Tajdida

Gender Hari Raya: Haruskah Istri Sungkem ke Suami?

4 Mins read

Pandemi Covid-19 tahun ini menjadikan budaya lebaran yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada kondisi normal, lebaran identik dengan mudik, sungkeman, ketemu sauadara, dan juga bersalam-salaman. Mudik bagi keluarga yang tidak satu kota dengan orang tua, terkadang menghadapi persoalan terkait dengan mudik harus ke mana; ke orang tua atau ke mertua. Apalagi kalau lokasinya jauh antar pulau.

Ada keragaman dasar pertimbangan keputusan untuk lebaran dan sholat Idul Fitri bersama keluarga sendiri atau keluarga mertua. Paling tidak ada tiga alasan; pertama, teknis (melawan arus, sehingga tidak macet, jadwal halal bi halal). Kedua, alasan ekonomi (pembiayaan mudik). Ketiga, alasan ideologis (harus ditempat suami atau harus di tempat istri).

Alasan teknis dan ekonomi, asalkan didiskusikan secara ma’ruf dan fleksibel, menurut saya tidak masalah. Namun jika alasannya adalah idelogis harus ditempat Istri, karena perempuan “harus” lebih dihormati, karena Rasulullah menyebutnya 3 kali (ibumu, ibumu, ibumu), baru 1 kali yang terkahir bapakmu, maka menurut saya perlu dikritisi.

Atau sebaliknya, karena pemahaman konservatif yang meyakini bahwa kepatuhan istri pada suami itu juga “harus” ditunjukkan dengan selalu sholat Idul Fitri di keluarga suami, selama menikah, menurut saya juga perlu dikritis dikritisi.

Kekakuan dalam menentukan sholat Idul Fitri bersama keluarga sendiri atau mertua, bisa jadi berdampak tidak nyaman secara psikologis bagi salah satu keluarga. Kekakuan ini memungkinkan, selama menikah, tidak akan pernah sholat Idul Fitri bersama orang tuanya.

Sementara banyak orang tua tidak dipilih oleh anaknya untuk tempat sholat Id, terkadang membiarkan pilihan tafsir budaya itu begitu saja. Banyak orang tua yang tidak punya asertifitas untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dan diinginkan.

Baca Juga  1 Syawal 1444 H di Indonesia, Mungkinkah Serentak?

Karena itu, menurut saya, persoalan sholat Idul Fitri bersama keluarga sendiri atau mertua perlu diatur dengan prinsip keadilan, sehingga keluarga sendiri dan keluarga mertua tidak merasa dinomorduakan.

Urutan dan Cara Sungkeman

Selain persolan sholat Idul Fitri bersama keluarga sendiri atau mertua, yang sering kerap menjadi ganjalan adalah urutan dan cara dalam sungkeman. Berdasarkan pengamatan, kebanyakan istri sungkem (cium tangan) pada suami saat lebaran, tetapi tidak sebaliknya.

Ada kelompok yang menuliskan “Cara Istri Bersalaman Meminta Maaf Pada Suami di Hari Raya. Mereka mengatakan bahwa, “Perempuan yang tidak bisa memuliakan suaminya di pagi Idul Fitri, merupakan kerugian yang besar baginya. Sang istri tidak boleh menjabat tangannya dengan orang lain terlebih dahulu, sebelum mencium telapak tangan suaminya”. Bahkan ada tulisan 10 keutamaan istri mencium tangan suami, namun tidak ada informasi yang sebaliknya.

Melihat fenomena ini, para pejuang kesalingan tidak sepakat jika aksi istri mencium tangan suami itu disertai dengan pemahaman bahwa suami adalah orang nomor satu di keluarga, sedangkan istri nomer dua. Selain itu, mereka juga tidak sepakat jika bentuk ketundukan istri pada suami harus diwujudkan dengan cara meminta maaf istri pada suami dengan mencium tangannya, tapi tidak sebaliknya.

Aksi simbolis cium tangan suami oleh istri menimbulkan banyak pertanyaan, terutama bagi para pejuang kesalingan yang memilih pendekatan persamaan. Simbol yang mengutamakan laki-laki dalam tradisi sungkeman di Hari Raya, dinilai mengandung nilai-nilai yang bias gender. Kelompok ini menyarankan agar suami istri saling mencium tangan pasangannya, saling memaafkan dan tidak perlu ada posisi sungkeman.

