Malaysia merupakan negara persekutuan terbagi kepada dua bagian, yaitu Malaysia Borneo Utara dan Semenanjung Malaya. Ia terdiri dari tiga belas macam, bagian Borneo Utara terdiri dari dua negeri, yaitu: Sabah dan Serawak. Semenanjung Malaysia terdiri pula dari sebelas negeri, yaitu Kelantan, Terengganu, Pahang, Johor, Negeri Sembilan, Perak, Selangor, Kedah, Perlis, Penang, dan Malaka.
Berdasarkan Perlembagaan Malaysia (semacam UUD) terdapat beberapa perbedaan kedua bagian tersebut. Utamanya, dari segi peresmian agama Islam dan dari segi hubungan kerajaan pusat (Dusuki, 1987, hal. 553).
Malaysia diberi kemerdekaan oleh Inggris pada 31 Agustus 1957. Kemerdekaan Malaysia didapatkan melalui perjuangan para tokoh dan organisasi-organisasi Malaysia melawan penjajahan Jepang dan Inggris. Akhirnya, pada 1957 kemerdekaan dicapai oleh Malaysia.
Perjuangannya tidaklah mudah, pertumpahan darah, kesengsaran ekonomi, pendidikan, dan berbagai macam bidang lainnya dialami oleh masyarakat Malaysia. Namun, ketika perjuangan tiada pernah berhenti, kemerdekaan itu mampu tercapai juga atas dasar semangat nasionalisme dan anti-penjajahan dari para pejuang Malaysia.
Semangat Nasionalisme
Semangat nasionalisme generasi muda Semenanjung Malaya tumbuh dari kalangan pelajar dan guru di perguruan Sultan Idris, Tanjung Malim, distrik Perak. Mereka itu di antaranya, Hadi bin Haji Hassan, Nordin bin Haji Harun, Zainal Abidin bin Ahmad (Zaaba), dan Buyung Adil.
Beberapa pelajar perguruan Sultan Idris terkenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan, antara lain; Ibrahim Haji Yaacob, Abdul Karim Rashid, Yaacob Amin, Isa Mahmud, dan Hassan bin Haji Manan. Maktab perguruan Sultan Idris mendirikan organisasi politik untuk memperbaiki martabat orang Melayu dan mengakhiri penjajahan (Saifulllah, 2010, hal. 55).
Berbagai macam perjuangan dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam Malaysia melalui organisasi-organisasi. Ahmad Fuad dengan Partai Islam Semalaya (PAS) 1951, Tuanku Abdul Rahman Putera dengan UMNO, ide Dato Onn dengan PKM (Partai Kemerdekaan Malaya), Majelis Islam Tertinggi se-Malaya (MATA) dipimpin Burhanuddin al-Helmy. Hizbul Muslimin (HANIM) 1948 dipimpin Bakar al-Bakir, dan lain-lainnya.
Menuntut Kemerdekaan
Pada 1956, Tuanku Abdul Rahman dari Partai Perikatan memimpin rombongan terdiri dari empat orang wakil raja dan empat orang menteri Perikatan pergi ke London untuk menuntut kemerdekaan Malaysia.
Perundingan 18 Januari sampai 6 Februari 1956, dengan Lennox Boyd behasil mencapai kesepakatan bahwa Malaysia akan dimerdekakan pada 31 Agustus 1957. Kemudian pada 31 Agustus 1957 di Stadion Merdeka, Kuala Lumpur, Glouster mewakili Ratu Elizabeth memberikan piagam kemerdekaan kepada Tuanku Abdul Rahman sebagai tanda diproklamirkannya kemerdekaan Malaysia (Saifulllah, 2010, hal. 62-63).
Setelah merdeka, diketahui populasi penduduk Malaysia hanya sekitar 15 juta orang terdiri dari 53,8% orang keturunan Melayu dengan tingkat perekonomian sangat lemah, kurang pendidikan, dan lebih banyak tinggal di perkampungan. Kemudian 35,1% orang keturunan Cina dengan tingkat pereknonomian sangat kuat, terpelajar, dan banyak bermukim perkotaan besar serta 10,5% keturunan India, dan sisanya sekitar 0,6% keturunan bangsa lain (Wiharyanto, 2012, hal. 97).
Tantangan Pasca Kemerdekaan
Salah satu masalah besar dihadapi Malaysia ketika merdeka adalah kesadaran orang Melayu terhadap kekuatan nasionalisme Islam secara konfrontatif. Mereka tidak sekadar berusaha memurnikan agama dari pengaruh-pengaruh non-Islam, namun juga semakin melihat adanya kontradiksi antara tujuan nasional dengan tujuan-tujuan Islam (Thohir, 2009, hal. 268).
Mereka menginginkan membentuk Negara Islam sesuai dengan agama orang-orang Melayu dan tidak mau bekerja sama dengan orang-orang Cina. Mereka mengelompok dalam PAS (Partai Islam Melayu).
Di samping itu, orang-orang Cina bergabung dalam MCA partai khusus etnis Cina) ada yang lalu keluar dan membentuk DAP (Democration Action Party), langsung menjadi partai pembangkang (Wiharyanto, 2012, hal. 98). Partai oposisi non-Islam yaitu Democratic Action Party (DAP) mengklaim sebagai partai multi agama dan multirasial, namun dalam kenyataannya mendukung kepentingan Cina (Thohir, 2009, hal. 268-269).
Orang-orang Melayu lebih senang memerintah sendiri negerinya, sebab mereka orang pribumi asli, tetapi Inggris memilih orang-orang Melayu saja yang berkuasa tanpa mengikutsertakan orang-orang Cina dan India.
Ancaman orang-orang Cina lebih berat, ini dikarenakan hampir semua roda perekonomian negeri ini dipegang oleh orang Cina. Akhirnya dengan adanya tekanan dari Inggris, terciptalah suatu konsensus nasional yang menyatakan bahwa negeri itu diberi kemerdekaan dengan pemerintah secara koalisi rasial (Wiharyanto, 2012, hal. 97).
Keuntungan diperoleh oleh masyarakat Melayu dalam konsensus ini bahwa warga Cina tidak boleh mengganggu gugat hak-hak istimewa Melayu (pribumi asli). Sebaliknya, orang-orang Melayu memainkan peranan lebih besar dalam bidang politik. Keuntungan bagi warga Cina, bahwa mereka diakui sebagai warga negara Malaysia dan mereka dapat pula berbicara di forum politik dan tidak akan mempersoalkan kekayaan orang-orang Cina. Sedangkan keturunan India bertindak sebagai balancer (penyeimbang) (Wiharyanto, 2012, hal. 98).
***
Keberhasilan Malaysia dalam mempertahankan integritas dan stabilitas nasional walau belum sempurna seutuhnya, disebabkan oleh beberapa faktor; pertama, Inggris telah berhasil mendidik bangsa Malaysia untuk menikmati pendidikan politik termasuk melatih masyarakat dalam pelaksanaan pemilu, walaupun Inggris sendiri telah menindas bangsa ini lebih dari seratus tahun.
Kemudian apabila berhasil membentuk pemerintahan, maka daerah jajahan tersebut diberi kemerdekaan penuh. Tindakan ini juga dilakukan di India, Singapura, dan di beberapa daerah jajahan Inggris lainnya.
Kedua, penduduk negeri ini masih memegang teguh konsensus nasional yang disepakati sewaktu akan diberi kemerdekaan oleh Inggris. Ketiga, pergantian pucuk pimpinan dalam pemerintahan Malaysia secara konstitusional terjadi secara teratur.
Dengan demikian, negara dengan julukan “Negeri Jiran” ini juga pernah mengalami tantangan saat mendirikan negara agar utuh dan stabil dalam hal politik, sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia, walaupun perbedaannya sangat signifikan.
Indonesia lebih tantangan dari luar yakni agresi militer Belanda dan dari dalam gerakan ekstrimis dari organisasi yang ingin mendirikan negara Islam. Sedangkan Malaysia, tantangan awal kemerdekaan secara total berasal dari dalam negaranya sendiri yakni perihal rasisme dan oknum ekstrimis yang melabelkan Islam. Akan tetapi pada akhirnya, permasalahan itu semua mampu ditanggulangi oleh pemerintahan mereka sendiri dibantu oleh pihak Inggris.
Editor: Yahya FR