Fikih

Fikih Perwalian dalam Pernikahan

2 Mins read

Pernikahan merupakan suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami istri dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syariat Islam.

Tujuan pernikahan yaitu dalam rangka membangun keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathin, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.

Hukum pernikahan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena telah diatur dan diterangkan perihal peraturan-peraturanmya secara khusus dalam UU No. 1 tahun 1974. Esensinya hukum pernikahan Islam tidak hanya mengatur tentang cara pelaksanaan pernikahan, namun juga mengatur segala persoalan yang erat hubungannya dengan pernikahan.

Berkaitan dengan tata cara pernikahan, bahwa terdapat syarat dan rukun tertentu yang harus dipenuhi. Diantaranya yaitu; adanya mempelai pria dan mempelai wanita, dihadiri dua orang saksi, adanya wali mempelai wanita yang akan melakukan akad nikah, serta adanya akad (ijab dan qabul).

Wali Pernikahan

Wali dalam pernikahan merupakan hal yang penting dan menentukan. Perwalian dalam istilah fikih ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Secara etimologis “wali‟ mempunyai arti pelindung, penolong, atau penguasa. Sedangkan pengertian wali secara terminologis mempunyai banyak arti, antara lain:

a. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa.
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
c. Orang shaleh (suci) penyebar agama.
d. Kepala pemerintah dan sebagainya

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhhi seorang Wali Nikah, yaitu:
a. Beragama Islam
b. Baligh
c. Berakal sehat
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. adil

Baca Juga  Kasus Al-Zaytun dan Panji Gumilang (2): Bagaimana Hukum Penistaan Agama?

Keberadaan wali dalam pernikahan didasarkan pada Hadist Nabi sebagai berikut:
عن أبى موسى الاشعرى – رضى االله عنه – عن النبى صلي االله عليه وسلم قال : لا نكاح الابولى ( روا الإمام احمد و غيره و صححه ابن حبا ن والحاآم )

Artinya: ”Dari Abu Musa, sesungguhnya Rosulullah Saw Bersabda. : Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibn Hiban dan Al-Hakim).

Wali Menurut Imam Madzhab

Madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah, serta mayoritas fuqaha telah sepakat pentingnya keberadaan wali dalam akad pernikahan. Setiap pernikahan tanpa menghadirkan wali maka pernikahan tersebut menjadi batal atau tidak sah. Jadi, seorang perempuan tidak mempunyai hak untuk melangsungkan akad pernikahan dengan sendirinya secara langsung dalam kondisi bagaimanapun.

Para ulama mendasarkan pendapatnya pada hadits Nabi SAW, diatas. Menurut pendapat Imam Syafi‟i, wali yang paling utama adalah ayah, kemudian kakek dari jalur ayah, kemudian saudara laki-laki seayah dan seibu, kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah , kemudian paman, kemudian anak laki-laki paman berdasarkan urutan ini.

Sementara mazhab Hanafiyah berbeda pendapat, beliau mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri calon mempelai pria dan boleh melakukan akad dengan sendiri. Menurut madzhab Hanafiyah maksud kata nikah adalah berarti sah pernikahan mereka tanpa wali.

Pendekatan yang dipakai oleh Hanafi yang berbeda ini dipengaruhi oleh letak geografis dan latar belakang budaya sosial yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Sehingga penafsirannya cenderung lebih elastis dan terbuka.

Hanafi adalah seorang ulama yang tinggal di wilayah perkotaan metropolitan, di mana tingkat dan kapasitas keilmuan seseorang tidak membedakan jenis kelamin (gender). Sehingga wanita pun memiliki hak otoritas untuk menentukan suatu hukum.

Baca Juga  Sekali Lagi, Perempuan Haid Tidak Boleh Puasa!

Dalam suatu pernikahan, konsep perwalian ini memang merupakan bagian yang tak terpisahkan, sebab hal ini merupakan salah satu dari syarat legal pernikahan Islam yang harus dipenuhi.

Di Indonesia sendiri, aturan yang mengatur wali nikah termuat dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 19, diterangkan pula bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…
Fikih

Apa Hukumnya Membaca Basmalah Saat Melakukan Maksiat?

2 Mins read
Bagi umat muslim membaca basmalah merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan segala aktivitas. Mulai dari hal kecil hingga hal besar sangat…
Fikih

Bagaimana Hukum Mengqadha' Salat Wajib?

4 Mins read
Dalam menjalani hidup tak lepas dari lika liku kehidupan. Ekonomi surut, lapangan pekerjaan yang sulit, dan beberapa hal lainnya yang menyebabkan seseorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *