Falsafah

Filsafat Bahasa Biasa: Menulis itu Biasa Saja!

4 Mins read

Salah satu hal yang membuat saya kagum saat membaca buku atau artikel ialah istilah ilmiah yang digunakan. Sekalipun karena hal itu juga, saya jadi kebingungan saat membacanya.

Saya juga suka penasaran dengan para penulisnya. Bagaimana mereka bisa begitu lihai menyelipkan istilah ilmiah yang keren (menurut saya) ke dalam berbagai tulisannya? Saya ingin tahu metode yang selama ini mereka terapkan.

Mencoba Menulis dengan Keren

Suatu waktu, saya kemudian mencoba untuk menulis sebuah artikel. Saya berencana dengan sebisa mungkin menyertakan istilah-istilah ilmiah yang banyak di dalamnya. Walaupun itu tidak mudah, dengan keinginan kuat untuk menulis dengan keren, membuat saya tetap terdorong untuk melakukannya.

Pada akhirnya, artikel yang saya tulis telah selesai. Saya menyisipkan banyak istilah ilmiah di dalamnya, meskipun saya tidak ketahui apa arti sebagian besar di antaranya.

Benar atau salahnya urusan belakang. Alih-alih mementingkan proses, bagi saya hasil adalah tujuan yang utama. Paling tidak, saya juga bisa menulis dengan gaya bahasa bermuatan istilah-istilah ilmiah. Artikel tersebut kemudian saya unggah ke akun Facebook saya. Saya berharap banyak orang yang membacanya, menanggapinya, lalu kemudian membagikannya.

Komentar dari Teman

Tak berselang lama, teman saya muncul mengomentari tulisan yang saya unggah. Dia adalah orang yang cukup dikenal pandai dalam menulis. Menurutnya, artikel yang saya tulis memiliki banyak sekali kekurangan, utamanya dalam hal pemilihan diksi.

Alih-alih memberikan pujian terkait penggunaan istilah ilmiah saya, ia justru malah menganjurkan untuk sebisa mungkin tidak menyertakan istilah-istilah ilmiah saat menulis.

Melalui WhatsApp, Ia kemudian mengirimi saya sebuah contoh esai dengan gaya bahasa yang sangat enak untuk dibaca, tanpa embel-embel istilah ilmiah. Saya membacanya dan membandingkannya dengan tulisan sendiri yang saya unggah tadi.

Tulisan yang dikirimkan oleh teman saya tadi justru lebih menarik dan lebih mudah untuk saya pahami ketimbang saat membaca tulisan sendiri.

Komunikasi Kontekstual: Tentang Filsafat Bahasa

Hingga suatu ketika salah seorang teman menghadiahi saya sebuah buku. Dia adalah salah satu kakak kelas saya waktu di MTS dulu.

Baca Juga  Kiat-kiat Menjadi Penyunting Naskah Profesional

Judul buku itu adalah ‘Komunikasi Kontekstual’. Buku itu ditulis oleh Wahyu Wibowo seorang pengajar filsafat bahasa asal Jakarta. Buku ini semakin membenarkan bahwa sebuah tulisan, baik itu yang berupa buku atau artikel memang tidak semestinya dilumuri dengan istilah-istilah ilmiah.

Di dalam buku ini, ada ungkapan menarik dari Ludwig Wittgenstein, seorang guru besar Filsafat Bahasa Universitas Cambridge Inggris, “Pertanyaan-pertanyaan filosofis serta yang bersifat akademis mesti dibingkai melalui diksi atau pilihan kata yang tepat.”

Pikiran saya langsung tertuju kepada tulisan-tulisan yang gaya bahasanya banyak mengandung istilah-istilah ilmiah. Bahkan, saya sering menemukan terdapat beberapa penulis tidak menjelaskan lebih jauh terkait istilah-istilah yang tercantum di dalam tulisannya.

Tentu saja yang demikian akan membuat banyak pembaca merasa kebingungan saat membacanya. Apa lagi bagi pembaca pemula seperti saya, yang untuk memahami satu paragraf saja butuh waktu yang lama (padahal bahasa yang digunakannya sudah sangat sederhana), apatah lagi saat disertai dengan istilah-istilah ilmiah.

Aliran Filsafat Bahasa Biasa

Ludwig Wittgenstein selain sebagai seorang guru filsafat bahasa, ia juga adalah orang yang mencetuskan aliran Filsafat Bahasa Biasa. Aliran ini merupakan salah satu dari tiga aliran utama penopang aliran filsafat bahasa yang lahir di Inggris pada awal abad ke-20. Kedua aliran lainnya adalah Atomisme Logik dan Positivisme Logik.

Pokok pembahasan aliran ini tertuju kepada bahasa sehari-hari. Menurut aliran ini, bahasa bukan hanya sekedar alat komunikasi semata. Lebih dari itu, bahasa adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari konteks kehidupan sehari-hari kita.

Menurut Wittgenstein, sebuah kata bebas penggunaannya dalam berbagai aktivitas kehidupan, asalkan sesuai dengan konteksnya. Sebagai penegasan, Wittgenstein kemudian memperkenalkan sebuah istilah yang ia sebut dengan ‘tata permainan bahasa’.

Tata Permainan Bahasa

Tata permainan bahasa adalah berbagai bentuk ungkapan bahasa yang sesuai dengan konteks masyarakat penggunanya. Menurut aliran Filsafat Bahasa Biasa, di dalam kehidupan kita terdapat banyak sekali bentuk-bentuk tata permainan bahasa.

Baca Juga  Dorong Guru untuk Menulis, Tim PkM UNY Hasilkan Tiga Buku

Seperti berpuisi, berpidato, berkampanye, berdiskusi, dan seterusnya semuanya memiliki bentuk bahasa masing-masing. Tentu saja semua itu sesuai dengan konteks masyarakat penggunanya.

Bahasa yang digunakan seorang sastrawan saat berpuisi tentu saja berbeda dengan bahasa yang digunakannya saat berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Ia bukan karena tidak konsisten dalam berbahasa atau menjadikan bahasa sebagai perantara untuk mencapai tujuan pribadi. Ia karena tata permainan bahasa yang berlaku di dalam kehidupan sehari-hari kita memang demikian adanya.

Filsafat Tidak Harus Rumit

Di dalam buku ini, Wittgenstein juga mengkritik keruwetan bahasa yang terdapat di dalam filsafat. Menurutnya, hal yang demikian terjadi karena para Filsuf cenderung menggunakan istilah-istilah yang maknanya sulit dipahami.

Misalnya kata-kata yang paling sering dijumpai dalam bahasa filsafat, seperti ‘kebaikan’, ‘keberadaan’, dan ‘kebenaran’. Makna “kebaikan” dalam bahasa filsafat tentu saja berbeda dengan kebaikan yang umumnya kita pahami selama ini.

Bagi kita kaum awam, salah satu bentuk kebaikan adalah saat kita membantu orang yang kesusahan. Tapi apakah yang demikian dalam filsafat juga seperti itu? Belum tentu.

Sehingga hal inilah yang membuat banyak orang berpendapat bahwa bahasa filsafat sangat sukar untuk dipahami. Maka jangan heran jika sampai saat ini kita masih saja sering mendengar adanya beberapa orang yang enggan untuk mempelajari filsafat.

Oleh karena itulah mengapa kemudian Wittgenstein mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan filosofis dan yang bersifat akademis kaya dengan istilah ilmiah mesti dibingkai dengan pilihan kata yang tepat. Karena di dalam kehidupan kita terdapat banyak sekali model penggunaan bahasa yang beragam, yakni tata permainan bahasa.

Kesadaran Berbahasa

Lalu, bagaimana dengan tulisan-tulisan yang selama ini saya puja-puji, yang isinya banyak ditaburi dengan istilah-istilah ilmiah? Jika benar tulisan itu ditujukan kepada kalangan luas, mengapa harus menggunakan istilah-istilah ilmiah yang justru membuat banyak pembaca jadi merasa kebingungan?

Baca Juga  Filsafat Hellenisme: Sebuah Retrospeksi

Misalnya, alasannya karena istilah-istilah ilmiah lebih tepat untuk mewakili maksud yang ingin disampaikan oleh si penulis. Tapi kata teman saya yang tadi, banyak juga tulisan-tulisan yang bahasanya sederhana, enak dibaca oleh banyak orang, tanpa perlu istilah-istilah ilmiah.

Saya menduga, jangan-jangan para penulis pecandu istilah-istilah ilmiah itu hanya sekedar menginginkan kepopularitasan semata. Saya segera membayangkan betapa Wittgenstein akan sangat marah besar saat mengetahui keberadaan ‘jenis’ penulis seperti mereka.

Seorang penulis harusnya bisa menyesuaikan bahasa yang digunakannya dalam sebuah tulisannya dengan konteks bahasa yang berlaku di masyarakat luas. Sebagaimana adanya tata permainan bahasa yang berlaku di dalam kehidupan kita.

Ia harus mampu memahami bentuk bahasa seperti apa yang jika ia tuangkan dalam sebuah tulisan akan diterima dan dipahami dengan baik oleh setiap kalangan.

Inilah yang dalam aliran Filsafat Bahasa Biasa disebut dengan ‘Kesadaran Berbahasa’. Yakni, kemampuan untuk memahami konteks-konteks berbahasa dalam berkomunikasi sehari-hari.

***

Tulisan mestinya juga bisa dipahami sebagai media untuk menyalurkan berbagai hal yang positif ke banyak orang. Melalui tulisan, orang lain bisa tahu hal-hal yang selama ini mereka tidak ketahui. Sehingga, mereka pun bisa mengambil manfaat dari tulisan yang kita miliki.

Namun, apakah itu bisa terwujud jika isi tulisan kita banyak istilah ilmiah yang rumit hingga mereka jadi tidak paham?

Alih-alih akan tercerahkan, bisa-bisa mereka justru malah akan tersesatkan. Tulisan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami namun disertai dengan argumentasi yang kuat lah yang justru paling diincar oleh semua pembaca.

Sebab sejatinya semua orang hanya ingin memahami suatu perkara dengan cara yang paling mudah, yang tentu saja dengan melalui bahasa yang mudah untuk dipahami. Bukan dengan bahasa yang bikin nyesek banyak orang saat membacanya.

Editor: Shidqi Mukhtasor

12 posts

About author
Pelajar
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds