Perspektif

Generasi Z Hanya Perlu Dipahami, Bukan Dihakimi!

4 Mins read

Pagi hari ini, layaknya aktivitas manusia modern pada umumnya, saya mengawali aktivitas dengan scrolling beberapa akun media sosial di handphone saya. Awalnya saya ingin mengecek apakah ada pesan atau informasi penting yang masuk ketika saya tidur malam tadi. Namun seperti biasa, pada akhirnya saya tetap membuka dan melihat video-video reels yang itu sama sekali tak ada hubungannya dengan niat awal saya tadi. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan pemahaman bahwa generasi Z hanya perlu untuk dipahami dan tidak untuk dihakimi, sebagaimana hari ini generasi Z sering diberikan sterotipe negatif.

Di antara video-video meme reels yang saya lihat itu terselip sebuah video yang menarik bagi saya. Dalam video yang tak panjang itu diperlihatkan sekumpulan anak-anak Sekolah Menengah Atas (SMA) di depan sekolah mereka. Kemudian ada satu orang siswa yang berbicara kepada siswa yang lain. Kalau boleh saya duga sepertinya mereka semua satu kelas. Siswa tadi bicara kepada temannya yang rupanya sering terlambat datang ke sekolah karena rumahnya jauh dan tak punya kendaraan.

Generasi Z Generasi Peduli

Siswa yang sering terlambat itu biasanya berangkat sekolah dengan nebeng sedapatnya. Jika tak dapat tebengan maka terpaksa jalan kaki. Sebab itulah dia sering terlambat sekolah. Di akhir percakapan, siswa pertama bilang bahwa dia dan teman-temannya yang lain berinisiatif untuk memberi sepeda kepada ‘siswa sering terlambat.’ Mendapati hal itu, siswa sering terlambat terlihat tak bisa berkata-kata. Sedangkan teman-temannya yang lain mengerumuninya dan bersorak-sorak menyuruhnya untuk segera mencoba sepeda barunya.

Dalam hati, saya beberapa kali mengucap “nice” dan mungkin ekspresi wajah saya terlihat senyum-senyum sendiri kala itu. Bagaimana tidak? Di saat saya sudah mulai terbiasa (sedikit lagi bosan) dapat berita tentang dunia pendidikan di tanah air yang cukup mengenaskan dari ujung ke ujung, akhirnya saya seperti dapat oase ketika menonton video itu. Jika saya perhatikan lebih seksama video ini jauh dari setting-an. Semua terlihat natural dan apa adanya. Singkat, padat, emosional, keren, dan jujur tentunya. Semoga perkiraan saya itu benar.

Baca Juga  Beberapa Alasan Joe Biden Lebih Layak dari Donald Trump

Generasi Z Tidak Minim Empati

Video tersebut mengindikasikan bahwa apa yang kita kenal sebagai Generasi Z dan atau Gen Alpha tak selamanya negatif khususnya soal empati. Sebagai orang lapangan saya paham bisa jadi kesimpulan saya itu tak diamini oleh sesama orang lapangan yang lain. Namun akan kurang tepat pula jika yang terjadi adalah generalisasi. At least, lewat video tersebut dari segi sosiologis kita jadi punya semacam wawasan bahwa empati masih ada dalam hati dan kepala para bocil. Dari segi pendidikan dan parenting, masih ada sekolah, guru, dan orang tua yang tulus mengajarkan nilai-nilai kepada anak-anaknya.

Memang saya akui sulit untuk memungkiri stereotip negatif yang berkaitan dengan Generasi Z dan Alpha. Belum lagi dengan hadirnya istilah “Brain Rot” yang sepertinya sudah menjadi representasi dari Generasi Z dan mungkin Alpha. Menurut Rollo May, seorang psikolog Amerika Serikat, yang demikian itu tak lepas dari pengaruh kemajuan teknologi. 

Semakin cepat sebuah informasi sampai ke meja kita maka akan semakin berkurang pula rasa keingintahuan (wondering) pada diri kita. Berawal dari minimnya rasa keingintahuan itulah kemudian muncul istilah-istilah yang sekarang ini sering kita dengar. Seperti; YOLO, FOMO, overthinking, trust issue, mental illness, anxiety, insecure, dan masih banyak lagi gangguan mental yang lain ala Gen Z. Itulah sebabnya kalangan boomers lebih suka menyebut Gen Z dan Alpha sebagai generasi sandwich atau generasi strawberry. 

Salah Kaprah Pemetaan Generasi

Menariknya di Indonesia ada seorang peneliti yang punya temuan keren seputar dunia generasi muda ini. Namanya Dr Muhammad Faisal yang kemudian bersama kawan-kawannya membentuk sebuah biro penelitian yang salah satu fokusnya adalah meneliti dunia anak muda. 

Menariknya adalah Dr Faisal menganggap pemetaan generasi seperti boomer, X, Y, Z, Alpha sampai Betha tidak relate jika diterapkan pada struktur masyarakat Indonesia. Sehingga, ia membuat pemetaan generasi sendiri yang disesuaikan dengan peristiwa-peristiwa transisi politik dan budaya yang pernah terjadi di Indonesia. Yang mana menurutnya dua peristiwa itulah yang paling kuat pengaruhnya terhadap nuansa dan karakter dari sebuah generasi yang ada di Indonesia. 

Baca Juga  Disrupsi Agama dalam Masyarakat Digital

Berdasarkan penelitiannya Dr Faisal memakai istilah Generasi Phi sebagai representasi generasi muda Indonesia saat ini. Selain itu semacam ada keyakinan bahwa Generasi Phi adalah generasi yang bisa menjadi pengubah dan penentu gerak langkah generasi muda Indonesia sampai 50 tahun ke depan. Keyakinan tersebut didasarkan pada latar belakang Generasi Phi yang rata-ratanya lahir tepat di era atau beberapa tahun sebelum dan setelah reformasi 1998.

Reformasi menjadi batas penting bagi karakter Generasi Phi. Karena di era itulah Indonesia banyak mengalami transisi besar-besaran yang berpengaruh terhadap cara pandang dan gaya hidup masyarakatnya. Tak terkecuali generasi yang baru saja lahir sebelum maupun setelah peristiwa itu. 

Alhasil, Generasi Phi yang besar di era pasca reformasi tersebut tumbuh menjadi generasi dengan identitas yang sangat cair dan cara berpikir yang fleksibel. Oleh sebab itulah generasi tersebut diberi nama Generasi Phi atau dalam matematika berarti golden ratio. Simbol dari harmonisasi dan kesempurnaan.

Kehidupan Generasi Phi Berbeda Kondisi

Nah, kembali lagi pada video yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Jika kita kaitkan antara video tersebut dengan teori Generasi Phi milik Dr Faisal bisa kita temukan kecocokan. Para siswa itu jelas lahir dan tumbuh besar di era yang kondisinya jauh berbeda dengan era sebelum reformasi. Jadi bisa dibilang para siswa itu termasuk bagian dari Generasi Phi yang dikemukakan oleh Dr Faisal.

Jika kita melihat perilaku para siswa itu mencerminkan rasa empati yang tinggi kepada orang lain. Rasa empati atau kepedulian terhadap sesama ini bisa jadi timbul secara alami dan memang menjadi karakter utama yang sebenarnya tersimpan dalam sanubari Generasi Phi atau Z. Rasa empati itu, selain memang diajarkan oleh orang tua dan guru-guru di sekolah, juga mereka dapatkan dari berbagai hal yang mereka konsumsi di masa pertumbuhannya. Bisa berupa tulisan, video, film, atau bahkan mungkin pengaruh influencer yang kerap mereka tonton. Yang mana keterbukaan semacam ini tak dialami oleh generasi-generasi sebelum mereka. 

Baca Juga  Berbeda Dengan yang Lain, Ini Model Aswaja ala NU

Generasi Phi Generasi Cair

Sebagaimana telah disebutkan bahwa Generasi Phi ini memiliki identitas yang cair dan fleksibel. Maka, berbagai informasi yang telah terakumulasi dalam diri seorang Generasi Phi termanifestasi dalam bentuk perilaku yang bisa kita lihat di video yang saya ceritakan di awal.

Tentu, di balik kelebihan pasti juga ada kekurangan dengan cair dan fleksibelnya karakter Generasi Phi ini. Kekurangan itu pun bisa jadi malah lebih dominan kita lihat di berbagai berita atau bahkan merasakannya langsung. Namu,n kurang tepat jika sikap kita dalam merespon hal tersebut justru terjatuh pada sikap-sikap naif yang secara substansi sama saja negatifnya dengan kekurangan-kekurangan yang ada pada Generasi Z. Seperti misalnya apriori, post power syndrom, kolot, kaku, dan sebagainya. 

Bijak Mendidik Generasi Z

Maka, sikap-sikap bijaksana diperlukan oleh para orang tua dalam menghadapi salah satu tantangan kemajuan zaman yang sifatnya sunnatullah ini. Salah satunya adalah dengan cara memahami mereka. Memahami Generasi Z jelas menjadi relasi yang paling baik untuk menghubungkan mereka dengan generasi-generasi sebelumnya.

Tulisan ini juga salah satu tujuannya adalah sebagai ikhtiar kecil-kecilan untuk membantu para orang tua bisa memahami kondisi anak-anaknya yang sebenarnya terdapat potensi besar dalam diri mereka. “Syubbaanul yaum rijaalul ghodan,” anak muda atau generasi Z dan alpha saat ini adalah pemimpin di masa depan. Insyaallah pepatah itu akan terus relevan bagi orang-orang yang terbuka pikirannya.

Editor: Assalimi

Avatar
3 posts

About author
Kader Muhammadiyah dan pengasuh anak-anak yatim dan dhuafa. Menjabat sebagai anggota bidang tabligh IMM komisariat Hajjah Nuriyah Shabran periode 2018-2019
Articles
Related posts
Perspektif

Sejarah dan Perkembangan Islam di Bima

3 Mins read
Pendahuluan Islam memiliki peran penting dalam membentuk sejarah, identitas, dan budaya masyarakat Bima, sebuah wilayah di Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Berbeda dengan…
Perspektif

Viral Aksi Grebek Warung di Bulan Puasa: Beragama Kok Dikit-dikit Marah

3 Mins read
Bulan puasa hadir sebagai bulan penuh berkah. Bulan dimana kita bisa meningkatkan kualitas maupun kuantitas ibadah kita. Puasa adalah ibadah yang sifatnya…
Perspektif

Kenapa Puasa Tak Sebatas Ibadah Ritual Individual?

4 Mins read
Bulan Ramadan adalah momen sakral bagi umat Muslim di seluruh dunia. Setiap individu Muslim yang telah memenuhi syarat keagamaan (mukallaf) diwajibkan untuk…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *