Setelah sukses dengan Film Mencuri Raden Saleh, Angga Dwimas Sasongko resmi menayangkan film terbarunya pada 28 November 2023, yang berjudul 13 Bom di Jakarta. Film 13 Bom di Jakarta ini berhasil mendobrak pemahaman mainstream dan membangun imajinasi baru tentang momok aksi terorisme yang kerap terjadi.
Terinspirasi dari kejadian nyata teror bom pusat perbelanjaan di Tangerang pada tahun 2015, Angga mengemas filmnya dengan balutan gunfight dan teka-teki untuk menghentikan peledakan 13 titik bom di Ibu Kota.
Berkolaborasi dengan Mohammad Irfan Ramly, Angga memulai alur filmnya dengan aksi pengeboman mobil yang membawa uang, diselingi dengan berita keanjlokan ekonomi nasional. Adegan baku tembak yang dikomandoi Arok (Rio Dewanto) sebagai pemimpin aksi teror berhasil melumpuhkan petugas dan meledakkan mobil pembawa uang. Uang yang berserakan di ambil oleh warga sipil yang berada di dekat lokasi teror itu.
Aksi itu dicurigai oleh Badan Kontra Terorisme Nasional sebagai aksi teror. Kelompok Arok memberikan ultimatum untuk segera menyerahkan sejumlah bit coin. Jika tidak, mereka akan meledakkan 13 bom lagi yang ada di beberapa titik di kawasan Jakarta. Damaskus (Rukman Rosadi), Emil (Ganindra Bimo), dan Karin (Putri Ayunda) bersegera mengambil tindakan untuk menghentikan aksi teror tersebut.
Oscar (Chicco Kurniawan) dan William (Ardhito Pramono), pengusaha muda pengelola mata uang digital Indodax diinterogasi dan dimintai keterangan tentang aksi teror bom yang terjadi. Selanjutnya, mereka menjadi kunci dalam proses penyelesaian aksi teror ini. Menjadi bagian yang diperebutkan oleh kelompok Arok dan Damaskus. Mereka terjebak dalam aksi-aksi laga sampai film ini selesai.
Buntut Aksi Teror di Indonesia
Film ini secara tidak langsung menjelaskan buntut terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Gerakan-gerakan radikal dalam bentuk teror kerap terjadi karena kekecewaan politik terhadap kekuasaan yang menindas. Hal itu dijelaskan dari latar belakang si Arok dan kelompoknya yang merasa tidak mendapatkan keadilan dalam sistem ekonomi yang dijalankan. Kerugian finansial, kemiskinan yang tersistematis, dan kematian keluarga akibat cekikan ekonomi menjadi motif terjadinya gerakan radikal tersebut.
Motif-motif inilah yang menginspirasi Arok untuk melakukan aksi teror tersebut. Berupaya melakukan perubahan total (revolusi) dengan cara yang radikal. Berusaha mengubah sistem ekonomi konvensional yang korup dan menindas dengan sistem ekonomi yang lebih transparan dan berkeadilan. Setidaknya, ini cukup memberi pandangan baru bahwa gerakan radikalisme tidak terjadi begitu saja tanpa sebab. Sebagai gerakan ‘revolusioner’, terorisme memang mengisyaratkan korban untuk menghentikan penindasan yang akan lebih banyak memakan korban.
Pada zaman modern (khususnya pasca perang dunia II), kekerasan dan penindasan tidak lagi dalam bentuk peperangan, kontak langsung, dan invasi satu bangsa atas bangsa lain. Tapi, melalui hegemoni yang dilakukan oleh para penguasa atas rakyatnya. Hegemoni itu dijalankan melalui sistem-sistem budaya, habituasi, normalisasi, dan kontrol atas kekuasaan. Hegemoni itu menimbulkan kekerasan yang tak kasat mata, manipulatif, seolah-olah tidak ada, bahkan tidak dirasakan sebagai sebuah kekerasan. Kekerasan sistemik, begitu istilah yang disebutkan oleh Slavoj Zizek. Arok yang menyadari hal itu, memilih untuk menjadi oposan radikal melalui aksi terornya.
Reframing Aksi Terorisme
Aksi terorisme sering dikaitkan dengan agama Islam. Setidaknya, itulah framing yang berusaha dibangun dan terbangun hari ini. Baik dalam skala geo-politik ataupun dinamika politik nasional. Melahirkan gejala islamophobia di kalangan masyarakat awam. Mereka menyebut, bahwa gerakan radikal-terorisme adalah buah dari doktrinisasi agama untuk melawan pemerintahan yang sah. Melakukan pemberontakan.
Kuntowijoyo, dalam “Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi” pernah menyinggung penyebab terjadinya gerakan radikal pada masa orde baru. Dalam buku itu, ia melihat tragedi pertengahan September 1984 di Tanjung Priok dengan kacamata sosiologis. Kuntowijoyo memberikan pertimbangan-pertimbangan rasional atas konflik kelompok Islam dan militer tersebut.
“Jika anda adalah seorang sosiolog, mungkin anda akan tertarik mengetahui bahwa kawasan Tanjung Priok memang merupakan wilayah terbelakang yang sebagian besar penghuninya adalah para penganggur, yang hidup di perkampungan kumuh yang tak sehat. Ia juga merupakan tempat dimana kaum migran kota dari pelbagai pelosok tanah air berjuang keras mendapatkan sebuah ruang ekonomi di kota Jakarta”. Begitu terang Kuntowijoyo dalam bukunya.
Film 13 Bom di Jakarta tentu berhasil dalam merekonstruksi imajinasi para penontonnya terhadap momok aksi terorisme. Berbeda dengan film alif lam mim yang masih dibumbui unsur agama, film ini berhasil menepis itu. Aksi terorisme nyatanya tak selalu bermotif agama. Sehingga, penyebab aksi terorisme dapat dilihat secara objektif sebagai gejala yang tumbuh secara organik dari kelompok kelas bawah yang ditindas. “Radikalisme … harus makin dilihat dari dengan pandangan yang bijak … dengan melihat secara mendalam ke latar belakangnya, ke pengalaman historis dan kondisi sosial ekonominya.” Tutup Kuntowijoyo dalam tulisannya.
Penanganan Aksi Terorisme
Hemat penulis, satu hal yang menjadi kekuatan dan kelemahan film ini adalah genre yang dipilih, yaitu laga/action. Balutan gunfight dan kekerasan yang ditampilkan memang menarik untuk kepentingan visual. Tidak bisa dipungkiri juga, bahwa ini jugalah yang menjadi nilai jual dalam film 13 Bom di Jakarta. Tanpa ada aksi laga para aktornya, film ini sungguh akan terasa membosankan. Inilah kekuatan yang menjadi daya pikat para penonton untuk bersegera ke bioskop.
Disisi lain, pendekatan yang dipilih untuk meredam aksi terorisme dalam film ini menjadi kelemahan. Sebab, akan menimbulkan pemahaman dan pelanggengan wacana deradikalisasi bagi para penonton. Bahwa, gerakan radikalisme (terorisme) harus diselesaikan dengan pendekatan keamanan-militeristik (deradikalisme). Pemahaman ini tentu berbahaya untuk kepentingan visi penghapusan terorisme jangka panjang di republik kita ini.
“Radikal tidak dapat dilawan dengan radikal sebagaimana dalam strategi deradikalisasi versus radikalisasi serta deradikalisme versus radikalisme …”. Begitu kata Haedar Nashir dalam pidato pengukuhan guru besarnya yang bertajuk, “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan”. Upaya untuk meredam aksi terorisme memang kerja yang panjang. Harus ada dialog-dialog antara pemerintah dengan kelompok masyarakat. Sehingga agenda-agenda politik kekuasaan tidak menimbulkan kekecewaan dan kemarahan publik yang berbuntut terjadinya aksi terorisme.
Bagaimanapun juga, tentu film ini telah berhasil menyibak realitas penyebab terjadinya aksi terorisme, membangun framing yang lebih objektif, dan perlunya pendekatan yang lebih humanis dalam menghapus terorisme. Ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah dalam melakukan percepatan pembangunan kedepannya. Jangan sampai, proses pembangunan Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju menimbulkan ketimpangan dan penindasan terhadap masyarakat sipil. Ibarat kata pepatah lama, “tidak ada asap jika tidak ada api”.
Editor: Soleh