Falsafah

Filsafat Tidak Akan Mati Sampai Kapanpun

5 Mins read

Akhir-akhir ini perbincangan tentang filsafat diruang publik seakan menuai kontraversi, ada sebagian alih-alih yang berasumsi bahwa filsafat akan mengalami kepunahan? Benarkah demikian?

Asumsi yang mengatakan bahwa Filsafat telah mati pertama kali, diperkenalkan oleh “Stephen Hawking”. Seorang Fisikawan ia menulis dalam karyanya: “A Brief History of Time”. Ia mengatakan bahwa filsafat sudah jauh ketinggal zaman, karena ketidakmampuan dalam mengejar kemajuan teknologi, terutama fisika.

Dengan mengacu pada pertanyaan pada awal mula alam semesta, Hawking berasumsi bahwa filsafat tak mampu menjawab pertanyaan mendasar tentang: Mengapa kita ada di alam ini? Dari mana kita berasal.

Asumsi-asumsi fundamental dari Hawking ini mengingat imajinasi kita tentang awal filsafat klasik, ketika para filosof Yunani bertentang tentang awal mula alam ini terbentuk seperti: Anaxagoras, Pythagoras, Socrates, Plato, dan aristoteles. Sumbangsih pemikiran filosof yunani inilah membuka cara berfikir kita tentang pentingnya mempertanyaan secara kritis tentang asal muasal alam ini, dan dari mereka kita bisa menatap dunia lebih luas bukan hanya sekedar berputar pada perdebatan teologis namun melihat perkembangan dunia dari semua dimensi realitas.

Naif Jika Ada yang Mengatakan Filsafat Telah Mati

Menurut Hemat saya, Stephen Hawking dan para alih-alih yang mengatakan bahwa filsafat telah mati adalah bentuk dari ketidakmampuan mereka dalam memproduksi nalar kritis dan menafikan sifat dasar manusia sebagai makhluk berfikir.

Hawking bukanlah seorang positivis reduksionis, filosof namun ia hanya saintifik fisikawan yang hanya melihat dimensi realitas pada pendekatan fisika namun ia hanya menggunakan sudut pandangan subjektif saintifik dan tak berdasarkan landasan ilmiah, pendekatan filosofis, bahkan mengabaikan metode berfikir sistematis filsafat.

Ia lupa bahwa sejarah dan pusat dari semua disiplin ilmu pengetahuan termasuk sains adalah berasal dari induk filsafat. Dan akhirnya, ia terpencara di dalam metode berfikir saintifik yang absurd.

Perlu kita ketahui bahwa sains hanyalah menguraikan realitas secara empiris, namun sains tak mampu mengungkapnya realitas di balik dimensi empiris tersebut. Semisal; Dari mana alam itu terbentuk, untuk apa ia ada dan bagaimana metodenya.

Baca Juga  Ali Syariati: Paradoks Esensi Manusia

Begitupula dengan realitas eksistensi manusia bahkan yang paling tinggi tentang relasi keduanya. Hal tersebut hanya bisa diungkapkan oleh filsafat secara filosofis dan rasional.

Filsafat Akan Tetap Hidup dan Tak Akan Mati?

Filsafat sebagai sebuah ilmu. Kebanyakan akademisi, mahasiswa bahkan masyarakat pada umumnya kurang perhatian padanya. Banyak orang berasumsi bahwa belajar filsafat akan membawa kita atheis atau tak bertuhan, tak beragama, dan hanya menghabiskan waktu.

Banyak yang bertanya bahwa profesi di bidang filsafat arahnya tidak jelas, kita mau bekerja di mana? Bahkan yang lebih tragis sebagian masyarakat bahkan berasumsi bahwa filsafat tak menjanjikan prospek masa depan yang jelas dan mereka sering menjauh dari perbincangan filsafat, filsafat tak mampu menjawab komplesitas persoalan kemanusiaan di era disrupsi saat ini. Benarkan semua asumsi-asumsi diatas?

Lantas apa gunanya filsafat? Filsafat sebagai disiplin ilmu yang mengajarkan kita sebagai entitas dari manusia berfikir untuk mengoptimalkan pola berfikir yang benar, sistematis, dan radikal. Sehingga, manusia mampu memahami esensi kemanusiaannya.

Filsafat pada pada dasarnya cinta akan kebijaksaan. Namun secara filosofis, kebijaksaan yang dimaksud adalah pada proses mengasah penalaran, mencinta khasanah pengetahuan, bahkan menghantarkan kita menjadi seorang filosof yang menjaga pikiran, mengabdi diri pada proses transformatif pengetahuan universal.

Baik itu tentang eksistensi kemanusiaan, alam semesta, ataupun dimensi absolut (Tuhan). Bahkan relasi antar ketiganya secara rasional, mendalam, sistematis, dan mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dan tak kalah pentingnya, belajar filsafat adalah untuk kita terhindar dari kepercayaan yang dogmatis, fatanisme buta. Dengan filsafat, setiap manusia yang beriman diajak untuk mengimani secara rasional, merdeka, dan bebas tanpa intervensi apa pun itu.

Manusia yang menjauhkan dirinya dari filsafat, pada hakikatnya, ia menafikkan dirinya sebagai manusia yang berfikir bahkan ia mengkonfirmasi ketidakmampuan dalam mengasah pikirannya dan mendistrubusikan ide tentang dirinya, alam semesta, bahkan relasi dimensi keduanya secara kesinambungan.

Sekaligus, ia telah membunuh dirinya sendiri sebagai manusia. Selama Homo Sapiens atau manusia baik masih ada dimuka bumi ini, selama itu pula filsafat tetap hidup, dan akan berkembangan pesat sesuai dengan relitas zaman.

Dengan demikian, maka manusia sangatlah membutuhkan filsafat sebagai metode berfikir untuk menjalin harmonisasi akal dan agama sebagai satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.

Baca Juga  Immanuel Kant (3): Perbuatan Etis Ada di Balik Nalar

Filsafat Menurut Para Cendekiawan

Meminjam pesan dari Magnis Suseno ia berpendapat bahwa filsuf tetap diperlukan dipojok-pojok kebudayaan sebagai kritikus. Karena pada esensinya, filsafat membantu kita untuk berfikir kritis, termasuk sebagai kritik ideologi, dan menjadikan kita sosok ideolog dan pelaksana kebudayaan.

Dalam istilah Prof. Nurcholish Madjid bahwa filsafat dapat menjadi reservoir etika, di mana dalam situasi anomali nilai, filsafat dapat memberi alternatif untuk rencana kebudayaan yang baru di tengah perkembangan masyarakat modern saat ini yang semakin krisis identitas.

Apakah Filsafat Akan Mati di Era Disrupsi?

Masa depan filsafat akan selalu hidup apabila selalu diperpinjangkan, sekaligus bagi para filosof, cendekiawan bahkan pegiat filsafat melahirkan konstruksi berfikir baru di dalam menggali filsafat sehingga mampu menjawab realitas isu-isu kontemporer di era disrupsi saat ini. Mengingat realitas akan selalu dinamis.

Apakah dimasa depan masih ada kaum intelektual, filosof yang masih membicarakan filsafat? Apa saja tema yang akan diangkat? Dan apa indikator untuk mengukur masa depan filsafat?

Dalam Karya John B. Searle “The Future of Philosophy” (1999). Searle mengungkap perbedaan filsafat dan sains. Beliau berpendapat bahwa filsafat hanya membicarakan sesuatu abstraksi melalui pendekatan filosofis sedangkan sains lebih membicarakan hal-hal yang empiris dan bukti-bukti ilmiah.

Searle mengungkapkan perbedaan filsafat dan sains pada gambaran kanker. Menurutnya; Kalau sains akan bertanya apa yang menyebabkan penyakit kanker? Sedangkan filsafat akan mempertanyakan apa hubungan sebab akibat dari kanker tersebut?

Dari sinilah, menurut Searle masa depan filsafat ialah filsafat yang dibedakan dengan sains, Lalu topik-topik apa saja yang akan dibicarakan di dalam filsafat. Ada enam topik yang sangat penting menurut Jhon B. Searle dalam membicarakan filosof masa depan di antaranya; yang pertama adalah mind body problem yaitu fikiran dan tubuh atau otak dan kesadaran. Bagaimana kesadaran itu bisa lahir di dalam otak.

Baca Juga  Cahaya dalam Perspektif al-Ghazali, Seperti Apa?

Kedua, pikiran dan kognisi yaitu intensional atau keterarahan. Kalau kita gambarkan otak adalah computer, maka kognisi itu adalah aplikasi dari komputer itu yang diinstal. Menurut Searle, kalau kita tarik ke pikiran bukan hanya mengungkapkan tentang simbol partikel namun dalam pikiran itu mampu menampilkan kecerdasan nalar untuk menjelaskan partikel-partikel yang materi maupun non materi. Menurutnya, topik ini akan menjadi pembahasan menarik para filosof di masa yang akan datang.

Ketiga, adalah filsafat bahasa. Menurutnya, filsafat bahasa bukan hanya membicarakan teks semata, namun membicarakan konteks dalam bahasa tersebut dan mengungkapkan secara ilmiah dari makna konteks tersebut.

***

Kempat, adalah filsafat masyarakat atau sosial. Menurut Searle bahwa realitas masyarakat harus dikaji secara filosofis semisal; mengapa seseorang harus diingat di dalam hubungan sosial masyarakat? Apa saja indikatornya dan bagaimana mengukurnya? Dari sinilah kita akan memahami esensi dari perkembangan masyarakat.

Kelima; etika dan nalar praktis. Kita akan mengkaji secara kritis apakah tindakan manusia di dalam realitas manusia itu objektif atau tidak? Bagaimana kita mengukurnya dan apa saja metodenya?

Keenam, adalah filsafat Ilmu. Menurutnya, melalui filsafat ilmu, kita akan menggali secara mendalam apa saja indikator pengukur kualitas ilmu seseorang? Dari mana ia dapatkan dan apa saja metodenya.

Perbincangan topik-topik di atas akan menarik diwacakan era disrupsi atau sekarang ini dan akan datang oleh para filosof, kaum intelektual, bahkan pegiat filsafat. Dan filsafat akan selalu kontekstual dan mampu menjawab isu-isu di era disrupsi saat ini, seperti; demokrasi, HAM, krisis ekologi, ekonomi, dan lain sebagainya.

Dikarenakan filsafat adalah induk dari semua ilmu pengetahuan yang berkembang. Dan akan ditelaah secara ilmiah, filosofis, dan radikal terhadap suatu realitas zaman modern dan tumbuhnya perkembangan umat manusia.

Itulah kenapa filsafat itu selalu relevan dengan zaman dan akan selalu berkembang pesat selama Homo Sapiens atau manusia bijak masih mendiami kosmos ini.

Editor: Yahya FR

Avatar
1 posts

About author
Pegiat Filsafat
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds