Fikih

Fikih Tak Cuma Halal-Haram, Tapi Juga Kesesuaian dan Keselarasan

3 Mins read

Secara sederhana, fikih adalah suatu ilmu yang membahas tentang hukum Islam. Hukum tersebut dibuat berdasarkan kolaborasi antara Al-Qur’an, pandangan ulama, serta kebutuhan zaman. Atau dapat dikatakan bahwa fikih adalah produk hukum Islam yang sudah jadi.

Dulu, ketika zaman nabi, fikih belum ada, karena pada saat itu segala permasalahan yang langsung bisa ditanyakan pada Nabi. Nah, setelah Nabi wafat, fikih mulai lahir dan berkembang sesuai dengan kebutuhan umat.

Selain itu, pada dasarnya manusia menginginkan kebebasan. Nah, karena kita hidup dengan banyak orang maka kebebasan kita pun akhirnya terbatas, batasannya apa? Batasannya adalah kebebasan orang lain. Dan untuk menjembatani keadilan batasan tersebut, maka harus ada hukum yang menjadi acuan. Dalam hal ini hukum tersebut dinamai dengan fikih.

Kemudian karena manusia memiliki banyak kepentingan, maka fikih pun bercabang. Ada fikih ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Bagaimana sih cara salat yang benar, atau bagaimana cara puasa yang sesuai, serta masalah lainnya yang berhubungan cara beribadah kepada Tuhan.

Ada juga fikih muamalat yang membahas hubungan sesama manusia. Ada fikih munakahat yang membahasa seputar pernikahan, ada fikih waris, fikih perempuan, dan sebagainya. Yang kesemuanya bertujuan untuk mengatur tata cara umat manusia terhadap bidangnya masing-masing.

***

Pada prinsipnya, fikih itu selalu bersumber dari Al-Qur’an dan hadis yang kemudian diolah sesuai dengan prinsip syariah serta kebutuhan zaman,

Oh iya, syariah yang dimaksud di sini adalah jalan menuju kebaikan, bukan sekadar kulit luar saja, melainkan esensinya. Misalnya peraturan lalu lintas. Di sana ada larangan untuk menerobos lampu lalu lintas jika warnanya merah, karena di seberang sana ada kendaraan yang sedang jalan. Hal ini untuk menghindari kecelakaan lalu lintas. Nah, peraturan tersebut merupakan syariah meski tidak ada embel-embel nama syariah di belakangnya.

Baca Juga  Mencari Pendapat Mu’tamad: dari Mazhab Menuju Ijtihad Jama'i

Kemudian yang perlu digarisbawahi juga adalah diksi perkembangan zaman. Ini penting, karena adanya fikih diakibatkan oleh adanya zaman yang berkembang.

Namun, perkembangan zaman membuat informasi menjadi hal yang mudah diakses. Dari sana perdebadan pun sering sering terjadi di arena maya dengan berbagai isu dan pembahasan yang ada, mulai dari politik, sosial, agama, sampai hal-hal seceh seperti bubur itu harusnya diaduk atau tidak?

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam memahami fikih, maka ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan.

Pertama, Bisa Saja Salah

Iya, meski bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, tapi fikih adalah produk dari pemikiran manusia. Dan sebagaimana sifat dasarnya, manusia memang memiliki potensi untuk salah.

Mengutip salah satu buku dari Quraish Shihab, di sana diktatakan bahwa semua ulama sepakat menyatakan bahwa siapa pun selain Rasulullah, berpotensi salah dalam pendapat-pendapat mereka. “Pendapat kami benar, tapi mengandung kemungkinan salah; pendapat yang berbeda dengan pendapat kami salah, tapi mengandung kemungkinan benar”.

Karena itu, ketika pendapat kita berbeda dengan orang lain, tidak lantas orang tersebut salah, karena balik lagi, manusia selalu punya potensi untuk salah.

Kedua, Fikih Pasti ada Perbedaan

Fikih ibarat baju. Tidak ada yang lebih benar antara jaket tebal atau kaos tipis. Semua tergantung bagaimana kondisi dan situasinya. Misal di daerah panas, maka lebih baik memakai baju tipis daripada jaket tebal. Begitu juga sebalikya, jika di daerah dingin, lebih baik memakai jaket tebal daripada baju tipis.

