Dalam sistem pendidikan tradisional, siswa yang menimba ilmu kepada seorang guru dapat dipastikan ilmu yang dia peroleh berawal dari apa yang diketahui sang guru. Oleh sebab itu, guru merupakan sosok yang akan diukir dalam ingatan siswa seiring proses belajarnya. Dengan kata lain guru adalah navigator pendidikan.
Alasan perlunya guru untuk seorang siswa adalah sebagai pembimbing dan pengarah pendidikan. Dalam tradisi Jawa, istilah guru merupakan akronim dari “Sing digugu lan ditiru” atau sosok yang dipercaya dan diikuti. Sehingga, tugas guru mencakup pendidikan secara mental dan intelektual, yaitu keluhuran budi dan pengembangan pengetahuan.
Pada hakikatnya, peserta didik akan meniru setiap apa yang dilakukan sang guru di hadapannya. Mulai dari cara berpenampilan, berbicara, bertegur sapa, sampai mengajar. Maka menurut Ki Hajar Dewantara tugas guru adalah “To educate the head, the heart, and the hand”. Berarti hendaknya guru memiliki ketauladanan terlebih dahulu sebelum mengajarkan.
Etos kerja sebagai guru dan penerapan disiplin dalam profesi tersebut sangat dibutuhkan demi terciptanya kestabilan pendidikan. Bayangkan saja, apabila seorang guru telat masuk kelas untuk mengajar atau mengajar tidak mengenakan pakaian sopan dan rapi, pastilah para siswa menilai bahwasanya sang guru tidak memiliki komitmen yang cukup dalam mengajar dan mendidik.
Guru dan Gerakan Literasi Sekolah
Guru dapat mewajibkan siswanya untuk membaca buku agar memperkaya khazanah keilmuan. Siswa yang berhasil adalah dia yang mau membaca dan mengelaborasi hasil renungan dari bahan bacaan. Pada Juli 2015, telah terbit Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Salah satu kegiatan wajib yang tercantum adalah wajib membaca selama 15 menit buku nonpelajaran setiap hari.
Selain siswa yang berkewajiban membaca, seorang guru justru memiliki kewajiban ganda, membaca dan mengajarkan. Tidak mungkin seorang guru menyampaikan ilmu, tapi pebendaharaan ilmunya kurang. Maka dari munculnya Permendikbud tersebut mendorong adanya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Gerakan Indonesia Membaca (GIM) di Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, dan Gerakan Literasi Bangsa (GLB) di Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Billy, 2018:15).
Saat peserta didik dan guru diwajibkan membaca, maka kesempatan yang tepat untuk menjalankan fungsi keteladanan guru adalah mendampingi dan mengawasi. Namu,n apabila guru dan siswa tidak berada dalam satu ruangan, maka keteladanan guru bisa melalui penugasan peserta didik membaca hasil tulisan guru.
Saat membaca hendaknya guru menciptakan suasana yang menyenangkan dan tidak membosankan. Salah satu cara efektif adalah dengan tidak memberikan durasi yang lama dalam membaca dan memberi kesempatan peserta didik untuk bertanya. Ada juga inovasi untuk mempersilahkan peserta didiknya tampil di depan kelas sebagai pengembangan potensi.
Akibat membaca siswa akan pandai. Membaca juga dapat mempengaruhi sudut pandang siswa mengkritisi fenomena aktual di sekitar. Membaca buku juga ada etika, seleksi buku bacaan sebelum menjadi konsumsi otak. Buku yang tidak mengandung unsur SARA, ekstremisme, radikalisme, bias gender, dan penyimpangan sosial akan membentuk watak siswa yang bijak.
Metode Pembelajaran Ideal di Masa Pandemi
Pandemi menjadi tantangan baru bagi guru dalam menyampaikan ilmu. Tidak sedikit guru yang berkeluh kesah karena kesulitan memberikan pemahaman kepada siswa, terlebih lagi pelajaran yang memang membutuhkan praktek.
Mau tidak mau, metode pembelajaran harus diutak-atik demi proses belajar yang berjalan. Pemerintah membuat kebijakan yang mengatur proses belajar ini melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 dengan meniadakan pembelajaran tatap muka, dan solusinya diganti pembelajar jarak jauh atau daring.
Usaha guru dalam penguatan karakter siswa tidak ikut surut karena pandemi. Guru selalu memiliki inovasi terbaru karena keluasan pengetahuan dan kecakapan pengalaman, sehingga mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan mutakhir.
Peserta didik juga harus diperhatikan kesehatan mentalnya. Seperti pengalaman seorang siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan, yang melakukan bunuh diri karena mengalami depresi akibat penugasan pembelajaran jarak jauh (Antara, 19/10/2020). Sehingga guru harus peduli dan meringankan beban tugas kepada siswa agar hasil belajar optimal, meski tidak sebanding dengan proses tatap muka.
Di samping metode pembelajaran jarak jauh, ada juga guru yang berinisiasi untuk mengajar dengan mendatangi kediaman siswa satu per satu. Hal ini dilakukan karena menimbang tidak semua wali siswa memiliki akses mengikuti pembelajaran jarak jauh atau daring bagi anaknya. Diantara keluhan tersebut adalah kondisi ekonomi keluarga dan lokasi yang susah dijangkau oleh sinyal.
Meskipun zaman terus maju, kondisi kian tidak menentu, proses belajar akan terus diperjuangkan oleh guru. Membangun manusia berkualitas unggul menjadi spirit khidmat guru terhadap kepentingan kemajuan bangsa.
Di samping itu, kehidupan global menuntut guru dan peserta didik menguasai teknologi informasi. Supaya bangsa ini memiliki peran aktif yang mendunia dan independensi dalam pendidikan. Sehingga Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara maju dalam kompetisi memajukan peradaban manusia.
Guru adalah Navigator Pendidikan
Dengan pendidikan manusia menjadi beradab. Begitu juga dengan guru, siswa menjadi terarah dan terbimbing. Kedua peran ini tidak bisa dipisahkan. Tidak akan berjalan suatu proses pendidikan tanpa siswa, walaupun terkadang seorang guru tidak membutuhkan peserta didik langsung karena dia mengajarkan ilmu melalui tulisan. Peserta didik juga tidak akan mampu berkembang secara maksimal tanpa arahan seorang guru.
Semua penyampai ilmu adalah guru dan semua penuntut ilmu adalah siswa. Guru menjadi model asah, asih, dan asuh. Yang terpenting guru adalah navigator pendidikan, soko peradaban, dan pejuang revolusi mental.
Editor: Nabhan