Al Infithar dan Kerusakan Alam
Melihat fenomena alam yang menimbulkan bencana akhir-akhir ini, ingatan penulis tiba-tiba kembali ke masa 10 tahun yang lampau. Waktu itu, penulis masih menjadi santri tingkat aliyah di Ma’had Darul Arqam Muhammadiyah Garut. Setelah salat Zuhur, berzikir, dan salat sunah bakdiyah, seperti biasa setiap santri dijadwalkan maju ke mimbar menyampaikan kultum.
Salah satu santri yang merupakan kakak kelas penulis naik ke atas mimbar. Dalam kultumnya, santri yang bernama Dhani Rahman Fauzi tersebut menjelaskan Surat Al Infithar. Kita tahu, bahwa Surat Al Infithar yang artinya langit yang terbelah, menjelaskan peristiwa hari kiamat yang mengerikan. Namun ada yang tak biasa dari penjelasan Dhani yang membuat penulis tersentak.
Apabila langit terbelah (1) dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan (2). Maksudnya adalah apabila lapisan ozon di atmosfer terbelah dan apabila radiasi matahari (yang merupakan bintang) memasuki dan memanaskan bumi. Apabila laut dijadikan meluap (3). Pemanasan global menyebabkan es mencair di kutub yang menyebabkan permukaan laut naik. Apabila kuburan-kuburan dibongkar (4). Maksudnya apabila penambangan terus menerus dilakukan. Dimana, minyak dan batu bara yang ditambang dulunya adalah fosil binatang dan tumbuhan purba.
Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang dikerjakan dan dilalaikannya (5) Wahai manusia apa yang telah memperdayakan kamu untuk berbuat durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah (6). Allah SWT mengingatkan bahwa manusia pasti akan mengetahui dampak dari perbuatannya. Allah SWT juga mengecam manusia yang telah berbuat durhaka kepada-Nya.
Mendengar uraian di atas, dalam hati penulis berucap, “tafsir macam apa ini?”. Penulis kaget namun kagum, kok bisa terpikir tafsir semacam ini, yang jelas berbeda dengan tafsir tradisional dari Surat Al Infithar. Jika para ulama bersepakat bahwa Surat Al Infithar adalah gambaran kiamat kubro, maka Dhani menggesernya menjadi peristiwa kiamat shugro, lebih spesifiknya kiamat ekologi.
Mengambil Ibrah dari Al-Qur’an untuk Kesadaran Lingkungan
Apakah penafsiran di atas sah menurut agama? Ataukah penafsiran di atas merupakan cocoklogi semata? Tentu jika kita menggunakan standar keilmuan yang disepakati, jangankan soal konten tafsirnya, seorang yang masih menjadi santri jelas tak punya otoritas menjadi mufasir Al-Qur’an. Penulis cenderung menghindari penyebutan tafsir pada uraian di atas. Namun, sebut saja ibrah atau inspirasi dari Al-Qur’an.
Apakah pengambilan inspirasi dari Al-Qur’an di atas adalah cocoklogi dan tidak ilmiah? Bagi penulis iya, memang ada upaya mencocokan antara nash dengan fenomena hari ini. Namun yang ingin penulis tekankan bahwa, fenomena yang digambarkan di atas nyata adanya. Perubahan iklim dan pemanasan global merupakan kerusakan di muka bumi akibat ulah tangan-tangan manusia. Kerusakan alam akibat penambangan yang serampangan juga nyata adanya.
Dalam QS. Ar Ruum : 41 Allah SWT berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Pertanyaannya bagaimana tanggung jawab kita sebagai umat Islam menyikapi fenomena tersebut? Masih ingatkah bahwa Malaikat meragukan kemampuan manusia mengelola bumi? Namun, Allah SWT tetap memberikan mandat kekhalifahan kepada Adam.
Apakah kita akan menjalankan mandat tersebut dengan memakmurkan bumi? Atau kita akan mengkhianati mandat tersebut dengan melakukan kerusakan lingkungan?
Iman Kepada Hari Kaimat dan Kesadaran Menjaga Lingkungan
Salah satu rukun iman yang wajib dipercayai oleh seluruh umat Islam adalah iman kepada hari akhir. Hari kiamat adalah peristiwa eskatologis kehancuran alam semesta yang dilanjutkan dengan perjalanan menuju surga atau neraka melewati beberapa fase. Percaya kepada hari kiamat juga merupakan pembeda dengan orang-orang kafir pada zaman Nabi Muhammad SAW yang tak mempercayai adanya hari akhir.
Para ulama membagi kiamat menjadi dua, kiamat kubro yang merupakan peristiwa eskatologis dan kiamat shugro yang merupakan peristiwa alam namun mengandung unsur bencana. Bencana-bencana yang terjadi merupakan kiamat shugro, baik bencana yang tak bisa diprediksi seperti gempa bumi dan tsunami, maupun bencana yang penyebabnya juga karena ulah manusia, seperti banjir dan tanah longsor.
Jika iman kepada kiamat kubro diwujudkan dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh, maka iman kepada kiamat shugro bisa kita wujudkan dengan meningkatkan kesadaran kita untuk memelihara lingkungan hidup. Jika setiap orang sadar dan peduli terhadap lingkungan hidup, boleh jadi bencana-bencana yang disebabkan ulah manusia bisa dicegah.
Salah satu penyebab kerusakan lingkungan hidup juga keserakahan manusia. Hutan-hutan yang seharusnya menjadi penyerap air saat hujan turun diubah menjadi sawah, ladang atau perumahan karena keserakahan manusia. Saat hutan hilang maka hilanglah penyerap air, manusia pun kebanjiran, tanah pun longsor. Bukankah Islam mengajarkan menahan hawa nafsu? Harusnya seorang beragama juga bisa menahan keserakahannya dari mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan disahihkan oleh Syaikh Nashirudin Al Albani, Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan kalian ada bibit kurma, maka apabila dia mampu menanam sebelum terjadi kiamat, hendaklah dia menanamnya.”.
Ada banyak sudut pandang dalam memaknai hadis di atas. Namun, dalam konteks kesadaran atas lingkungan hidup, hadis di atas merupakan anjuran Rasulullah SAW untuk melakukan penghijauan, bahkan seandainya esok hari kiamat.
Dalam peperangan Rasulullah SAW juga melarang umatnya memotong pepohonan. Terlihat bahwa Rasulullah SAW adalah seorang Nabi yang mempunyai kesadaran lingkungan hidup. Jika kita tak peduli lingkungan hidup, maka sebenarnya kita umatnya siapa?
.
Editor: Yahya FR