Artinya, variasi baju yang tebal sampai tipis memang harus ada untuk mewadahi segala kebutuhan manusia. Begitu juga dengan fikih, variasi pendapat harus ada untuk mewakili berbagai kondisi masyarakat.

Baca Juga  Akad Nikah Saat Pandemi, Bolehkah di Luar KUA?

Dalam fikih, tidak ada pandangan yang benar atau salah, semua memiliki porsi dan posisinya masing-masing tergantung pada kondisi tertentu.

Yah, sebagaimana istilah Jawa, ojo gampang gumunan (jangan mudah kagetan). Perbedaan memang keniscayaan yang harus diterima dengan biasa saja.

Nabi mengatakan kalau keragaman antara umatku adalah rahmah. Tentu saja rahmah bagi orang yang bisa mengambil pelajaran. Jadi kalau ada yang berbeda, ya nggak masalah. Dan kalau ada orang melakukan kesalahan, diingatkan saja, jangan langsung dimusnahkan.

Ketiga, Fikih Selalu Berkembang

Teks Al-Qur’an itu statis. Sedangkan permasalahan dalam hidup itu dinamis. Maksudnya begini, Al-Qur’an itu dari zaman dulu, sampai hari kiamat, akan tetap memiliki 30 juz dan 114 surat. Namun permasalahan dalam hidup selalu berkembang tiap hari. Karena itu, pembaharuan akan selalu terjadi. Benar saat ini belum tentu benar esok hari.

Kalau kita menilisik wahyu pertama yang diturunkan, yakni surat Al-Alaq ayat 1-5, di sana ada dua perintah membaca yang diulang dua kali (ayat pertama dan ayat ketiga), dan salah satu hikmah dari pengulangan tersebut menurut Wahbah Zuhayli adalah penegasan betapa pentingnya kegiatan membaca.

Hal tersebut juga bertujuan agar kita update terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Dan karena itu fikih, bersifat dinamis sesuai dengan apa-apa yang dibutuhkan.

Keempat, Benar Belum tentu Baik

Kebaikan adalah satu paket antar niat baik dan cara menyampaikan. Misalnya, memberi sesuatu adalah hal yang baik, tapi kalau cara memberi adalah dengan melemparkannya, maka hal tersebut tidak kan menjadi baik lagi, meski niatnya baik.

Cara menyampaikan ini kadang tidak bisa sat-set saja, melainkan harus bertahap. Hal ini tercermin ketika Al-Qur’an mengharamkan khamr secara bertahap. Karena kondisi masyarakat Arab saat itu menganggap khamr adalah budaya. Sehingga, mengharamkannya perlu tahapan dan perlahan.

Baca Juga  Usul Fikih sebagai Landasan Berpikir

Dimulai dari dibolehkan. Kemudian perintah untuk menjauhkan diri dari khamar karena mudaratnya lebih besar daripada maslahatnya (QS. Al-Baqarah: 219). Setelah itu turun lagi ayat yang melarang minum khamr tetapi ketika salat saja. (QS. An-Nisa’: 43). Dan terakhir, khamar diharamkan secara tegas (QS. Al-Maidah: 90).

Dari sana, saya kemudian ingat dengan ungkapan dari Gus Mus tentang dakwah:

Dakwah itu mengajak, bukan mengejek.

Dakwah itu merangkul, bukan memukul.

Dakwah itu membahagiakan, bukan membahayakan.

Dakwah itu menyenangkan, bukan menyeramkan.

Yah, pada intinya fikih bukan sekadar benar-salah, halal-haram, melainkan kesesuaian dan keselarasan. Wallahu a’lam bisshowab.

Editor: Yahya FR

Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa UIN yang suka makan, apalagi sama kamu
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…
Fikih

Hukum Isbal Tidak Mutlak Haram!

3 Mins read
Gaya berpakaian generasi muda dewasa ini semakin tidak teratur. Sebagian bertaqlid kepada trend barat yang bertujuan pamer bentuk sekaligus kemolekan tubuh, fenomena…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds