Genetika Politik Muhammadiyah
Sebelum mengupas genetika politik Muhammadiyah, perlu kita pahami catatan penting dalam perjalanan sejarah politik Muhammadiyah adalah tidak pernah menjadi partai politik. Meskipun godaan, hasrat, dan perilaku antara menolak dan bergabung para tokoh Muhammadiyah tersebut tidak terhindarkan. Dialektika ini yang lazimnya mengantarkan Muhammadiyah sampai hari ini, untuk tidak bisa tidak, mentransformasi gerakan peradaban dan kebudayaan dalam “tenda besar” ke-Indonesia-an.
Ridho Al-Hamdi (2020), kader Muhammadiyah yang menyelesaikan studi doktoralnya di Jerman, memetakan bahwa pembentukan kesadaran politik Muhammadiyah dalam konteks struktur akal politik, terdiri dari dua mazhab utama, yaitu skripturalis-rasional dan substansialis-pragmatis. Sedangkan proses kesadaran politik memasuki dalam dua tahap, yaitu individual (1912-1971) dan tahap institusional (1971-2020). Karena faktor ini, banyak orang melihat dan menilai perilaku politik Muhammadiyah tidak jelas, setengah hati, dan “terpinggirkan” dari arena panggung kekuasaan.
Untuk membaca perilaku individual dan institusional ini, dalam konteks tahun 1971-2020, spektrum politik Muhammadiyah tidak serta merta hanya bisa dibaca secara institusional. Ada perilaku dan pemikiran aktor politik para pemimpin Muhammadiyah yang perlu untuk dibaca dan diamati. Karena pada kurun waktu tersebut terdapat beberapa aktor pimpinan Muhammadiyah yang patut dan menarik untuk dicermati. Meskipun semua aktor pimpinan Muhammadiyah telah setuju dalam satu kutub pemikiran, bahwa politik Muhammadiyah bukanlah politik yang sama dan sebangun dengan apa yang direpresentasikan oleh partai politik (Haedar Nashir, 2020), yang berorientasi pada “jatah” atau “kursi” kekuasaan.
Politik Muhammadiyah adalah politik kenegarawanan, yang berorientasi pada kebahagiaan tujuan hidup umat manusia di dunia dan akhirat sebagaimana tujuan Muhammadiyah.
Model Artikulasi Politik
Kesamaan mazhab politik Muhammadiyah, tidak berarti artikulasi politik Muhammadiyah terhadap setiap periode rezim kekuasaan sama. Hubungan Muhammadiyah dan kekuasaan pasang-surut, antara dekat dan renggang, collaborative dan kritis, dan seterusnya. Hal tersebut sangat bergantung dengan artikulasi mind set pemikiran pimpinan sebagai representasi aktor politik Muhammadiyah.
Dalam konteks perilaku dan artikulasi aktor ini, setidaknya ada tiga model arus utama perilaku politik Muhammadiyah. Pertama, adalah politik alokatif. Tokoh utama dari pemikiran ini adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA. Ketua Umum Muhammadiyah periode 2005-2015. Arus utama pemikiran politik alokatif adalah upaya mengalokasikan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat untuk dikontribusikan ke dalam proses politik yang sedang berlangsung. Dalam konteks Muhammadiyah, politik alokatif adalah mengambil bentuk pengalokasian prinsip-prinsip Islam untuk didistribusikan ke dalam proses politik pembangunan (baca: politik kebangsaan) berdasarkan Pancasila (Din Syamsuddin, 1990).
Kedua, high politic dan low politic. Kategori ini diperkenalkan oleh Prof Dr. H. M. Amien Rais, MA saat memimpin Muhammadiyah menjelang reformasi 1998. Terminologi ini digunakan untuk membedakan artikulasi politik yang adiluhung, negarawan, berorientasi pada kemashlahatan umum dan politik kotor, yang hanya untuk hasrat jabatan dan kekuasaan kelompok semata. Muhammadiyah, dalam gerbong high politics, yang dalam bahasa Ketua Umum Muhammadiyah sekarang, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si disebut sebagai politik kenegarawanan.
Ketiga, politik dakwah. Adagium politik dan dakwah, sebagai sesuatu yang cukup populer untuk membedakannya sebagai sebuah gerakan dalam tubuh Muhammadiyah, secara sophisticated diperkenalkan oleh Buya Syafii Maarif, dengan istilah “politik cenderung berpecah dan memecah, dakwah merangkul dan menyatukan”. Mazhab gerakan politik an sich lebih berorientasi pada zero sum game, sedang dakwah kebalikannya, yaitu mencari jalan keluar yang terbaik. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Demikian istilah pepatah Minang.
Genetika Politik
Melihat rekam jejak pada tiga artikulasi politik Muhammadiyah di atas, jika kita telaah lebih dalam, adalah terbatas pada menata relasi antara Muhammadiyah dan kekuasaan. Sebuah transformasi hubungan antara Muhammadiyah dan kekuasaan yang memang sudah berdiri sejak Indonesia merdeka. Secara preliminary, bagaimana menyiapkan kemerdekaan Indonesia dan membangun cita-cita hidup Keindonesiaan, belum sempat dikaji secara mendalam.
Artinya, ada sesuatu yang terlepas dari arena ke Indonesiaan tatkala Muhammadiyah sebagai bagian dari pendiri bangsa Indonesia, independent preliminary, tiba-tiba membuat pola gerakan artikulasi politik yang baku, dan seolah dianggap paling tepat secara permanen, dengan menempatkan diri sebagai sekedar penyeimbang kekuasaan negara. Sikap demikian, bukankah lebih pada menempatkan diri sebagai gerakan “kalah tarung” dalam terlibat membangun cita–cita kemerdekaan Indonesia.
Dengan demikian, genetika politik Muhammadiyah, adalah terlibat di dalam, dan menyiapkan, merumuskan, menjalankan roda aturan dasar-dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, persoalan artikulasi perilaku politik yang berbeda-beda bukanlah tujuan dari genetika politik gerakan Muhammadiyah. Akan tetapi, proses involving, keterlibatan dalam menjalankan dan merebut kekuasaan sebagai sikap bukan politik Muhammadiyah, adalah melanggengkan sikap apolitis, dan membiarkan Muhammadiyah semakin jauh dari arena Keindonesiaan.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun (1332-1406), politik adalah mekanisme yang mengajarkan manusia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Tidaklah mengerankan jika setelah runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani dan perang dunia ke 2, banyak daerah berpenduduk muslim kemudian menyiapkan pola baru dalam kekuasaan negara, yang banyak disebut dengan istilah Din-Dunya-Daulah. Yaitu sebuah rethinking Islam, tentang pandangan hidup Agama-Dunia dan Negara.
Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah poin kelima juga dijelaskan, “Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil, makmur, dan diridhoi Alloh SWT. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur.”
Dengan demikian, sebenarnya terang benderang, bahwa genetika politik Muhammadiyah tidak bisa semata dilihat sekadar relasi antara Muhammadiyah dan negara. Akan tetapi juga perlu dilihat dari sudut keterlibatan jauh sebelum dan saat persiapan, konsesus bagaimana Indonesia didirikan.
Transformasi Politik
Preferensi perilaku politik Muhammadiyah, harus dilihat dari kaca mata yang komprehensif. Bukan sebatas pada relasi perilaku elite Muhammadiyah dan kekuasaan pasca kemerdekaan sampai saat ini. Pembacaan relasi Muhammadiyah dan negara pasca kemerdekaan, khususnya terkait di akhir dan setelah Orde Lama sampai saat ini, adalah relasi pasang surut kekalahan politik. Kekalahan politik ini mendapatkan alasan pembenarannya dengan tiga hal pokok.
Pertama, menyelamatkan gerakan Muhammadiyah dari perilaku politik kotor. Dengan kata lain adalah menjaga kesucian gerakan dakwah dari orientasi merebut jatah kursi dan kekuasaan. Kedua, menjaga keberlangsungan amal saleh dan amal usaha Muhammadiyah di tengah masyarakat. Dengan banyaknya pimpinan yang berpolitik, membuat amal usaha Muhammadiyah tidak terurus. Ketiga, pandangan politik Muhammadiyah adalah politik kenegarawanan, yang paralel dengan tujuan hidup manusia beriman, yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ketiga alasan pembenar di atas, bukankah bisa dikatakan titik awal dari dimulainya sekularisasi gerakan dakwah Muhammadiyah? Jika kita membaca dari beragam mazhab pemikiran politik Islam, mulai dari klasik, pertengahan, dan modern, maka ditemukan tiga model. Pertama adalah model kepemimpinan sosial religius, di mana panduan utama adalah musyawarah dan perlindungan kelompok sosial religius untuk hidup berdampingan satu sama lain. Kaidah sempurnanya adalah traktat atau Perjanjian Hudaibiyah. William Montgomery Watt (1960),menyebut dalam bukunya, Muhammad sebagai Nabi dan Negarawan sekaligus.
Kedua, adalah pemikiran dan mazhab politik di mana telah muncul dinasti dinasti besar khilafah Islam dalam bentuk kerajaan. Arus utama pemikiran politik saat ini adalah tentang etika, kepemimpinan atau raja, tata negara atau tata kekuasaan kerajaan, dan sejenisnya. Munculnya pemikiran politik Islam zaman ini lebih pada pola bagaimana Islam hadir dalam dan di tengah kepemimpinan kerajaan. Tujuannya sama, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ketiga, pemikiran politik Islam modern. Pemikiran ini muncul terkait dengan munculnya konsep modern state dan demokrasi sebagai proses pergantian kekuasaan yang berbasis rakyat. Di sinilah Muhammadiyah awal bersentuhan. Bahkan KH Ahmad Dahlan bersentuhan langsung dengan para pemikir zaman ini, seperti Jamaluddin Al Afghani, Rasyid Ridho dan Muhammad Abduh.
Praktik Politik Muhammadiyah
Di Indonesia, penerus KH Ahmad Dahlah, yaitu Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Abdul Kahar Muzakir terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dekoritsu Zyunbi Tioosakai, dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai.
Membaca perhelatan sidang BPUPKI yang melahirkan Piagam Jakarta, dan sampai pada revisi Sila Pertama, adalah bentuk praktik politik Muhammadiyah, political involving, sekaligus bisa disebut sebagai genetika politik Muhammadiyah. Sedangkan sikap sparring partner, sebagai wujud artikulasi politik elite, adalah waktu jeda untuk menata dan merumuskan bagaimana model politik Muhammadiyah dalam menjaga kiblat Keindonesiaan sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa Indonesia.
Sikap pembiaran dan cenderung pembenaran permanen artikulasi politik Muhammadiyah berada di luar arena kekuasaan, sejatinya adalah sekularisasi politik Islam, yang sekaligus sekularisasi MKCH Muhammadiyah. Sebab genetika politik Muhammadiyah, menunjukkan dengan sangat jelas, bukanlah genetika politik di luar arena kekuasaan. Akan tetapi politik yang terlibat dari awal, dalam rangka membangun modern state dengan basis negara demokrasi yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945.
Untuk melihat bagaimana artikulasi politik Muhammadiyah tersebut terlibat dalam arena kekuasaan, perlu apresiasi khusus dan penelitian lebih lanjut keberhasilan Muhammadiyah dalam politik lokal di Kabupaten Bojonegoro dan Provinsi Bengkulu. Di kedua tempat tersebut Muhammadiyah memenangkan pertarungan politik lokal, dengan melibatkan eksponen Muhammadiyah dalam pertarungan politik. Tentu akan banyak kekurangan di samping kelebihannya. Akan tetapi hal tersebut lebih patut untuk diapresiasi dalam melahirkan transformasi politik Muhammadiyah, dalam rangka mendorong masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridloi Allah SWT.
Editor: Nabhan