Feature

Filsyahwat: Ejekan Ustadz Menolak Filsafat, padahal Dia Sendiri Menafsir Al-Quran dengan Syahwat

3 Mins read

Ejekan Terhadap Filsafat – Malam itu saya menghadiri pengajian di musholla kampung. Sebuah pengajian rutin yang diadakan secara bergilir dari satu kampung ke kampung yang lain. Mereka mengkaji tentang Al-Qur’an, pertama sang ustadz membaca satu dua ayat, membacakan terjemahan, kemudian memberikan uraian.

Sang ustadz juga menyinggung isu yang sedang ramai di televisi dan mencoba mengomentari aliran atau pemikiran baru tentang agama yang banyak bermunculan. Pengajian terasa gayeng. Sebab sang ustadz banyak menyelipkan guyonan segar dalam kajiannya.

Sampai kemudian beliau menyebut sebuah istilah yang terasa asing dan janggal, setidaknya bagi telinga saya, yaitu tentang “filsyahwat”.

Sebuah Definisi Filsafat yang Lucu

“Filsyahwat itu gabungan dari kata filsafat dan syahwat”, katanya. Ia lalu menjelaskan kepada audiens yang rata-rata sepuh itu tentang filsafat. “Filsafat itu seperti berpikir mendalam, tapi hasilnya keliru. Sebab filsafat itu ilmu yang dipenuhi oleh syahwat”, tambahnya. Para hadirin pun tertawa riang.

Sebuah definisi yang lucu, yang tentu saja dimaksudkan untuk mengejek. Saya coba membayangkan betapa merana dan sia-sianya menjadi seorang filsuf. Sudah bersusah payah melakukan kajian dan berpikir serius tentang sesuatu, tapi hasilnya sudah dipastikan salah terlebih dahulu.

Pada menit-menit berikutnya, sang ustadz masih melanjutkan ketidaksetujuannya tentang berpikir serius, terutama terhadap Al-Qur’an. Berkali-kali ia menyitir ayat yang intinya menjelaskan, bahwa Al-Qur’an sejak dari sononya sudah disiapkan oleh Allah agar mudah dipahami dan tinggal pakai, sehingga tidak butuh pikiran mendalam, tidak perlu filsafat-filsafatan.

Imam Al-Ghazali Tidak Menolak Filsafat

Keberatan terhadap filsafat bukanlah gejala baru. Banyak filsuf Muslim yang dicap zindiq bahkan ateis. Imam al-Ghazali, misalnya, menulis kritik terhadap filsafat, terutama terhadap teori-teori Platonis yang dikembangkan oleh sejumlah filosof Muslim dan dianggapnya terlalu spekulatif serta bertentangan dengan iman.

Baca Juga  Riwayat Pengajian Muhammadiyah di Masa Awal

Kritik al-Ghazali ini kemudian dianggap sebagai pukulan keras terhadap filsafat dan kemenangan bagi ortodoksi serta menjadi dalih untuk menjauhi filsafat, yang berlangsung sampai hari ini. Lelucon nyinyir dari pak ustadz di atas, agaknya merupakan langkah ikut-ikutan dari semangat penolakan tersebut.

Tapi ada yang luput dari pengamatan ustadz ini, yakni dalam menyampaikan keberatan al-Ghazali yang tidak asal-asalan. Sang Hujjatul Islam itu terlebih dahulu mempelajari filsafat secara mendalam hingga benar-benar memahami sisik meliknya.

Karena itu, meski kritiknya bertolak dari landasan keagamaan, serangan-serangannya terhadap filsafat tetap dibangun di atas argumen-argumen logis. Ada wacana tandingan yang ditawarkan olehnya, sehingga tetap mencirikan perdebatan filosofis.

Sementara itu, dari Ustadz sendiri, tidak memberikan tawaran apa pun kecuali sikap apatis dan simplifikasi terhadap Al-Qur’an. Bahwa kita tidak perlu repot-repot berpikir, sebab pesan Al-Qur’an cukuplah diambil dari terjemahan.

Bagaimana dengan Sebuah Penafsiran?

Selain bertentangan dengan banyak pesan dalam Kitab Suci itu, yang kita diperintahkan untuk berpikir, menggunakan akal, dan berefleksi, pernyataan ustadz bisa juga merupakan cermin (atau bahkan seruan untuk) keengganan terhadap ilmu pengetahuan.

Sikap ini memiliki implikasi yang serius dalam wacana keagamaan. Al-Qur’an turun dalam budaya dan konteks tertentu, sehingga ia membutuhkan pikiran yang aktif untuk mengeksplorasi maknanya dan menerapkan arahannya dalam keadaan yang lain.

Bahkan untuk menerjemahkan Al-Qur’an, sangat diperlukan keseriusan. Bahasa Al-Qur’an menyimpan keragaman makna. Sebuah terjemah tidak bisa mengangkut semua nuansa makna ke dalam satu kata yang berbeda. Seseorang harus memilih dan memutuskan makna. Pendeknya, ia harus menafsirkan.

Karena atas alasan itulah, kita banyak mendengar dan membaca tentang perbedaan tafsir atas sebuah ayat, bahkan sebuah kata. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh keragaman setting sosial, pendidikan, ideologi, atau afiliasi politik penafsirnya.

Baca Juga  Anak Muhammadiyah Mengenal NU

Bahaya Simplifikasi terhadap Al-Qur’an

Kita sering dibuat geger oleh perbedaan tafsir atas kata. Beberapa perbedaan pemahaman dan tafsir itu, bahkan kadang sering merembet pada tindakan kekerasan di masyarakat. Satu kelompok yang berpegang pada satu pengertian melakukan persekusi atas kelompok lain yang meyakini banyak makna.

Mereka menghancurkan harta bendanya, merusak rumah ibadahnya, menginjak-injak martabat dan kehormatannya. Bahkan, mereka tak segan mengancam nyawanya dengan dalih kemurnian iman dan kesetiaan kepada ayat-ayat Tuhan dan hadis Nabi.

Fakta-fakta ini saya kira sangat membuktikan, bahwa memahami Al-Qur’an tidak semudah yang dibayangkan. Diperlukan usaha yang keras untuk bisa memperoleh pemahaman yang komprehensif terhadap pesan-pesan Al-Quran dan Hadits, sehingga bisa menghadirkan tujuan utamanya sebagai rahmat bagi alam semesta.

Simplifikasi terhadap Al-Qur’an dengan hanya mengacu pada satu versi tafsir atau terjemah adalah tindakan naif, bahkan sangat berbahaya. Sikap ini pada gilirannya menutup diri dari adanya tafsir-tafsir yang lain, dan hanya membenarkan tafsirnya sendiri. Tepat pada titik inilah, sebenarnya ia telah berkubang pada syahwatnya sendiri.

Editor: Saleh

Muhammad Zaid Su'di
2 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds