Al-Unsuriyyah atau biasa dikenal dengan istilah Rasisme yang artinya fanatik, kebencian, mengidentitaskan suatu golongan atau dalam kata padanan, ialah ta’asuf, ashabiyyah, alsinnah, dan sebagianya. Akhir-akhir ini, marak sekali kejadian rasisme-diskriminasi antar golongan, suku, dan ras diberbagai wilayah, salah satunya kejadian di Amerika Serikat yang menggemparkan dunia.
Kejadian di Amerika Serikat pada tanggal 24 Mei 2020, membuat kemarahan dan rasa simpati dunia atas kematian George Floyd di Minneapolis. Ia salah satu warga berkulit hitam yang diketahui tewas karena dicekik menggunakan lutut oleh aparat kepolisian berkulit putih yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakatnya.
Atas kejadian ini juga mendorong para aktivis Muslim berkulit hitam yang ada di Amerika Serikat untuk ikut serta dalam membela hak-hak kemanusiaan.
Sejarah mencatat, kejadian rasisme di Amerikat Serikat bukan saja baru-baru ini. Akan tetapi, sudah beberapa tahun lalu masyarakat kulit hitam diibaratkan sebagai “kambing hitam” dalam bermasyarakat. Sebagaimana dilihat dari historis-emperis berbagai aktivis Muslim berkulit hitam di AS.
Sejarahnya dikenang hingga sekarang ini, mereka ikut andil berperan memperjuangkan kesetaraan dan hak-hak bermasyarakat. Diantaranya Imam Mahdi Bray dan Keith Ellison.
Rasisme dalam Islam
Dilihat dari historis islam, rasisme sudah ada sejak Allah menciptakan Iblis, yang dimana Iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam dengan mengelontarkan argumen bernada diskriminatif. Hal serupa juga pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Dimana pada waktu itu beberapa sahabat Rasulullah memandang rendah Bilal bin Rabah, karena Bilal seorang budak yang berkulit hitam berasal dari Habasyah.
Ketika pembebasan kota Mekah, Bilal di tunjuk oleh Rasulullah untuk mengumandangkan adzan di atas Ka’bah. Rupanya, beberapa sahabat Nabi seperti Al-Harits bin Hisyam, Sahl bin Amr, dan Khalid bin Usaid- yang tidak suka dengan hal itu sehingga mengeluarkan komentar yang bernada rasis-diskriminatif.
Mereka tidak terima kalau Bilal bin Rabah yang mantan budak dan berkulit hitam diberi tugas dari Rasulullah untuk mengumandangkan adzan. Mereka mengatakan, “Mengapa si budak hitam (Bilal bin Rabbah) yang mengumandangkan adzan?”Hal tersebut juga dirasakan oleh sahabat Nabi yang miskin tinggal disalah satu emperan Masjid Nabawi. Seperti Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Abi Dzar, Salman, Suhaib, Khabbab bin Irt.
Suatu ketika, sahabat Nabi yang terkenal dengan kekayaannya,seperti Abbas bin Mirdas as-Sulami, Uyainah bin Hishn al-Fazari, dan al-Aqra bin Habis at-Tamimi, mengusulkan kepada Rasulullah agar dibuat dua majelis, yang satunya untuk mereka dan satunya lagi untuk kita. Berasalan, supaya tidak terganggu dengan aroma tidak sedap dari sahabat-sahabat yang fakir tersebut.
Asbab dari sinilah, wahyu Allah turun kepada Rasulullah untuk menegur mereka yang berbuat rasis-deskriminasi. Sebagaimana firman-Nya,
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa….” (QS. Al-Hujurat: 13).
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kemulian bukan terletak pada status humanisme yang tinggi, ras, suku, golongan, fisik, atau warna kulit tertentu. Akan tetapi, kemulian terletak pada ketakwaan seorang hamba kepada Allah Swt.
Hukum Rasisme dalam Islam
Perbedaan adalah salah satu tanda ciptaan-Nya. Yang dimana dari perbedaan tersebut kita semua bisa saling mengenal satu sama lain, saling memahami, saling mengerti. Setiap suku memliki krakteristik budaya yang berbeda-beda ini adalah hal yang menarik dalam kehidupan.
Tidaklah Allah ciptakan agama yang mulia ini, selain menjadikan manusia yang insan-kamil, juga menjadi rahmat bagi seluruh alam baik manusia, jin, dan hewan. Itulah Islam Rahmatan Lil Alaamin. Dilihat dari makna rasisme itu sendiri dan berbagai historisnya, maka rasisme dalam islam adalah “Haram”.
Sebagiamana tujuannya, tidaklah lain yaitu hanya membawa kemudharatan (membahayakan), karena dapat memecah belah antar agama, ras, suku, berbagai golongan, saling menyakiti satu sama lain, dan memendam ujar kebencian.
Adapun dalilnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Hujurat:11).
Dalam tafsiran An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi menjelaskan, bahwa hak-hak di antara sesama kaum Mukminin, yaitu agar “janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain,”. Dengan perkataan, ucapan, maupun perbuatan yang menunjukkan sikap menghina sesama saudara Muslim, karena hal itu haram dan tidak diperbolehkan.
Mencela Diri dan Orang Lain
Menghina menunjukkan rasa kagum terhadap dirinya sendiri yang bisa saja pihak yang dihina lebih baik darinya. Hal itu lazim terjadi, sebab penghinaan itu hanya dilakukan oleh orang yang hatinya dipenuhi akhlak-akhlak tidak baik dan tercela, jauh dari akhlak-akhlak yang baik. Oleh karena itu Nabi bersabda, “cukuplah seorang berbuat buruk saat dia mencela saudaranya sesama muslim” (HR. Muslim No. 2564)
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri,” artinya, janganlah kalian saling mencela. ‘allamzu’ adalah mencela dengan perkataan, sedangkan ‘alhamzu’ adalah mencela dengan perbuatan.
Keduanya terlarang dan haram serta diancam akan dimasukkan ke dalam neraka bagi yang melakukannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,” (Q.S. Al-Humazah: 1).
Sesama muslim kita anggap sebagai diri kita sendiri. Karena orang-orang yang beriman itu seharusnya seperti itu kondisinya. Laksana satu tubuh (satu diri), jika ada seorang Mukmin yang menghina saudaranya, maka hal itu mengharuskan yang lain untuk melindungi saudarannya.
Editor : Rizki Feby Wulandari/Yahya