Perspektif

Gejala Respiritualisasi di Abad 21: Bukti Manusia Masih Butuh Agama

3 Mins read

Abad ke-21 diperkirakan oleh para futurulog sebagai era kebangkitan agama. Pada abad ini akan menjadi era respiritualisasi bagi masyarakat yang mengikuti arus modernitas kontemporer dengan empirisme kegersangan jiwa disebabkan oleh kehampaan spiritualitas dengan usaha mencari hal-hal yang mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan sisi batin mereka. Kepuasan batin tersebut lebih berpotensi untuk didapatkan pada spiritualitas agama. Gejala respiritualisasi sudah mulai kelihatan sejak saat ini dengan kejadian seperti revivalisasi dan resurgensi eksistensi agama besar lainnya di dunia.

Tidak bisa dipungkiri, spiritual memang tidak pernah mati. Bukan hanya karena dia terus diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya dari kalangan masyarakat yang masih memegang tradisi ini, melainkan juga muncul di pusat budaya yang sesungguhnya sedang kencang menuju ke arah yang sama sekali berbeda dengannya. Secara tak terduga dia justru menyembul di sana-sini, di tengah kehidupan modernisme masyarakat perkotaan.

Modernisme dan Problem Alienasi Manusia Modern

Modernisme memang dianggap sebagian orang telah memisahkan manusia dari kesempurnaan diri; telah membawa mereka kepada kejatuhan. Mereka pun terbelenggu dalam kebebasan semu yang mencekik. Keresahan demi keresahan yang mereka alami tidak jarang menyebabkan mereka mengambil jalan pintas yang nekat, termasuk bunuh diri.

Emile Durkheim bahkan melakukan penelitian khusus tentang hirup pikuk modernisme tersebut, Ia membagi bunuh diri menjadi tiga kategori: bunuh diri egoistik, bunuh diri altruistik, dan bunuh diri anomik. Ketiganya dialami oleh manusia modern, meskipun tampaknya kategori ketiga lebih dominan, yang disebabkan oleh larutnya manusia dalam kehidupan materialis (Anis 2013, 9).

Achmad Mubarak berpendapat bahwa karakteristik era modernitas ialah pemakaian teknologi secara massif dalam berbagai aspek kehidupan, selanjutnya kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai wujud intelektual. Manusia modern ideal merupakan manusia rasional dan memiliki kemampuan untuk memakai berbagai kemajuan teknologi agar meningkatkan kualitas kehidupan mereka di dunia ini, terutama bagi masyarakat perkotaan.

Baca Juga  Mati Kelaparan di Tengah Polemik Stafsus Milenial

***

Menurut Louis Wirth, masyarakat perkotaan disebut juga dengan istilah urban society dengan masyarakat berkarakteristik secara individual, yaitu: berpendidikan, relativis, rasionalitas, cendrung memperkaya diri (self aggrandizing), kompetitif, komunalisme, tempramental, frustasional, khawatir dan rasa tidak aman, cendrung hal baru atau ciptaan baru, dan penonjolan status sosial. Masalah lain menjangkiti masyarakat modern adalah stres. Stres terjadi pada kehidupan dalam tempat kerja, lingkungan masyarakat, rumah tangga, dan jalanan umum. Kegagalan pencapaian diri mereka mendapatkan berbagai macam membuat daya stres dan kecendrungan konflik antarindividu dan antarkelompok menjadi hal bisa terjadi dalam permukaan masyarakat (Agus 2007).

Peningkatan penduduk kota yang cepat, penyebaran pendidikan umum non-religius dan ilmu alam, peningkatan mobilitas dan akses informasi, industrialisasi, dan sebagainya telah mendatangkan tekanan bagi masyarakat perkotaan. Kemakmuran materi, gaya hidup serba instan yang tidak sehat, serta kurangnya waktu untuk memelihara kebersamaan dengan keluarga dan bersosialisasi justru telah mengalienasi manusia modern dari diri mereka sendiri. Akibatnya, sebagian dari mereka memilih jalan pintas untuk keluar dari tekanan tersebut melalui cara-cara deviatif, seperti narkoba, minuman keras, dan bahkan bunuh diri (Anis 2013, 2).

Kemakmuran, kemajuan teknologi, kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari, dan kompetisi yang makin ketat telah melahirkan tekanan yang terkadang tidak tertahankan. Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, semua ini justru mengakibatkan manusia modern teralienasi. Sekaitan alienasi, sebagian mendefinisikannya sebagai ketidakmampuan, isolasi, ketidakberartian, ketiadaan norma, dan keterasingan diri.

Terkait dengan alienasi, Menurut Feuer, ia adalah perubahan emosional yang dengannya seseorang dipaksa untuk melakukan perbuatan yang merusak diri. Namun, secara umum, alienasi bermakna keterasingan seseorang dari dirinya sendiri. Sementara, William Byron membagi alienasi menjadi empat: teralienasi dari Tuhan (alienasi teologis), teralienasi dari diri (alienasi psikologis), teralienasi dari masyarakat (alienasi sosiologis), serta teralienasi dari pekerjaan dan alam (alienasi teknologis). Menurutnya, di sinilah pentingnya agama (spiritualitas) sebagai penawar segala bentuk alienasi tersebut (Anis 2013, 8) dengan cara membangkitkan respiritualisasi.

Baca Juga  KH Abdullah Hasyim (1): Alasan Masuk Muhammadiyah

Apa itu Respiritualisasi?

Respiritualisasi adalah muatan psychospiritualism (Psikis Spiritualisme) masa kini yang membahas masalah diri dan ruh dan hal-hal lain bersifat spiritual dalam dada dan kalbu setiap manusia. Ruh (Inner Capacity) terdapat pada setiap insan yang membuat manusia semangat, memiliki rasa peduli, sedih dan marah. Kapasitas ruh lebih utama dan perlu dilatih dan dicoba secara kontinu.

Pada dasarnya, modernitas identik dengan materialistik dan sekulerisme, sehingga modernitas dan sufisme mengalami kontradiktif satu sama lain, karena kehidupan tersebut tidak mampu sama sekali untuk melepaskan diri dari modernitas. Namun, perlu diketahui, aspek spiritualitas Islam atau tasawuf akan mengembalikan jiwa untuk menguasai materi, bukan dikuasai materialistik. Modernitas tidak mampu dihindari dan membendungnya. Hal perlu dilakukan para penganut tasawuf (penempuh jalan spiritual) agar selalu tetap terlibat dalam kehidupan modernitas perkotaan (Anwar 2001, 11-12).

***

Menurut Waspodo (Pakar Sosiologi Universitas Sriwijaya) ada tiga hal mempengaruhi masyarakat perkotaan mengikuti tasawuf: Pertama, cara masyarakat kota mendudukan tasawuf, artinya ada sesuatu hilang dalam dirinya ketika mencoba menelusuri sebuah jati diri. Kedua, tekanan dari berbagai macam pihak, baik dari dunia kerjanya, dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknonologi maupun arus globalisasi, perubahan kultur, dan lain sebagainya. Ketiga, politik kebijakan pemerintah mengembangkan wawasan keagamaan melalui pengembangan berbagai model seperti tasawuf yang  berbeda dengan tasawuf tradisional.

Selanjutnya, Komaruddin Hidayat menjelaskan setidaknya ada empat cara pandang mengapa tasawuf semakin berkembang di kota-kota besar. Pertama, sufisme diminati oleh masyarakat perkotaan karena menjadi sarana pencarian makna hidup. Kedua, sufisme menjadi sarana pergulatan dan pencerahan intelektual. Ketiga, sufisme sebagai sarana terapi psikologis. Keempat, sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana keagamaan (Anis 2013, 2).

Baca Juga  Pancasila Bukan Hadiah Umat Islam

Dengan demikian, sangat jelas permasalahan masyarakat modern pada abad 21 memang tidak bisa lepas dari Kesehatan mental. Mental yang lemah membuat mereka menjadi mudah sakit dan merasakan kehampaan dalam diri (alienasi) terutama bagi masyarakat modern yang hidup di tengah berbagai problematika kehidupan perkotaan. Akan tetapi, kalau seandainya mereka menyadari naluri “bertuhan” terutama dalam kalangan Islam, maka bisa dipastikan mengaktualisasikan respiritualisasi akan mampu menjadi resistensi alieanasi tersebut, sehingga ia akan menjalani kehidupan dengan baik dan positif vibes pada setiap harinya.

Johan Septian Putra
38 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds