Oleh: M. Khusnul Khuluq*
Bagaimana relasi antara agama dan filsafat? Ini adalah pertanyaan yang cukup menjengkelkan banyak kalangan. Pertanyaan ini yang akan kita diskusikan dalam ulasan singkat ini. Menyoal bagaimana relasi agama dan filsafat adalah pekerjaan yang sudah dimulai oleh banyak pemikir. Pemikir seperti Al-farabi, juga Al-Kindi mislanya sudah memulai untuk mendialogkan bagaimana agama dan filsafat dapat relevan.
Agama dan Filsafat
Umur agama dan filsafat sama tuanya dengan umur manusia itu sendiri. Karena keduaya ada sejak manusia itu ada. Mempercayai suatu entitas yang transenden dan bagaimana cara mengabdi padanya, itulah agama. Bagaimana berpikir benar untuk memuculkan sikap yang bijak, itulah filsafat. Keduanya, mulai dari bentuknya yang paling primitif hingga yang paling sistematis.
Baru sekitar paling tidak dua ribu lima ratus tahun terakhir, keduanya disistematisasi sedemikian rupa. Hingga pada akhirnya, agama menjadi hal yang sangat teknis. Dan filsafat juga begitu. Menjadi suatu hal yang sangat ketat dan sempit lingkupnya.
Saya tidak ingin mempertentangkan antara agama filsafat. Keduanya penting. Telah saya singgung di atas bahwa filsafat berbicara tentang bagaimana orang berpikir. Sementara itu, agama berbicara tentang bagaimana orang mempercayai hal transenden dan bagaimana mengabdi padanya. Mengapa keduanya harus dipertentangkan?
Tidak sedikit kalangan yang masih menganggap bahwa filsafat itu sesat dan menyesatkan. Bahkan tanpa perlu mengerti apa itu filsafat. Saya tidak mengerti mengapa orang memahaminya begitu. Namun saya tidak menemukan argumen satupun bahwa filsafat membawa seseorang pada kesesatan. Karena filsafat berbicara bagaimana orang berpikir dengan benar. Sesederhana itu. Selain itu, filsafat berusaha untuk menjernihkan seseorang dalam berpikir.
Ini berbeda dengan paradigma agama. Agama mengajarkan seseorang untuk taat tanpa banyak bertanya. Keduanya sangat berbeda. Namun, sekali lagi, keduanya tidak perlu dipertentangkan.
Filsafat dalam Keilmuan Islam
Beberapa filsuf muslim menjadi besar dengan pemikiran filsafatnya. Sebut saja pemikir seperti Ibnu Rusyd, di mana pemikiran seorang Ibnu Rusyd ini sangat diminati di dunia barat. Bahkan beberapa karyaya dipelajari dan dikembangkan di dunia barat. Suatu analisa mengatakan bahwa karya-kaya Ibnu Rusy mengilhami bangkitnya filsafat di barat.
Di dalam literatur sejarah kita juga mengenal nama-nama besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Amiry Al-Biruni, Ibnu Sina, Al Ghazali, Ibnu Bajjah dan sebagainya. Mereka adalah orang-orang yang bergelut dengan filsafat. Justru kita tidak menemukan kesesatan dalam pikiran mereka Atau paling tidak justru nama mereka dikenal banyak orang dari pikiran-pikiran mereka yang fenomenal. Banyak nama-nama besar lain yang tercatat di dalam sejarah dunia Islam. Kita tidak perlu sebutkan satu demi satu.
Satu hal yang menarik adalah, bahwa berawal dari para filsuf muslim itulah kebangkitan Islam dimulai. Mungkin, sejarah tidak akan mencatat kebangkitan Islam yang fenomenal itu tanpa para pemikir ini. Satu hal yang bisa kita ambil sebagai kesimpulan awal, bahwa kebangkitan dimulai dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak akan muncul tanpa adanya filsafat. Karena, sebagaimana yang saya sebutkan di awal, bahwa filsafat berbicara tentang bagaimana seseorang berpikir benar. Selain itu filsafatlah yang menghasilkan ilmu pengetahuan.
Pertanyaan selanjutnya adalah, jika kita sudah mengetahui bagaimana filsafat berperan, maka masihkah kalangan tertentu alergi terhadap filsafat. Karena, pada hakikatnya filsafat hanyalah sebuah cara bagaimana kita berpikir. Filsafat hanyalah pemandu bagi seorang manusia untuk berpikir benar.
Berpikir Bebas
Memang, salah satu tabiat dari pada filsafat adalah kebebasan. Dimana seseorang diperbolehkan untuk berpikir bebas. Namun, bentuk pemikiran yang dihasilkan haruslah pemikiran yang argumentatif. Artinya tidak asal berpikir bebas saja. Mungkin inilah yang ditakutkan oleh kalangan yang alergi terhadap filsafat. Yakni karena mereka menganggap bahwa konsumsi terhadap filsafat itu membawa kita untuk berpikir bebas. Selanjutnya, pikiran yang bebas dapat menggoyahkan apa yang telah mereka percayai. Mungkin itu salah satu alasan mengapa filsafat dianggap menyesatkan.
Dengan filsafat, kita diajak untuk memikirkan ulang apa yang telah kita percayai. Artinya, jika filsafat dihadapkan dengan agama, disitu agama diuji sejauh mana argumen-argumen yang diajukan di dalam diskursus keagamaan dapat bertahan. Tentu tidak semua diskursus keagamaan dapat bertahan ketika diuji dengan filsafat.
Tapi, sebuah keyakinan yang telah diuji argumennya, tentu akan berbeda dengan keyakinan yang belum atau tidak diuji. Di situ peran filsafat di dalam keyakinan. Artinya, keyakinan yang telah diuji dengan filsafat tentu lebih argumentatif. Karena itu, kita akan menemukan dua macam keyakinan. Yakni keyakinan yang didapatkan secara serta-merta dan keyakinan yang dihasilkan dari oleh pikir yang argumentatif.
Maka, keyakinan serta-merta itu tentu akan berbeda dengan keyakinan yang didapatkan secara argumentatif. Saya akan memilih keyakinan yang argumentatif. Yakni, keyakinan yang dapat bertahan ketika diuji. Karena keyakinan yang sifatnya serta-merta adalah keyakinan yang relatif rapuh. Tidak tahan uji. Orang akan mempertahankan keyakinan semacam itu degan emosi. Bukan dengan dengan argumen. Karena itu, filsafat berperan dalam melahirkan keyakinan yang argumentatif.
Saya tidak ingin mempertentangkan dua macam keyakinan tersebut. Apalagi memaksakan seseorang untuk menganut keyakinan yang mana. Karena teori dasar dari dari agama adalah “percayailah apa yang ingin anda percayai”. Jadi kita mempercayai sesuatu hanya karena ingin percaya. Meskipun tanpa argumentasi. Itu cara kerja agama. Artinya, seseorang boleh mempercayai hal yang konyol atau tidak masuk akal sekalipun, dan itu adalah bagian dari hak asasi manusia. Dan ini sah-sah saja.
***
Seseorang tidak boleh melarang orang lain untuk mempercayai sesuatu atau tidak mempercayai sesuatu. Inilah yang dalam diskursus hak asasi manusia disebut freedome of religion. Sementara itu, filsafat menawarkan seseorang untuk beragama dengan pikiran. Seseorang bebas-bebas saja memilih untuk beragama dengan pikiran atau dengan kekonyolan.
Singkat kata, dalam konteks relasi agama dan filsafat, filsafat membantu seseorang untuk beragama dengan akal. Filsafat mengajarkan seseorang bagaimana beragama dengan pikiran. Bukan dengan kekonyolan.
*) Human Right Defender. Kader Muda Muhammadiyah
Editor: Nabhan