Ahmad Rizky M. UmarĀ
Di awal tahun 2019, muncul satu gagasan baru untuk menominasikan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama meraih penghargaan Nobel Perdamaian. Gagasan ini didorong oleh beberapa tokoh, yang kemudian mendapatkan beberapa dukungan dari beberapa pihak (salah satunya, konon, dari Ramos Horta). Rasionalisasi yang diberikan adalah bahwa Muhammadiyah dan NU, salah satunya, berperan dalam melawan radikalisasi dan memberikan beberapa inovasi mengenai ajaran Islam yang berperan dalam ābina-damaiā.
Gagasan ini, bisa jadi, sangat ambisius bagi beberapa pihak. Mungkin banyak yang akan bertanya seberapa jauh Muhammadiyah (dan NU) berperan dalam perdamaian dunia? Muhammadiyah, bisa jadi, punya kontribusi dalam menghadang radikalisme dan memberikan beberapa inovasi Fikih kontemporer yang sangat relevan bagi masyarakat dunia, seperti Fikih air atau Fikih kebencanaan. Namun demikian, gagasan-gagasan āperdamaianā di Muhammadiyah (juga NU) masih terkesan bersifat temporer dan belum melembaga dalam pemikiran keislaman yang bisa dibawa ke kancah internasional.
Artikel ini berada dalam semangat untuk mengisi celah tersebut dengan menggagas beberapa arah menuju rumusan āFikih perdamaian duniaā dalam perspektif Ilmu Hubungan Internasional āarea yang sudah saya geluti sejak satu dekade silam. Gagasan tentang perdamaian dalam studi Hubungan Internasional sudah sangat berkembang. Namun demikian, perspektif āIslamā belum banyak bicara dalam konteks perdamaian kontemporer. Justru, munculnya ISIS, gelombang radikalisasi dan populisme, serta cara berpikir tentang āJihadā yang salah kaprah justru menjadikan Islam sebagai tersangka alih-alih pemberi solusi atas konflik dan masalah terorisme yang melanda dunia Islam hari ini.
Muhammadiyah sebetulnya sudah membuka jalan ke arah tersebut dengan menegaskan posisinya, misalnya, terhadap Pancasila sebagai āDar al-āAhdi wa al-Syahadahā. Posisi teologis-intelektual ini memberikan Muhammadiyah afirmasi terhadap tatanan kebhinekaan yang ada di Indonesia. Yang belum ada ādan saya kira ini penting untuk didiskusikan dalam perspektif studi Hubungan Internasionalābagaimana posisi dan kontriusi Muhammadiyah terhadap tatanan internasional saat ini?
Tiga Posisi Teoretis tentang Perdamaian Dunia
Saya ingin memulainya dengan mengupas perdebatan tentang konsepsi perdamaian dunia yang menjadi titik tekan utama perdebatan para ilmuwan Hubungan Internasional hari ini. Setidaknya ada tiga pendekatan yang saling berkontestasi dalam kajian perdamaian global, yang ketiganya memiliki klaim-klaim sendiri untuk menuju perdamaian dunia.
Perspektif pertama berasumsi bahwa perdamaian dunia bisa ditempuh melalui āperimbangan kekuasaanā dan, dalam titik tertentu, pengaturan keamanan kolektif oleh negara-negara bangsa. Bagi banyak pengkaji keamanan internasional, perdamaian bukan sesuatu yang by default bisa dicapai dengan sendirinya, melainkan harus diusahakan melalui perimbangan kekuasaan (balance of power) antara kekuatan-kekuatan besar. Negara seperti Indonesia, yang dikategorikan sebagai ākekuatan menengahā (menurut studi terbaru dari Lowy Institute, misalnya), punya kontribusi dengan membangun keamanan kolektif, yang sudah terbangun di Aasia Tenggara sejak tahun 1970an melalui ASEAN.Ā
Perspektif kedua berasumsi bahwa perdamaian dunia bisa ditempuh melalui kerjasama ekonomi, interaksi antar-manusia yang memungkinkan negara-negara bekerjasama, dan penguatan institusi multilteral. Menurut pendekatan yang kerap dikenal sebagai āinstitusionalisme liberalā ini, organisasi internasional yang memfasilitasi kerjasama ekonomi ābaik di tingkat negara ataupun masyarakat sipil transnasionalāpunya peran penting dalam membangun perdamaian. Terbukti, menurut pendapat ini, perang yang bersifat massif bisa dihindarkan sejak tahun 1945 melalui instrument PBB dan organisasi internasional.
Perspektif ketiga berasumsi bahwa perdamaian dunia bisa ditempuh melalui ākeamanan kolektifā dan pembangunan norma tentang perdamaian yang bersifat kosmopolitan. Membangun masyarakat yang resilien terhadap potensi konflik, serta cara berpikir masyarakat yang ādamaiā dan mengedepankan solusi perdamaian alih-alih kekerasan, menjadi solusi penting di samping juga membangun tatanan internasional yang terlembaga dan damai. Pada titik ini, agama memainkan peran untuk menghindarkan umatnya dari cara berpikir yang berorientasi kekerasan, kendati juga banyak yang menggunakan agama untuk melegitimasi kekerasan āseperti ISIS, Al-Qaeda, atau penganut Jihadisme dalam Islam.
Menuju Fikih Perdamaian: Kontribusi Muhammadiyah?
Bagaimana Muhammadiyah bisa berperan di tengah tiga pendekatan tersebut? Mereorientasi ajaran Islam untuk mendorong perdamaian dunia, tentu saja, menjadi penting. Namun, Sebelum masuk ke peran-peran strategis, perlu diketengahkan potensi yang mungkin dilakukan oleh Muhammadiyah untuk menggagas konsepsi Fikih Perdamaian yang sifatnya berkelanjutan.
Kitab Masalah Lima, dokumen āklasikā yang mendasari rumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah, telah menggariskan satu pedoman umum, yaitu bahwa dalam masalah-masalah yang terkait dengan Muamalah Duniawiyah, maka ijtihad sangat dimungkinkan selama tidak ada larangan.
Terkait dengan hal ini, Prof. Asjmuni Abdurrahman dalam Manhaj Tarjih menegaskan beberapa kaidah ushul Fikih yang relevan, seperti āal-ashlu fil muamalati at-tahlil, hatta yaduulud daliil āala tahrimihiā (asal hukum dari āmuamalahā adalah halal selama tidak ada dalil yang mengharamkannya). Konsep lain adalah pengurangan mafsadat dan prinsip ālaa dharaar wa laa dhiraarā (tidak berbahaya dan tidak membahayakan), menjadi dasar bagi prinsip yang dikenal di dunia Barat sebagai do no harm.
Beberapa prinsip ushul Fikih ini bisa dikaitkan dengan model-model Fikih kontemporer seperti, misalnya, Fikih maqasidi yang digagas oleh Jasser Auda dan jejaring ulama Muslim di Eropa. Dalam kajiannya yang memperkenalkan Maqasid sebagai Filsafat Hukum Islam, Jasser Auda berargumen bahwa ada dua prinsip penting dalam Maqasid yaitu keterbukaan (openness) dan āperbaruan-diriā (self-renewal).
Konsekuensi dari dua prinsip tersebut (di antara prinsip yang lain), menurut Auda, adalah pentingnya dialog antara hukum-hukum yang dirumuskan melalui Fikih dengan sains dan filsafat. Fikih, dengan demikian, adalah sesuatu yang sifatnya terbuka, membuka diri untuk pembaharuan (tajdid), dan relevan dengan perkembangan zaman.
Dengan prinsip semacam ini, menjadi memungkinkan bagi Muhammadiyah untuk berkontribusi kepada perdamaian dunia dengan mengajukan Fikih perdamaian. Sejauh ini, Muhammadiyah sudah menggariskan beberapa produk Fikih kontemporer, seperti Fikih Air atau Fikih Kebencanaan yang menjadi dasar bagi Muhammadiyah untuk bergerak di tingkat nasional. Fikih Perdamaian, jika bisa dirumuskan, bisa menjadi dasar bagi Muhammadiyah untuk memperluas aktivisme yang telah dibangun ke tingkat global.
Tiga Pemikiran tentang Fikih Perdamaian
Lantas, seperti apa konstruksi Fikih tersebut jika diterapkan dalam praksis gerakan Muhammadiyah? Saya membayangkan ada tiga area yang perlu menjadi perhatian dalam Fikih perdamaian Muhammadiyah, yaitu diplomasi, hukum dan kerjasama internasional, serta etika masyarakat internasional.
Area yang perlu menjadi perhatian adalah etika diplomasi dan politik luar negeri. Sejauh ini, politik luar negeri Indonesia sudah mulai mencoba untuk memediasi proses-proses perdamaian dunia, salah satunya dengan memfasilitasi dialog antara kelompok-kelompok yang bertikai di Afghanistan, kelompok Muslim di Mindanao, atau perdamaian antara Israel dan Palestina. Beberapa tokoh Muhammadiyah (seperti Dr Surwandono atau Alm Samsu Rizal Panggabean, misalnya) juga sudah terlibat dalam proses-proses negosiasi damai.
Tantangan berikutnya adalah melembagakan upaya ini dengan mendorong (1) formulasi Fikih yang bisa menjadi panduan bagi politik luar negeri Indonesia (atau negara-negara Muslim lain) dalam terlibat ke resolusi konflik yang lebih permanen dan (2) konsepsi bina damai yang bisa menjadi alternatif dari Jihadisme yang sarat kekerasan. Muhammadiyah bisa mendorong alternatif penafsiran atas āJihadā, āDarul Harb/Kafirā dengan, misalnya, memberikan landasan teologis atas sistem internasional yang damai.
Dalam konteks ini, memperluas konsep Dar al-Ahdi wasy Syahadah ke tingkat global, antara lain dengan menjustifikasi sistem internasional yang berbasis āaturanā (rules-based international order) sebagai alternatif menuju perdamaian dunia, menjadi menarik untuk menjadi alternatif.
Area berikutnya adalah mereformulasi hukum internasional dengan membangun interpretasi ulang atas beberapa prinsip hukum/politik internasional dalam perspektif Islam. Saat ini, misalnya, beberapa ilmuwan Hukum dan Politik Internasional membangun interpretasi dengan referensi atas pemikir Eropa seperti Immanuel Kant, Hugo Grotius, Emerich de Vattel, atau Hans J Morgenthau yang kontemporer.
Namun, sebagaimana diulash David Traven dalam Disertasinya di Ohio State Uniersity, The Universal Grammar of Laws of War (2013), konsepsi-konsepsi tentang perdamaian juga muncul dalam pemikiran politik Islam, termasuk dalamĀ Al-Qurāan, Hadits, dan pemikir-pemikir Islam dari Abad Pertengahan hingga Modern.
Muhammadiyah bisa membangun konsepsi alternatif tersebut dengan mengkaji, misalnya, sejauh mana prinsip-prinsip perdamaian dalam Islam bisa berdialog dengan hukum internasional dan konsepsi politik yang mendasarinya, seperti Jus Gentium dan ide tentang Responsibility to Protect yang saat ini sudah muncul sebagai norma dalam politik internasional.
Selain kedua elemen tersebut, Muhammadiyah juga perlu mengembangkan Fikih yang lebih spesifik untuk aktivisme perdamaian yang tidak dilakukan oleh negara, tetapi oleh masyarakat sipil transnasional. Beberapa anak muda Muhammadiyah sudah mulai terlibat dalam gerakan tersebut. Ke depan, mereka perlu dibekali dengan interpretasi Fikih untuk bisa percaya diri ketika berhadapan dengan anggota organisasi Islam lain yang secara global juga punya pengaruh dalam politik Islam global, seperti Ikhwanul Muslimin, Salafi, Hizb at-Tahrir, dan jejaring-jejaring transnasional mereka.
Fikih perdamaian yang mendorong interpretasi ādamaiā atas Jihad atau āMasyarakat Islamiā akan sangat diperlukan. Sehingga, ketika anak-anak muda Muhammadiyah tampil dalam pentas internasional, tidak ada rasa inferior untuk berdialog dengan tradisi pemikiran Islam āyang lainā yang tidak mendorong pada solusi damai. Hal ini juga mengimplikasikan perlunya penerjemahan Fikih-Fikih Muhammadiyah ke dalam Bahasa Inggris dan Arab.
Artinya, jika Muhammadiyah serius untuk mendorong perdamaian dunia, dengan atau tanpa hadiah Nobel Perdamaian, sudah saatnya Muhammadiyah serius dengan internasionalisasi dan inovasi pemikiran keagamaan. Muhammadiyah punya modal yang sangat besar untuk melakukannya, dengan anak-anak muda yang progresif dan berwawasan global. Inovasi pemikiran yang cermat akan sangat membantu proses internasonalisasi tersebut.