Salah satu isu yang paling menarik dan berulang dalam Islam adalah diskusi tentang politik. Artinya, perdebatan tentang isu-isu politik Islam pasti akan muncul. Karena Islam, umat Islam, dan wilayah Islam terkait erat dengan isu-isu politik.
Teori politik Islam muncul seiring dengan laju ekspansi Islam di luar jazirah Arab sebagai akibat dari upaya kodifikasi ajaran dan adat Islam di kalangan umat Islam di ranah politik.
Islam berperan penting dalam menciptakan sikap dan perilaku sosial politik sebagai sumber inspirasi masyarakat. Pelaksanaannya kemudian diatur oleh rumusan syariat, yang merupakan daftar lengkap dari amanat dan larangan Allah, serta panduan manusia dan pengatur lalu lintas dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Sejarah Pemikiran Politik Islam
Islam telah sukses secara politik sejak awal sejarahnya. Narasi sejarah Islam selalu kaya dengan kisah-kisah pencapaian politik besar, dari masa Nabi Muhammad Saw sampai lama setelah kematiannya. Terutama apa yang terjadi di bawah kepemimpinan para sahabat Nabi.
Pada masa pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah – al-Mansur (w. 775 M), Harun al-Rasyid (w. 809 M), dan al-Ma’mun (w. 833 M) – yang memupuk gerakan penerjemahan, gagasan politik Islam mulai terbentuk. Terjemahan karya dari berbagai bahasa, khususnya Yunani, ke dalam bahasa Arab.
Banyak tokoh Muslim dengan pemikiran politik dapat ditemukan di sana. Misalnya, al-Farabi dikenal karena gagasannya tentang Madinah al-Fadhilah. Sedangkan Ibnu Bajjah dikenal dengan konsep Mutawahid (sendiri).
Selain kedua filosof tersebut, kita juga dapat menemukan pendapat Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd mengekspresikan pemikirannya dalam karya Al-Dharury fi al-Siyasah, yang memuat kritik terhadap Republik karya Plato.
Pemikiran Ibnu Rusyd tentang Politik
Ibn Rusyd adalah filosof Islam yang terkenal sebagai sang komentator Aristoteles, sehingga ia dijuluki sebagai The Commentator (sang komentator). Namun dalam bidang politik, ia justru mengulas pemikiran mengevaluasi ide-ide politik politik Plato.
Ini merupakan sumbangsihnya yang paling besar dalam bidang politik. Salah satu aspek yang membedakannya adalah mengutamakan metodologi analitis (tahlily) dan struktural (tarkiby).
Dia menganggap kelemahan utama karya politik Plato berada pada pendekatan dialektis (jadali) yang digunakannya. Sebaliknya, ia menggunakan metodologi analitis (tahlily) dan struktural (tarkiby), yang lebih bersifat demonstratif (burhany).
Dalam buku Al-Darūry fi al-Siyāsah, ia melakukan pemataan terhadap ilmu politik serta hubunganntya dengan ilmu lainnya. Ia membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu teoritis dan ilmu praktis. Yang dimaksud dengan ilmu teoritis adalah ilmu yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan manusia secara langsung, seperti ilmu matematika, tehnik, astronomi, dan lainnya.
Sedangkan ilmu praktis selain untuk diketahui, ia juga mengandung tuntutan untuk melaksanakannya. Jika tidak tercipta sebuah perbuatan, maka ilmu tersebut tidak memiliki arti sama sekali, sebagaimana ilmu akhlak.
Ilmu politik selanjutnya dipisahkan menjadi dua bagian dalam uraiannya. Dimulai dengan membahas upaya manusia untuk mencapai kesempurnaan (kebajikan), yang sering dikenal dengan ilmu etika (akhlak). Fase kedua, disebut sebagai ilmu negara atau pemerintahan, meliputi upaya negara untuk mencapai bentuk yang paling ideal (utama).
***
Ibnu Rusyd memperoleh landasan yang kokoh untuk pertimbangannya tentang negara dengan mengintegrasikan ilmu moralitas dan ilmu negara sebagai dasar pemikirannya. Termasuk sebuah langkah strategis dalam pemikirannya.
Politik dalam pandangan Ibnu Rusyd merupakan gambaran tentang negara. Adapun yang dimaksud negara adalah penduduknya, bukan tempat, bangunan, ataupun tanahnya. Keberadaan penduduknya sebagai jiwa yang berusaha mendapatkan kesempurnaan dalam kehidupan kolektif (masyarakat).
Oleh sebab itu, segala sesuatu yang menuntut tercapainya keadilan dalam jiwa manusia juga menuntut keadilan dalam kehidupan bernegara. Dengan kata lain, negara adalah kumpulan manusia, dan apa yang baik dan benar bagi individu juga baik dan benar untuk pengelompokan (masyarakat), karena keduanya adalah sejenis, yaitu manusia.
Topik demokrasi, atau kedaulatan rakyat, kemudian diangkat oleh Ibnu Rusyd. Dia mengklaim bahwa demokrasi tidak memiliki kedaulatan sampai berada di tangan rakyat dan didasarkan pada aturan yang menghormati kebebasan manusia (laa siyadata illaa biiradah al-musawwidin wa tab’an li al-qawaniin al-ula al-fitriyah).
Gerbang Pembuka Demokrasi Barat
Dari sini, nampak bahwa Ibnu Rusyd menghargai hak-hak manusia sebagai manusia sejak lahir (fitriyah, natural), dan bukan melihatnya dari aspek agama, gender, dan kelompoknya. Bahkan lebih jauh lagi, Ibnu Rusyd telah berani memperkenalkan adanya persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.
Selanjutnya, menurut Ibn Rusyd, konsep Al-Madinah Al-Jama’iyah yang merupakan terjemahan dari istilah Yunani untuk “demokrasi”, dapat dipahami sebagai tantangan terhadap pandangan dunia khilafah yang militeristik.
Menurut Abid al-Jabiri, buku Ibnu Rusyd Al-Daruri fi al-Siyasah dalam bidang politik merupakan dukungan bagi tokoh-tokoh sipil untuk menggantikan khalifah saat itu. Ibn Rusyd kemudian menjadi terkenal sebagai pelopor liberalisme politik yang membuka jalan bagi demokrasi Barat.
Editor: Yahya FR