Hal ini penting mengingat semua keluarga berkumpul dan simbol-simbol patriarki seperti ini tidak perlu diajarkan kepada anak keturunan. Status laki-laki dan perempuan itu sama, termasuk dalam tradisi salam-salaman di Hari Raya Idul Fitri. Mencium tangan merupakan salah satu bentuk kepatuhan dan ketundukan mutlak kepada orang yang dicium, sementara kepatuhan dan ketundukan mutlak seharusnya hanya untuk Allah subhanahu wata’ala.

Sebaliknya, bagi kalangan pejuang kesalingan yang menggunakan pendekatan perbedaan, mereka akan berargumentasi bahwa tradisi sungkeman yang mendahulukan ayah dan suami daripada ibu dan istri tidak masalah, asal hal itu hanya simbol dan tidak berimplikasi pada implementasi nilai-nilai kesalingan dalam keluarga.

Baca Juga  Memandang Kesetaraan Gender dengan Perspektif Sufisme

Artinya yang disungkemi dan yang sungkem mempunyai status yang sama di hadapan Allah. Kelompok ini memberikan catatan agar proses simbolisme ini tidak dipisahkan dengan pemahaman substantif yang menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu mempunyai kedudukan yang sama walaupuan dalam hal reproduksi perempuan mempunyai hak yang lebih daripada laki-laki.

Apakah Istri Nabi Sungkeman pada Nabi?

Bagaimana sebenarnya zaman Nabi, apakah istri beliau juga melakukan sungkeman pada Nabi? Sejauh bacaan saya, belum mendapatkan informasi tentang tradisi istri nabi mencium tangan nabi saat bersalaman. Beberapa hadis meriwayatkan, Fatimah putri Nabi, saat bertemu beliau dengan mencium tangan.

Kelompok yang menganjurkan istri mencium tangan suami didasarkan pada satu hadis, yang mengisyaratkan ketundukan istri pada suami berikut: “Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381)

Terkait dengan hadis ketaatan istri pada suami, ada 14 hadis yang secara redaksional menyatakan bahwa seorang istri harus patuh total pada suaminya, sehingga “andaikata” Nabi diberi wewenang untuk memerintah seseorang sujud kepada orang lain, Nabi akan memerintah seorang istri sujud kepada suaminya.

Berdasarkan temuan ilmuan Hadis (Nurun Najwah) menyebutkan bahwa dari 14 Hadis terkait dengan isu ini, 7 berstatus hasan (agak diyakini) dan 7 berstatus dhaif (diragukan kalau Nabi bicara seperti itu). Selain itu, ditemukan bahwa salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud termasuk dhaif (diragukan), karena terdapat dua periwayat (Husain bin ‘Abdurrahman dan Syuraik bin ‘Andillah bin Abi Syuraik) mendapat kritik negatif.

Baca Juga  Relasi antara Agama dan Budaya Modern

Berdasarkan diskusi di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi mudik ke rumah orang tua sendiri atau mertua perlu diatur secara ma’ruf dengan mempertimbangkan perasaan dan keinginan orang tua, yang pada umumnya mereka berkeinginan untuk sholat Idul Fitri bersama anak-anaknya.

Terkait dengan tradisi sungkeman istri pada suami alangkah lebih baiknya jika saling mencium tangan pasangannya, sehingga sebagai pasangan (couple) akan merasakan sama-sama berharganya. Namun demikian jika hal itu sebuah tradisi yang sudah lama, perlu didiskusikan dulu jika ingin mengubahnya.

Jika belum punya keberanian, maka perlu dimaknai bahwa mencium tangan suami oleh istri hanya sebagai bukti penghormatan dan bukan sebuah ketundukan mutlak. Karena yang berhak mendapatkan ketundukan mutlak adalah hanyalah yang Kholiq, Allah SWT.

Hal yang penting adalah cium tangan suami oleh istri tidak berdampak pada tidak adanya nilai-nilai kesalingan, seperti saling menghormati, saling setia, saling membantu, dan nilai kesalingan lainnya  dalam keluarga. Semoga lebaran kita tetap bermakna dan senantiasa dapat mengimplementasikan kesalingan, aamiin.

Editor: Yahya FR
Avatar
6 posts

About author
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan 'Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat Aisyiyah I Komisioner Komnas Perempuan I Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah I Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds