Perspektif

Gegar Buku di Era Klasik Islam

4 Mins read

Islam Klasik: Para Pengagung Buku

Sudah masyhur legenda dari era klasik (700-1300 M), bahwa―sedikit pahit mengatakan ini hari ini―umat Islam sangat mengagungkan buku. Mereka pembaca yang sangat lahap, sangat tergila-gila akan manuskrip. Ibn al-‘Arabi memuji buku sebagai ‘teman’. “Engkau benar jika menganggapnya benda mati,” tulisnya, “tapi tidak salah juga menganggapnya hidup.”

Ungkapan “buku adalah jendela pengetahuan” bukanlah basa-basi. Kaum tradisionalis yang anti kaum rasionalis mengembangkan sekolah-sekolah fikih di seantero negeri Islam secara mandiri. Pemikiran kaum rasionalis haram diajarkan di situ, tapi buku-bukunya (filsafat dan sastra) dipelihara di perpustakaan, tidak dilarang. Murid bahkan dipuji bila mampu menguasainya.

Artinya, para sarjana fikih mampu melihat manfaat sekalipun buku-buku itu dari lingkaran lawannya. Itu etos yang tinggi sekali. Etos itu menjelaskan mengapa Ibn Taimiyah bisa tampil sebagai pakar logika (sekali lagi: pakar!) saat melancarkan kritik terhadap para filsuf. Ironis: di Indonesia, yang lazim terjadi adalah aksi sita buku bahkan sebelum buku itu dibaca.

Pecinta Buku

Seperti emas, buku memiliki kekuatan untuk meletupkan semacam kegilaan khas. Sastrawan Tauhidi diketahui pernah mengubur sejumlah karyanya karena frustasi tidak dihargai. Esok lusa, dengan menggunakan nama orang lain, agak kapok ia bercerita bahwa Nabi Saw. telah mendatanginya lewat mimpi. “Engkau telah mengubur ilmuku!” omel Nabi Saw.

Kita maklum bila Tauhidi kapok. Bila didatangi Nabi Saw. lewat mimpi merupakan gegar spiritual, maka gegar itu terasa dua kali lipat bila Nabi Saw. datang sambil mengomel.

Seorang sastrawan yang sekaligus ahli sejarah bernama Al-Qifthi, dikabarkan pernah jatuh sakit berminggu-minggu karena buku yang sedang ia salin, yakni Kitab al-Ansab (buku silsilah), hilang salah satu babnya. Kehilangan catatan memang menyebalkan, dan sesungguhnya Al-Qifthi bisa dengan mudah bisa mencatat ulang, sebab ia hafal bukunya. Tapi al-Qifthi memilih jatuh sakit.

Baca Juga  Bisakah Terwujud "Green Spring" di Dunia Arab?
***

Kisah Ibn al-Dahlan terasa lebih logis, meski menyedihkan. Sastrawan Baghdad ini sedang berkelana ke Isfahan untuk menyalin karya-karya sastra di berbagai perpustakaan ketika ia menerima kabar perpustakaannya kebanjiran (rumahnya dekat dengan pabrik penyamakan kertas). Depresi, ia kehilangan penglihatan karena terus mengasapi buku-bukunya agar kering.

Kisah yang agak sinting datang dari al-Syihab ibn ‘Abbad. Sastrawan ini pernah menolak tawaran pangeran Bani Samaniyah untuk menjadi perdana menteri di Khurasan. Alasannya sederhana: ia malas memindahkan buku-bukunya. Waktu itu, memindahkan buku memang bukan perkara mudah. Perkiraannya, butuh 400 unta untuk proses pemindahan itu.

Kisah lucu datang dari Mubasyir ibn Fatih, sastrawan ahli filsafat, sejarah, astronomi, dan kedokteran. Hidupnya didedikasikan untuk belajar hingga lupa istri. Selepas wafat, sang istri melempar karya-karyanya ke sumur sambil menangis karena merasa diduakan. Kejadian serupa dialami al-Laits ibn Rafi’ dari Dinasti Barmaki; buku-bukunya dibakar istri karena cemburu.

Kadang pencinta buku bisa mematikan kesenangan orang. Ibn Duraid pernah diajak teman-temannya berwisata, namun ia balik menceramahi mereka. Baginya, wisata pikiran lebih penting dari wisata mata. Ia menyarankan mereka membaca ‘Uyun al-Akhbar (kisah pilihan), Kitab al-Zahra (kitab tentang bunga) dan Qalaq al-Musytaq (gigil karena rindu) sebagai ganti.

Perpustakaan

Perpustakaan di dunia Islam selalu penuh gairah. Perpustakaan disediakan oleh negara, dimiliki setiap masjid atau individu-individu. Meski masyarakat Islam bukan yang pertama mendirikan perpustakaan, tapi merekalah yang pertama kali menjadikan perpustakaan sebagai ruang-ruang kelas, menyatukannya dengan tempat ibadah, dan memperebutkannya secara politik.

Perdana Menteri Malik al-Afdhal menyelamatkan 20.000 jilid buku milik dokter Yahudi bernama Ifra’im ibn al-Hasan agar tidak keluar dari Mesir. Perpustakaan lain yang diselamatkan penguasa adalah milik al-Wasithi yang berisi karya-karya penting kedokteran namun bangkrut karena kesulitan finansial. Al-Muntashir dari Dinasti Fatimiyyah membeli kemudian mewakafkannya.

Baca Juga  Bagaimana Masa Depan Islam Pembaruan?

Penguasa muslim senantiasa melihat buku sebagai aset intelektual. Khalifah al-Ma’mun meminta penguasa Bizantium mengirimkan buku-buku Yunani; kadang, buku dipertukarkan dengan tawanan perang dengan berpeti-peti buku. Pangeran-pangeran Spanyol muslim sering mengirim utusan ke Baghdad untuk mengumpulkan buku demi koleksi perpustakaan istana.

Di bagian dalam masjid lazim ditemukan rak-rak buku, terbuka untuk umum. Di era klasik Islam masjid memang tidak berfungsi semata sebagai tempat ibadah, namun sebagai kampus, tempat berbagai akademi digelar. Al-Bandajihi, salah seorang guru Salahuddin al-Ayyubi, dikenal senang mengambil koleksi buku masjid dan diwakafkan ke berbagai perpustakaan terpencil.

Bulmuzaffar ibn Mu’arrif adalah seorang filsuf dan sastrawan. Ia dikenal sebagai kolektor buku dan pembaca yang tekun. Ia memiliki sebuah perpustakaan pribadi yang waktu itu cukup terkenal. Di perpustakaan yang luas itu Bulmuzaffar sering menggelar seminar dan diskusi ilmiah dan menghabiskan waktu untuk duduk membaca dan menyalin buku.

Bisnis Buku

Buku diproduksi dan diperbanyak dengan cara menyalin. Kemampuan kaligrafi bernilai mahal. Ahli Nahu bernama al-Khasyab dikenal karena buku-buku salinannya sangat mahal, karena kaligrafinya indah dan bahasanya nyaris selalu akurat. Ahli Nahu lain, Ibn al-Kufi, dikabarkan menghabiskan 50.000 dinar untuk membeli dan membayar para penyalin buku profesional.

Abu al-Hasan ibn Abu Jarada adalah pustakawan yang dikenal menyalin sendiri semua buku untuk perpustakaan pribadinya. Setiap judul disalin tiga jilid: untuknya dan untuk dua anaknya untuk dijual. Salah satu buku termahal adalah karya Abu ‘Ubaid, al-Gharib al-Mushannaf, seharga 10.000 dinar. Buku atau perpustakaan dijual di pelelangan dan mustahil tidak laku.

Faktor lain yang membuat buku semakin mahal adalah sertifikat sanad (keotentikan). Sastrawan Al-Mubarrad menarif 100 dinar bagi mereka yang ingin menghapal dan menyalin karya Sibawaih berjudul al-Kitab darinya. Sertifikat diberikan setelah didiktekan kata per kata oleh al-Mubarrad dan dibaca ulang di depannya. Buku salinan itu seketika jadi mahal.

Baca Juga  Apa Muhammadiyah Tak Lagi Kuat Ideologinya?

Artinya, buku adalah aset. Ibrahim al-Harbi, kaligrafer, pernah menyuruh anak perempuannya (yang takut miskin) menjual per juz bukunya sebesar satu dirham. Ia memiliki 12.000 juz buku. Perpustakaan al-Naisaburi dilelang seharga 400.000 dirham. Perpustakaan Tsa’lab dihargai 300 dinar. Abu al-A’la, sekretaris nasrani khalifah, meninggalkan perpustakaan senilai 30.000 dinar.

Dengan kisah di atas, mudah bagi kita menuduh para pencinta buku di era klasik Islam mencintai buku karena uang. Itu sebelum kita melihat betapa gigihnya umat Islam di era klasik dalam mengembangkan pengetahuan. Semoga Allah memberi saya kesempatan menyiapkan tulisan lain yang menyigi lebih dalam perihal buku dan dahaga ilmu umat Islam.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds