Pengertian Qurban
Secara bahasa, istilah qurban berasal dari kata qarraba, yuqarribu, qurbanan, artinya pendekatan diri. Menurut istilah agama, qurban ialah: menyembelih hewan pada hari nahr dan hari tasyriq, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan realisasi rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah.
Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa melaksanakan qurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menaati perintah-Nya, bukan dengan maksud yang lain. Dari segi waktu, penyembelihan yang dapat diklasifikasikan ke dalam ibadah qurban, dibatasi hanya selama hari nahr (tanggal 10 Dzulhijjah).
Oleh karena itu apabila penyembelihan dilakukan sebelum atau sesudah hari tersebut, sekalipun dimaksudkan sebagai ibadah qurban, maka tidaklah termasuk dalam kriteria ibadah qurban. Demikian juga hewan yang dapat dijadikan qurban sudah ditentukan jenisnya, yaitu Unta, Sapi, Kerbau, Kambing atau Domba. Oleh karena itu kalau hewan yang dijadikan untuk qurban itu berupa unggas umpamanya, maka penyembelihan itu tidak termasuk dalam kriteria ibadah qurban.
Hukum Ibadah Qurban
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum melakukan qurban, ada yang mengatakan wajib, tapi ada juga yang mengatakan sunah. Muhammadiyah sendiri belum menentukan apakah hukum melakukan qurban itu. Terlepas dari adanya perbedaan pendapat mengenai hukum melakukan qurban, tetapi yang jelas bahwa ibadah qurban itu diperintahkan oleh Allah, seperti dalam surat al-Kautsar (108) ayat 1 dan 2:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. (QS. Al-Kautsar:1-2).
Demikian juga firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 36:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS. Al-Hajj: 36)
Dalam pada itu Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa mendapatkan keluasan (riski), untuk berqurban tetapi tidak berqurban, maka janganlah mendekati tempat salat kami. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Sabda Nabi di atas menunjukkan betapa kuatnya perintah berqurban itu, sehingga Nabi mencela para sahabatnya yang mampu berqurban tetapi tidak mau melaksanakannya, dengan melarang mendekati mushalanya.
Yang Berqurban dan Yang Menerima Hasil Qurban
Orang yang diperintahkan untuk melakukan qurban adalah orang Islam yang memiliki kemampuan. Mampu berqurban itu, baik karena mempunyi sendiri hewan qurban itu atau dengan cara membeli. Termasuk dalam kriteria mampu, apabila hewan qurban itu didapat dengan cara menghutang asalkan ia memiliki kemapuan untuk membayar hutang tersebut, maka qurban dengan cara berhutang adalah diperbolehkan dan sah. Adapun yang berhak menerima daging qurban ialah fakir miskim dan sahibul qurban (orang yang berqurban) itu sendiri. Hal ini sebagaimana disebutkan dalah surat al-Hajj ayat 36 di atas.
Tidak ada nash yang sarih (tegas) yang mengatur berapa bagian yang diberikan kepada fakir miskin dan berapa pula bagian yang diambil sahibul qurban. Hanya menurut para ulama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah, bahwa sahibul qurban berhak menerima sepertiganya (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Dar el-Fikr, 1992, III: 278).
Demikian juga tidak ada pembatasan bahwa fakir miskin itu harus yang beragama Islam. Oleh karena itu boleh juga fakir miskin yang tidak beragama Islam diberi daging quran. Perlu mendapat perhatian bahwa daging qurban tidak boleh dijual, sekalipun hasilnya untuk kepentingan agama, sehingga apabila di tempat penyembelihan tidak ada fakir miskinnya, daging qurban tersebut harus diberikan kepada fakir miskin di tempat lain.
Mengenai biaya penyembelihan hewan qurban, pada dasarnya merupakan beban dari sahibul qurban. Oleh karena itu apabila seorang menyerahkan hewan qurban kepada panitia qurban dan panitia memerlukan biaya untuk menyembelih dan pengurusan daging qurban lebih lanjut, panitia pelaksana bisa meminta biaya tersebut kepada sahibul qurban. Tidak boleh penyembelih atau yang mengurusi daging qurban diberi upah yang berupa daging qurban. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ali ra:
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: «أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا (متفق عليه)
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Rasulullah saw menugaskan saya mengurus qurbannya dan membagi-bagikan daging, kulit dan bagian-bagian lainya kepada fakir miskin. Dan saya tidak boleh memberi apapun dari hewan qurban itu kepada penyembelihnya.
Distribusi Hasil Ibadah Qurban
Mengenai penggunaan kulit hewan qurban, harus diperhatikan bahwa inti ibadah qurban adalah memberi sadaqah kepada fakir miskin berupa daging qurban. Didalamnya mengandung unsur ibadah dan sekaligus unsur menambah protein hewani bagi fakir miskin tersebut. Mengenai boleh tidaknya kulit hewan qurban itu dijual, tidak ditemukan ayat al- Quran yang secara definitif mengatur persoalan tersebut. Kecuali ayat yang membicarakan tentang kebolehan bagi sahibul quban memakan sebagian dagingnya, yaitu disamping ayat 36 surat al-Hajj di atas, juga ayat 28 dari surat yang sama menyebutkan:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (الحج:٢٨)
Makanlah sebagian dagingnya dan berimakanlah fakir miskin dengan daging itu.
Dalam pada itu terdapat hadits Nabi yang membicarakan tentang kulit hewan qurban, yaitu hadis riwayat Ahmad:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُواوَتَصَدَّقُوا، وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا، وَإِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُومِهَا شَيْئًا فَكُلُوهُ إِنْ شِئْتُم
(رواه أحمد)
Rasulullah saw bersabda: janganlah kamu jual daging denda haji dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu dan ambillah manfaat kulitnya. Jika kamu diberi dagingnya makanlah jika kamu suka.
Hadis lain juga diriwayatkan Imam Ahmad menyebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فَقَالَ: وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ، وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا، وَتَصَدَّقُوا، وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا، وَلَا تَبِيعُوهَا (رواه أحمد)
Rasulullah saw bersabda: Janganlah kamu jual daging denda bagi haji dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu dan ambillah manfaat kulitnya dan jangan kamu jual kulitnya.
Khitab dari dua hadis tersebur di atas adalah sahibul qurban. Pada hadis pertama tidak disertai larangan menjual kulit, sedangkan hadis kedua disertai larangan untuk menjual kulit hewan qurban. Apabila ada dua dalil yang satu tidak melarang dan yang satu melarang, maka dahulukanlah dalil yang mengandung larangan.
***
Larangan menjual kulit hewan qurban tersebut ditujukan kepada sahibul qurban. Karena dikhawatirkan adanya keinginan memiliki uang dari hasil penjualan kulit tersebut untuk kepentingan pribadi. Tetapi bagaimana kalau penjualan kulit hewan itu bukan untuk kepentingan pribadi? Sementara itu yang berjalan di masyarakat sekarang ini bahwa pengelolaan hewan qurban berikut penyembelihan dan pendistribusian dagingnya ditangani secara kepanitiaan. Sehingga akan terkumpul kulit hewan qurban yang banyak.
Mengingat hal demikan, maka kulit hewan qurban dapat dijual dan uangnya bisa dibelikan daging, lalu dibagikan kepada fakir miskin. Atau bisa saja digunakan untuk kemaslahatan agama. Hanya saja untuk menentukan yang lebih maslahat dari dua kepentingan itu diserahkan kepada hasil musyawarah.
Sumber: Suara Muhammadiyah No. 09 tahun ke 82/1997
Editor: Yusuf R Y