Perspektif

Polemik Injil Bahasa Minang dan Ethnoreligius

3 Mins read

Kehadiran Kitab Suci Injil dengan terjemahan bahasa Minangkabau di Google Play Store begitu menggaduhkan masyarakat Indonesia terlebih bagi Urang Awak sendiri, entah mereka yang dari Ranah Minang maupun perantauan. Meskipun aplikasi itu telah dihapus, efek yang ditimbulkan nampaknya masih berlanjut hingga tatkala ini. 

Polemik demikian tentunya bila dibiarkan secara terus-menerus, dikhawatirkan dapat mengancam integrasi bangsa yang seharusnya tetap terjaga dan terpelihara dengan elok sesuai landasan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Mengingat tak jarang sentimen SARA mulai melonjak belakangan ini.

Lebih mirisnya lagi, berbagai cemooh dilontarkan oleh banyak insan yang bukan orang Minang. Tidak sedikit oknum yang acapkali menggembar-gemborkan gerakan “kembali ke budaya Nusantara” justru kini malah tidak mentolerir orang Minangkabau menjalankan adatnya, bukankah itu terlihat standar ganda?

Sebagai rakyat yang peduli dengan perihal keberagaman tak hanya sebatas ucapan tetapi secara implementasi pula, ada baiknya kita berupaya untuk memahami terlebih dahulu mengapa masyarakat Minangkabau menolak keberadaan Injil berbahasa Minang tersebut. Bukan malah langsung memberi label buruk dan menggeneralisasi suatu etnis itu “intoleran”, “radikal”, serta lain sebagainya. 

Memahami Etnis Minangkabau 

Masyarakat Minangkabau memegang teguh resamnya adat luhur mereka setelah melalui berbagai peristiwa dari masa lampau hingga kini. Melengkapi eksistensi tarikh Urang Awak. Perang Saudara antara Kaum Adat dan Kaum Padri di Ranah Minang di abad ke-19 kala itu dapat dirampungkan secara damai oleh kesepakatan bersama melalui Sumpah Sati Bukik Marapalam.

Dari kesepakatan itu,  terumuskan falsafah khas Minang yang sudah tidak asing didengar yaitu “Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (Adat Bersendikan Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah).

Itu tidak sekadar satu kalimat dengan untaian 6 buah kata, tetapi itu sudah menjadi konsep adicita dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau. Tidak main-main, kesepakatan tersebut diteguhkan oleh alim ulama, pemuka adat, dan cerdikiawan Minangkabau.

Baca Juga  Mengapa Manusia Diciptakan Beragam?

Hukum adat tentunya berlandaskan dengan hukum Islam, hukum Islam sudah pasti bersumber dari Al-Qur’an atau Kitabullah. Apa pun yang dikatakan oleh syarak, peraturan adat Minangkabau harus mengikuti (Simarmata, 2006). Konsep itu memiliki ranah luas bukan sebatas di kehidupan sosial saja, namun secara aspek budaya bahkan politik. Semua terbalut oleh syariat. 

Maka sangat lumrah bagi masyarakat Urang Awak menjadikan Islam sebagai identitas kuat mereka. Belum lagi dalam adat yang berlaku di sana, seseorang apabila murtad dianggap telah mengingkari Adaik nan Sabana Adaik (adat yang sebenarnya adat). Sebagai konsekuensinya adalah dibuang sepanjang adat (Ismail. (2017). Akulturasi Hukum Kewarisan Islam Dengan Hukum Kewarisan Adat Minangkabau. ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol. 02 , No. 01, 60-61.). Orang yang keluar dari Islam dilarang mempraktikkan adat Minang, kehilangan hak harta pusaka termasuk gelar adat, dan diusir dari tanah kelahirannya.

Jadi, bila ditinjau secara adat seluruh masyarakat Minangkabau tentunya beragama Islam. Perlu diketahui, tegasnya adat resam Minangkabau bukan berarti masyarakat Urang Awak tidak menghargai kebebasan beragama. Mereka tetap menjunjung kerukunan dalam beragama dan memanusiakan manusia. 

Minangkabau Sebagai Ethnoreligius

Sesuai pada kesepakatan dan implementasi adat yang berlaku, dengan demikian, etnis Minangkabau patut dikategorikan sebagai ethnoreligius. Ethnoreligius sendiri didefinisikan secara singkat ialah kelompok etnis yang di mana anggotanya dipersatukan oleh persamaan latar belakang agama sebagai identitas kuat mereka. Menjadikan agama sebagai fondasi etnisnya, dalam konteks ini agama bersifat melampaui batasan etnis pada umumnya. 

Relasi antara agama Islam dan budaya Minangkabau terjalin amat erat satu sama lain. Sulit dimungkiri perihal mengenai bahasa adalah bagian dari khazanah budaya. Budaya Minangkabau harus sejalan dengan syarak, jadi tidak heran jikalau masyarakat Minangkabau merasa resah menghadapi polemik yang terjadi dewasa ini karena hal demikian dianggap melukai budaya dan adat Minangkabau. Islam sudah menjadi identitas kokoh mereka, hanya Al-Qur’an satu-satunya kitab pedoman mereka. 

Baca Juga  Retrospeksi Pemilu: Politik Hoax dan Persatuan

Menerima Perbedaan Sebagai Bangsa Heterogen

Tidakkah setiap orang sebagai bangsa Indonesia alangkah bijaknya saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada? Masing-masing suku dan etnis memiliki keragaman serta ciri khas sendiri. Tidak bisa dipaksakan sama, tidak ada yang lebih atau paling unggul, semua setara. Satu perjuangan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai bangsa yang heterogen dari berbagai agama, suku, dan budaya.

Ini adalah rintangan sepanjang zaman bagi kita untuk menyelesaikan hal-hal diskriminatif serta permasalahan yang memicu konflik horizontal di tengah masyarakat multikultural. Walaupun, kita memiliki peluang besar untuk menanamkan persatuan nasional yang harmoni dengan cara; saling menerima perbedaan, memahami satu sama lain, kompak bergotong-royong membangun negeri tercinta, dan menghilangkan egoisme yang ada. 

Lenyapkan sentimen bersifat SARA untuk mendiskreditkan golongan tertentu. Intervensi berlebihan yang dilakukan terhadap adat dan budaya dari suatu etnis hanya akan membuka gerbang lebar bagi kekacauan berkepanjangan. Apalagi sebuah sentimen yang timbul akibat perbedaan pandangan politik, itu semua harus ditinggalkan.

Selain itu, jangan hanya memandang bangsa heterogen dipenuhi oleh perpecahan, justru sebagai bangsa heterogen peluang kita begitu gadang untuk mentolerir perbedaan, mudah beradaptasi dengan lingkungan majemuk, dan saling mencintai satu sama lain. Jangan jadikan perbedaan sebagai penghalang, jadikan perbedaan itu sebagai kekayaan bangsa Indonesia untuk terus maju ke depannya.

Editor : Rizki Feby Wulandari

Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa dan penulis awam
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *