Perspektif

Gerakan Salafi: Sejarah, Tipologi, dan Ajaran

6 Mins read

Gerakan Salafi adalah gerakan yang mengikuti manhaj Salaf, tiga generasi awal umat Islam yang terdiri dari Sahabat, Tabi’un dan Tabi’u al-Tabi’in. Meskipun gerakan ini mengklaim sebagai pengikut Salaf, dalam prakteknya ajaran Salafi sangat dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri gerakan Wahhabi. Oleh karena itu, banyak pengamat menamakan gerakan ini sebagai gerakan Salafi-Wahhabi.

Gerakan Salafi ini harus dibedakan dari gerakan Salafiyah yang diinisiasi oleh trio pembaharu Islam di Mesir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo. (W. Ende, “Salafiyya”, in Encyclopedia of Islam, Vol. 8, Second Edition, 1995, p. 900).

Jika gerakan Salafiyah mengajak umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadits, dan melakukan ijtihad  penafsiran ulang atas doktrin agama dengan menggunakan rasio agar bisa menjawab tantangan zaman, gerakan Salafi menolak penafsiran berdasarkan rasio.

Selanjutnya gerakan Salafi juga berpendapat bahwa selain Al-Qur’an dan al-Hadits, umat Islam harus mengikuti manhaj Salaf, sebagai sumber ketiga (Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf, Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2008, pp. 55-158). Dalam pengertian ini, perlu ditegaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Salafiyah yang meneruskan ide-ide ketiga pembaharu Islam di atas.

Kemunculan Salafi di Indonesia

Kemunculan gerakan Salafi di Indonesia pada pertengahan tahun 1980-an terkait erat dengan peran dan ambisi Saudi Arabia dalam percaturan keagamaan dan politik di dunia Islam. Sejak berdiri, Saudi Arabia telah menjadikan Wahhabisme sebagai model keislaman bagi dinasti Ibn Saud.

Pemerintah Saudi Arabia menikmati dukungan dari ‘ulama-ulama Wahhabi bagi stabilitas sosial dan politik di dalam negeri, karena para ‘ulama selalu mendukung kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Akan tetapi, Saudi Arabia menghadapi ancaman dari pesaingnya: Sosialisme Arab yang digagas oleh Jamal Abdul Nasir dari Mesir, dan revolusi Islam Iran yang bermadzhab Syi’ah.

Di dalam negeri sendiri, pemerintah Saudi Arabia pernah mengalami pemberontakan yang dipimpin oleh Juhaiman al-Utaibi pada tahun 1979. Pemberontakan ini jelas sebagai pengaruh dari revolusi Islam Iran, karena terjadi tidak lama setelah revolusi tersebut berhasil dengan gemilang.

Untuk menghambat pengaruh kedua ideologi tersebut, Saudi Arabia, berkat harga minyak bumi yang meroket, mulai melakukan berbagai usaha mengekspor Wahhabisme ke dunia Islam.

Termasuk ke dalam usaha ini dalah pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1957, dan pendirian Rabithah al-Alam al-Islami (Liga Muslim) beberapa tahun kemudian. OKI didirikan untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara Islam, sementara Rabithah dibentuk sebagai sarana untuk menyebarluaskan model keislaman yang dianut oleh Saudi Arabia.

Melalui Rabithah pemerintah Saudi Arabia menyalurkan dana ke negara-negara Islam untuk berbagai tujuan: pembangunan masjid, beasiswa dan insentif da’i.

Dalam konteks inilah, pemerintah Saudi Arabia menawarkan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia. Beasiswa disalurkan melalui Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang saat itu diketuai oleh Mohammad Natsir.

Baca Juga  Neo-Jabariyah dan Ketidakberdayaan Manusia Menghadapi Virus Corona

Natsir sangat dipercaya oleh Saudi Arabia, sehingga ia menjadi wakil ketua Rabithah, dan rekomendasinya ampuh untuk mendapatkan beasiswa dari Saudi Arabia. Mereka dikirim ke Saudi Arabia untuk belajar di beberapa perguruan tinggi seperti, Jami’ah Imam Ibn Su’ud di Riyadh dan Universitas Islam Madina.

Di samping DDII, Lembaga Ilmu Pengeta-huan Islam dan Arab (LIPIA) sangat instrumental dalam penyebaran Salafisme di Indonesia. Lembaga ini memberikan beasiswa penuh bagi semua mahasiswanya, dan bahkan mahasiswa-mahasiswa terbaiknya dikirim ke Saudi Arabia dan Pakistan untuk studi lebih lanjut.

Ketika kembali ke Indonesia, sebagain dari alumni Saudi tidak kembali ke induk organisasi pengirim, melainkan aktif menyiarkan dakwah Salafi. Termasuk dalam generasi awal ini adalah Chamsaha Shofwan yang dikenal dengan Abu Nida, Ahmad Faiz Asifuddin, dan Aunurrafiq Ghufran.

Abu Nida dan Aunurrafiq adalah alumni Pendidikan Guru Agama Muhammadiyah di Lamongan, sebelum bergabung dengan DDII, sementara Faiz Asifuddin adalah kader Madrasah Wathaniyah Islamiyyah, Kebarongan, Banyumas.

Sebelum keluar dari Dewan Dakwah, Abu Nida dan Asifuddin sempat ditugaskan mengajar di Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Kemudian mereka keluar dari pesantren dan memutuskan untuk menyebarkan dakwah Salafi.

Kelompok Pertama Sasaran Dakwah Salafi

Kelompok pertama yang dibidik oleh dakwah Salafi adalah intelektual muda Muslim di kampus-kampus di Yogyakarta. Mereka adalah mahasiwa-mahasiswa aktivis di perguruan tinggi umum, terutama di Universitas Gajah Mada (UGM). Pada masa-masa awal ini, Abu Nida bekerjasama dengan para aktivis dari Ikhwanul Muslimin, seperti Abu Ridlo.

Dalam fase ini, mereka mengkombinasikan gerakan Salafi dengan Ikhwani, seperti terlihat dalam slogan mereka “Aqidah Salafi, Manhaj Ikhwani” (Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia, New York: Cornell University, 2006, h. 52-54).

Kolaborasi ini adalah strategi semata dalam rangka mendapatkan pengikut. Sebab, antara kelompok Salafi dan Ikhwani berbeda dalam banyak hal. Meskipun terdapat kemiripan dalam hal aqidah .Salafi mengkritik Ikhwanul Muslimin karena aktivis Ikhwanul Muslimin mengamalkan wirid khusus.

Lebih lanjut, Salafi juga mengkiritik Ikhwanul Muslimin karena yang terakhir mengembangkan sistem tanzhim (struktur organisasi) yang ketat dan terlibat dalam politik praktis. Bagi Salafi, sistem tanzhim ini membuat umat Islam terkotak-kotak.

Setelah berhasil menarik pengikut yang cukup, akhirnya Abu Nida memisahkan diri dari kelompok Ikhwanul Muslim, dan mengadakan pengajian yang terpisah dari mereka di masjid-masjid sekitar UGM, seperti masjid Mardiyah dekat Mirota Kampus, dan masjid Mujahidin dekat Fakultas Teknik dan Fakultas Kedokteran.

Kini Abu Nida dibantu oleh kawan-kawannya sesama Salafi: Ahmas Faiz Asifuddin dan Aunurrafiq Ghufran. Seperti Abu Nida, Asifuddin dan Ghufran adalah kader Dewan Dakwah dan alumni dari Universitas Imam Ibn Su’ud di Riyadh.

Baca Juga  IPTEK Makin Maju, Apakah Agama Sudah Tak Relevan Lagi?

Di samping pengajian rutin, mereka mengadakan berbagai halaqa dan daura yang diisi dengan pengajaran berbagai ajaran pokok Salafi. Selanjutnya, guna memahami ajaran Islam dari sumber aslinya, mereka mendorong para mahasiswa untuk belajar Bahasa Arab. Daurah Bahasa Arab kemudian diadakan setiap tahun, salah satunya, diadakan di pesantren al-Furqan Gresik.

Dakwah Salafi mendapatkan energi tambahan ketika Ja’far Umar Thalib, Yazid Abdul Qadir Jawwas dan Yusuf Usman Baisa bergabung dengan mereka. Mereka ditugaskan untuk mengajar di Pondok Pesantren al-Irsyad Tengaran, Salatiga, Jawa Tengah.

Di bawah kepemimpinan Ja’far Umar Thalib, pesantren ini menjadi kiblat gerakan Salafi di Indonesia; hampir semua ustadz-ustadz Salafi senior pernah menjadi “santri” di pesantren ini.

Dalam perjalanan waktu, pesantren al-Irsyad juga menjadi saksi perpecahan awal di kalangan Salafi. Perpe-cahan ini disebabkan karena pegantian Thalib oleh Yusuf Usman Baisa.

Thalib tidak menerima penggantian tersebut sehingga ia meninggalkan pesantren, dan mendirikan  pesantren sendiri, Ihya Al-Sunnah di Dego-lan, Kaliurang, Yogyakarta. Inilah titik awal perpecahan di kalangan gerakan Salafi di Indonesia.

Kedatangan Abdul Rahman Abd. al-Khaliq dari Ihya al-Turath di Kuwait ke pesantren ini, disusul kemudian dengan kedatangan Sharif Fu’ad Haza pada tahun 1996 membuat konflik semakin tajam.

Thalib menuduh Abd. Al-Khaliq dan Haza dari Ihya Al-Turath dan pengikutnya sebagai pengikut gerakan Sururi. Sejak saat ini kemudian kelompok utama Salafi terbelah menjadi dua: Yamani dan Haraki. Yamani ditujukan kepada kelompok Ja’far Umar Thalib.

Sebagian besar ustadz dari kelompok ini adalah murid-murid Ja’far yang dikirim ke Yaman untuk belajar di Darul Hadits Dammaj, pusat pengajaran Salafi di bawah pimpinan Sheikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i.

Kelompok lainnya adalah kelompok “haraki” (pergerakan). Disebut “haraki” karena kelompok Yamani menuduh bahwa kelompok ini menerapkan strategi pergerakan dalam dakwah mereka.

Termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Nida, Abdul Qadir Jawwas, Ahmad Faiz Asifuddin, Aunurrafiq Ghufran, dan Abdul Hakim Abdat. Berbagai rekonsiliasi telah diupayakan untuk menyatukan gerakan Salafi, namun semuanya gagal.

Ketegorisasi dan Pengelompokkan Salafi

Dalam pandangan saya, pengelompokkan Salafi ke dalam Yamani dan Haraki sudah tidak memadai lagi, karena beberapa alasan. Pertama, tidak semua alumni Yaman berafiliasi ke Yamani. Kedua, salah satu syaikh yang menjadi panutan mereka adalah Syeikh Rabi bin Hadi al-Madkhali tinggal di Saudi Arabia.

Dan terakhir, sebutan “haraki” yang artinya “pergerakan” juga dapat dilabelkan kepada kelompok Yamani. Kalaupun sebutan itu dilabelkan kepada kelompok Abu Nida dan kawan-kawannya dengan alasan mereka terkontaminasi oleh pemikiran Ikhwanul Muslimin, dengan mengkritik pemerintah, alasan ini pun tidak kuat karena mereka juga sama-sama loyal kepada pemerintah dan tidak mengkritik pemerintah.

Baca Juga  Corona dan Kemenangan Kita yang (Harus) Tertunda

Karena alasan-alasan di atas, saya mengusulkan kategori lain. Saya menyebut kelompok Yamani sebagai “rejeksionist”, karena lembaga pendidikan mereka menolak kurikulum pemerintah dan menolak kerjasama dengan kelompok yang tidak sepaham dengan mereka.

Sementara kelompok “haraki” saya sebut dengan kelompok “koperasionis” karena lembaga pendidikan mereka masih manerima kurikulum pemerintah dan masih mau bekerjasama dengan kelompok lain sampai batas-batas tertentu.

Di luar arus utama kelompok Salafi ini, masih ada kelompok Salafi lain. Pertama Wihdah Islamiyyah di Makassar, Saat ini Wahdah Islamiyyah telah bermetamorfosis menjadi organisasi masa Islam yang mempunyai pimpinan pusat dan pimpinan cabang di hampir seluruh Indonesia.

Wahdah Islamiyyah berawal dari anak-anak muda yang aktif di Muhammadiyah, yang kecewa dengan Muhammadiyah ketika ormas ini menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam Muktamar 1985.

Di bawah bimbingan KH. Fathul Mu’in, mereka aktif melakukan kajian keislaman yang salah satu materinya lebih menekankan Islam sebagai way of life, bukan agama yang semata-mata mengurusi masalah ibadah.

Kini Wahdah Islamiyyah dipimpin oleh ustadz Muhammad Zaitun Rasmin dan Muhammad Qasim Saguni (Syarifuddin Jurdi, Sejarah Wahdah Islamiyyah, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007, h. 106-120).Berbeda dengan kelompok Salafi arus utama, Wahdah Islamiyyah menganjurkan pengikutnya untuk mengikuti pemilihan umum.

Karena alasan keikutsertaan dalam Pemilu dan sistem tanzhim yang dianutnya, Wahdah Islamiyah tidak diakui kesalafiyahannya oleh kelompok Salafi arus utama.

Kelompok Salafi lain yang tidak diakui oleh kesalafiyahannya oleh mainstream Salafi adalah kelompok Harakah Sunniyah untuk Masya-rakat Islam, disingkat HASMI. Kelompok ini berpusat di Yayasan al-Huda, Cimanglid, Bogor. Selain aktif menyebarkan dakwah Salafi, kelompok ini menyalurkan dana bantuan dari pendonor dari Saudi Arabia.

Tentu bantuan pembangunan masjid ini disesuaikan dengan misi mereka, terutama terkait dengan pemberantasan bid’ah. Sebagai contoh, di dalam masjid yang dibangun tidak boleh ditaruh bedug. Setelah pembangunan masjid selesai, biasanya yayasan al-Huda mengirim da’i untuk menyebarkan da’wah Salafi.

Secara garis besar, ada 4 ajaran pokok gerakan Salafi. Pertama, tauhid yang dibagi menjadi rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat. Kedua, mengikuti sunnah dan menentang bid’ah. Ketiga, al-wala’ wa al-bara’, yang secara singkat berarti “cinta dan benci karena Allah”.

Maksudnya adalah bahwa umat Islam harus menyukai segala perbuatan untuk menjaga kehormatan Islam, dan pada saat yang sama membenci segala perilaku yang dianggap dapat merugikan Islam dan umat Islam.

Terahir,  keempat adalah taat kepada pemerintah. Menurut Salafi, dalam kondisi apapun, umat Islam wajib loyal kepada pemerintah selama mereka masih bisa menjalankan kewajiban agamanya.

Umat Islam tidak dibolehkan mengritik pemerintah di depan umum, seperti melakukan demonstrasi. Memberontak kepada pemerintah jelas diralang karena bisa menyebabkan kerusakan yang lebih besar.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds