Perspektif

Melahirkan Generasi ‘Khairu Ummah’

3 Mins read

Pendidikan Islam Melahirkan Generasi Khairu Ummah

Dari perspektif paradigma sosiologi strukturalisme fungsional, pendidikan Islam merupakan upaya pewarisan nilai terhadap generasi muda (generasi pelanjut). Ia adalah wujud implementasi dakwah islamiyah dengan cara-cara yang lebih khusus terorganisasi dan terlembaga, serta terprogram secara sistematis. Tentu dengan harapan melahirkan generasi khairu ummah.

Hal ini memerlukan suatu proses komunikasi dengan pendekatan yang lebih efektif dari segi pesan (materi atau kurikulum) yang disampaikan sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai, yakni pengembangan ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Atau dalam bahasa Islam, pengembangan iman, ilmu, dan amal.

Idealnya, pendidikan Islam mampu menghasilkan sebuah generasi pemersatu. Generasi yang benar-benar mampu memahami Islam sebagai agama yang berkekuatan pemersatu hidup maupun integritas manusia yang kini sedang berantakan. Tentunya dengan berlandaskan pada konsep ke-Esa-an Allah, kesatuan hidup dan kesemestaan sistem kosmos. Kesemuanya ini bertumpu pada falsafah hidup yang searah dengan makna Islam yang sesungguhnya.

Islamic Worldview sebagai Acuan Pendidikan Islam

Setiap upaya pendidikan seharusnya selalu diorientasikan pada kebutuhan masyarakat saat ini dan mendatang dengan tanpa melupakan ikhtiar positif pendidikan masa lampau. Demikian pula dengan pendidikan Islam harus senantiasa diorientasikan pada kebutuhan masyarakat muslim saat ini dan saat mendatang. Dapat dilakukan dengan belajar pada ikhtiar-ikhtiar sukses dan positif pendidikan Islam zaman pembinaan Islam dan masa kejayaaan Islam.

Moh. Quthub dalam Altaf Gaufar (The Challenge of Islam, 1978) menyatakan bahwa kebutuhan manusia di zaman modern yang sangat mendesak adalah sebuah kekuatan yang menciptakan kestabilan dan integritas. Keduanya merupakan kekuatan yang cukup ampuh untuk mengembalikan keutuhan diri manusia dan menentukan kembali tujuan hidup manusia.

Baca Juga  Tiga Arah Studi Islam di Perguruan Tinggi

Dalam kerangka memenuhi kebutuhan yang demikian, pendidikan Islam harus berpegang pada pandangan falsafi Islam terhadap dunia. Pandangan falsafi Islam telah memberikan berbagai patokan nilai dan ketetapan yang dapat diterapkan pada seluruh dimensi dan aktivitas hidup manusia. Patokan dan ketetapan ini masih harus dijabarkan dan dipahami secara akurat guna menuntun proses aplikasinya. Apa yang penulis maksud dengan pandangan hidup Islam tidak lain adalah Islamic Worldview.

Islamic Worldview berguna untuk mengembangkan rancangan atau blueprint generasi spiritual, generasi khaira ummah yang hendak dituju, serta mengembangkan konsep-konsep islami bagi seluruh cabang pengetahuan Islam (meng-Islam-kan setiap disiplin ilmu pengetahuan). Artinya, memberikan jiwa dan watak Islam terhadap setiap disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga rancangan atau blueprint generasi spiritual, generasi khaira ummah yang hendak dijangkau terlahir dengan selamat dari serangan keraguan dan tujuan yang terpecah-pecah.

Masalah pendidikan Islam ibarat tip of iceberg (puncak gunung es) yang terapung-apung di atas permukaan air. Para pakar pendidikan sebenarnya lebih prihatin terhadap gunung es yang tenggelam di bawah air. Sebab ia yang lebih besar dan menjadi masalah yang sebenarnya yang berkecamuk nyata dalam kehidupan muslim saat ini yang mendambakan kebangkitan.

Permasalahan pendidikan Islam perlu dielaborasi dan dianalisis dengan menggunakan sebilah pisau bedah atau alat analisis guna menentukan inti atau pangkal permasalahan yang sebenarnya, yakni asas-asas (foundations) sebagai tempat tegaknya pendidikan Islam yang meliputi falsafah, sejarah, politik, sosial, ekonomi, dan psikologi (Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, 1987).

Melalui pemahaman dan penguasaan terhadap asas-asas pendidikan Islam sejumlah permasalahan pendidikan Islam dapat didudukkan secara proporsional untuk kemudian dicarikan solusinya. Pemahaman terhadap asas-asas dimaksud harus tetap berpijak pada Islamic worldview.

Proyek (Area Orientasi) Pendidikan Islam

Pada kenyataannya, etos belajar dan etos kerja telah menggeser pendidikan hati nurani, sementara motivasi spiritual yang dikembangkan dalam pendidikan Islam belum terbentuk jelas. Maka, proyek utama pendidikan Islam di Indonesia khususnya, adalah bagaimana menghasilkan generasi atau output didik yang bercirikan generasi muslim. Generasi yang selalu memiliki kebangkitan hati nurani dan mobilitas, keserasian dan keterpaduan antara ranah dzikir, ranah pikir dan ranah amal. Untuk itu pendidikan Islam (para pendidiknya) mesti mengadakan Reeducation and Reconstruction of Personality.

Mengenai ranah dzikir, adalah sebagai konsep dasar dari landasan spiritual yang bergerak dalam dunia intuitif yang dalam epistemologi Al-Qur’an dikonotasikan dengan aqidah atau iman. Daya emanasi ranah dzikir akan mampu menangkap signal-signal rohani melewati alam semesta (Realitas Obyektif) sebagai instrumen prima untuk menyentuh Realitas Mutlak sebagai Ego Terakhir (Allah Sang Khalik).

Baca Juga  Feodalisme itu Budaya Orang-orang yang Terbelakang, Tidak Relevan untuk Kita Ikuti

Bentukan ranah dzikir tersebut akan menentukan ranah pikir (pola pikir). Karenanya, ranah dzikir mesti dikawinkan dengan ranah pikir. Dalam kaitannya dengan itu, maka ranah pikir (pemikiran) manusia muslim perlu di-mi’raj-kan (the mi’raj of the mind), sehingga cakrawala pandangnya bisa menjangkau berbagai aspek kehidupan yang digunakan untuk menyejahterakan atau memakmurkan manusia di hamparan bumi, sebagai tanda syukur pada Yang Maha Kuasa.

Dzikir dan Pikir Melahirkan Generasi Khairu Ummah

Kesejahteraan hidup dan kehidupan manusia (muslimin) hanya akan terjamin manakala generasi cetakan pendidikan Islam memiliki ranah amal yang merupakan anak hasil perkawinan antara ranah dzikir dan ranah pikir. Artinya, ranah amal (perbuatan nyata) adalah sebagai tindakan kreatif yang berawal dari dzikir dan pikir, ia merupakan akhlak atau perilaku baik yang secara komprehensif harus menyentuh semua medan kehidupan.

Ia juga merupakan bentuk kreatifitas yang jatuh pada titik pusat kesadaran emosional di saat dzikir dan pikir bekerja telah sampai di hati yang kemudian menimbulkan proses al a’maalu binniyaat. Dari sinilah sebuah perilaku bermotifkan spiritual terbentuk, yang dihadapkan kepada Allah secara langsung sehingga tercatat sebagai amal shalih.

Akhirnya dapat dipahami, bahwa harapan akan lahirnya generasi spiritual (berjiwa dan bersemangat tauhid), yaitu suatu generasi serba ibadah dalam setiap hidup dan kehidupannya dengan semboyan iman (dzikir), Ilmu (pikir) dan amal, adalah ditumpukan pada pendidikan Islam. Sedang pendidikan Islam itu sendiri masih sangat membutuhkan ikhtiar-ikhtiar nyata dari para intelektual muslim dan para pakar pendidikan Islam pada khususnya. Seperti itulah jalan untuk melahirkan generasi khairu ummah.

Editor: Nabhan

Avatar
7 posts

About author
Mahasiswa S1 Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Semarang
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds