yang telah dilecehkannya.
Tetapi rasa sakit yang perempuan rasakan bahkan tidak bisa selesai dalam jangka tahunan. Lelaki yang telah melakukan kejahatan terhadap perempuan, bisa dengan cepat membaur dan diterima di masyarakat kembali, tetapi ini tidak berlaku bagi perempuan yang menjadi korban.
Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan terkadang tidak bisa menjadi empu bagi dirinya sendiri. Dalam mengurus tubuhnya sendiri sekalipun, ia harus berkiblat pada mode, pada fashion, pada make-up, dan pada iklan yang menjadi trend terkini.
Belum cukup semua itu, ia harus ditentukan oleh kelompoknya, komunitasnya, geng sekomplotannya memakai lipstick merk apa. Kalau tidak sama, ia akan dihina, dimaki, disingkirkan dari kelompoknya hanya gara-gara lipsticknya berbeda.
Saat pacarnya tidak suka akan satu hal yang dikenakan oleh perempuan, ia akan menurut begitu saja. Kelihatannya seperti mustahil, tapi inilah yang terjadi pada remaja perempuan kita saat ini. Bila demikian, mustahil mereka akan memikirkan kuota legislatif 30%, mereka cenderung sibuk dengan perdebatan tentang tubuh mereka yang tak kunjung selesai.
Bias Gender di Sekitar Kita
Di Indonesia, kebijakan yang mengarusutamakan gender cenderung minim kalau tidak dikatakan nihil. Dalam wilayah profesi misalnya, ketentuan merekrut perempuan, penampilan menarik dimasukkan ke dalam syarat lamaran.
Itu merupakan contoh bahwa perempuan dituntut harus tampil cantik dan sempurna. Lalu mengapa tidak ada atau jarang sekali lowongan bagi kaum lelaki yang memerlukan syarat atau ketentuan penampilan menarik.
Mengapa kalau perempuan lembur bekerja, disuruh pulang terlebih dahulu, sedang lelaki tidak? Fenonema bias gender seperti ini kerap terjadi dalam masyarakat kita.
Di dalam lingkungan kampus di negeri kita, sering terjadi penerapan kebijakan yang aneh. Misalnya kebijakan mengenakan jilbab dengan panjang sekian senti, berbahan kain tebal, dan lain sebagainya.
Ditambah lagi bila kasus perkosaan yang marak dianggap terjadi karena para perempuan tidak berjilbab panjang. Ini mengingatkan kisah yang terjadi pada suasana di lingkungan teman saya kuliah. Jilbab pada akhirnya tidak bisa membuktikan apakah seseorang baik luar dalam atau tidak.
Karena pada akhirnya, motif berjilbab kembali kepada urusan personal. Artis-artis kita pun sering pamer dengan penggunaan jilbab mereka. Akhirnya, mereka lepas jilbab dengan mudahnya.
Kesalehan seseorang tentu tidak bisa diukur dari berapa panjang hijab mereka. Di Arab sekalipun, pekerja seks komersial bahkan berpakaian begitu tertutup menggunakan burqa. Ini pernah diulas tersendiri dalam bukunya Shereen El Feki yang berjudul Sex and Hijab (2013).
Dunia Arab dan Timur Tengah sudah berubah sedemikian jauh. Namun sepertinya, kebijakan untuk mengungkung dan mengatur tubuh perempuan masih saja ada. Alangkah lebih bijaknya para mahasiswa perempuan ini diberi buku tentang wacana jilbab terlebih dahulu sebelum memaksa mereka langsung untuk memakai jilbab yang panjang dan berkain tebal secara langsung.
Sehingga, mereka melakukan itu dengan kesadaran. Bukan karena aturan yang memaksa. Saya jadi ingat dosen saya dulu, mahasiswi yang jilbabnya pendek, tidak tebal, langsung dinilai mata kuliahnya D.
Feminisme Harus Tetap Hidup
Ini sungguh kasus yang bukan hanya membodohi perempuan, tetapi juga menandaskan bahwa kaum perempuan sendiri kadang membuat aturan yang mengekang sesama kaum perempuan.
Feminisme di era teknologi kini menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Bukan hanya pelecehan terhadap perempuan, kekerasan dalam keluarga pun sering luput kita deteksi.
Negara yang mestinya menjadi pengayom dan pelindung bagi kaum perempuan, anehnya justru tidak kunjung menerbitkan regulasi yang melindungi kaum hawa ini. Mangkraknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi gambaran bahwa negara seperti setengah hati mengurusi dan melindungi kaum perempuan.
Belum lagi hati kita dibuat tersayat-sayat saat melihat penipuan berkedok media sosial yang memakan korban para remaja perempuan. Ada kabar baru yang baru saja terjadi beberapa hari lalu.
Tepatnya pada hari (Sabtu, 22/2/2020), Cerpenis Yetti A.ka diusir dari Masjid Raya Sumatra Barat, karena tidak berhijab. Padahal, Yetti baru saja selesai salat Ashar dan ia duduk-duduk di pelataran luar masjid.
Kemudian datanglah petugas dari masjid dan mengusir Yetti. Fenomena ini menunjukkan bahwa seolah perempuan tidak punya kuasa atas tubuhnya sendiri. Agama menjadi kedok untuk mengatur tubuh perempuan.
Agama diperalat dan dimanipulasi oleh kaum patriarki. Fenomena ini makin menguatkan kita bahwa feminisme tak boleh mati! feminisme mengingakan apa yang dikatakan oleh Simone De Beavoir bahwa menjadi feminis bermula dari kesadaran akan ketimpangan.
Selanjutnya, saya harus terus belajar untuk melihat feminis seperti apa saya dan apa yang saya ingin dan dapat lakukan dengan pemikiran itu. Perempuan tidak semata-mata dilahirkan. Perempuan adalah suatu proses menjadi dan proses menjadi tidak pernah berakhir.