Inspiring

KH. Irfan Hielmy: NU “Rasa” Muhammadiyah Moderat

4 Mins read

Kunci Islam moderat adalah ulama berwawasan luas dan pro-pembaruan pemikiran. KH. Irfan Hielmy merupakan salah satu di antaranya. Ia dikenal sebagai ulama tanah Sunda yang berhasil mewariskan semangat modernisasi dan gagasan moderatisme Islam berbasis pondok pesantren.

Semasa hidup, ia memimpin Pondok Pesantren Darussalam Ciamis, Jawa Barat. Pendiri pondok ini tidak lain adalah ayahnya sendiri yakni KH. Ahmad Fadlil. Berdiri pada tahun 1929, pondok ini sebelumnya bernama Pesantren Tjidewa. Seiring waktu, bersama dengan semangat reformasi lembaga, pesantren berganti nama menjadi Ponpes Darussalam pada 1963.

Biografi K.H. Irfan Hielmy

K.H. Irfan Hielmy lahir pada tanggal 25 Desember 1931 di kampung Kandang Gajah, Cijeunjing, Ciamis. Ibunya bernama Siti Maemunah binti Siti Fatimah binti Uyut Eyang Audaya. Sejak kecil, ia sangat senang membaca. Konon, ia bisa membaca seratusan lembar setiap hari (Sumadi, 2002).

Ia pernah berguru pada KH. Ahmad Sanusi, ulama sekaligus pejuang kemerdekaan yang memimpin Pesantren Cantayan, Gunung Puyuh. Meski dikenal sebagai tokoh pesantren yang berafiliasi dengan NU, KH. Irfan Hielmy pernah menjadi guru pada sekolah PGA Muhammadiyah (1953-1954). Banyak santri didikannya juga kemudian menjadi aktivis Muhammadiyah.

Selain sukses membuktikan bahwa pondok pesantren yang dipimpinnya mampu berhadapan dengan tantangan zaman baru, pengalaman politik KH. Irfan Hielmy juga cukup berhasil. Pada 1964, ia bergabung menjadi anggota Partai NU. Ia juga pernah menjadi anggota DPRD Gotong Royong Kabupaten Ciamis periode 1967-1971.

Pada saat itu, ia dianggap sangat mumpuni menjadi jembatan penghubung yang membawa gagasan kaum muslim untuk eksis dalam dunia politik pasca tragedi 1965. Ia merupakan salah satu tokoh pesantren Jawa Barat yang disegani secara politik. Ia kerap diminta dukungan oleh politisi Jakarta.

Pernah suatu ketika menjelang Pilpres 2004, ia didatangi oleh Susilo Bambang Yudhono dalam rangka mendapat dukungan ulama dan tokoh pesantren. Begitupula pada menjelang Pilpres. Harus diakui bahwa pengaruh politik KH. Irfan Hielmy cukup besar dan berpengaruh. Terlibat dalam kehidupan politik praktis tidak menghilangkan kecermelangan pemikiran keislamannya. Ia justru semakin bersemangat mempromosikan kapasitas adaptif kaum muslim menghadapi dunia modern.

Baca Juga  MT Arifin dan Keris: Melihat Muhammadiyah dari Luar

Berdasarkan inventarisir Sumadi (2002), KH. Irfan Hielmy menulis beberapa buku, Masyarakat Madani (1989), Bunga Rampai Menuju Khairu Ummah (1994), Pendekatan Keagamaan dalam Menyelesaikan Krisis Kemasyarakatan (1997), Pesan Moral dari Pesantren (1999), Wacana Islam, Bahan Telaah Anak Bangsa (2000) dan Dakwah bil Hikmah (2002). Sosoknya juga diabadikan dalam beberapa buku dan karya ilmiah, KH. Irfan Hielmy: Pemimpin Moderat Panutan Umat (2016)karya Eulis Sri Rosyidatul Badriyah.

Konsep “Madrasah Unggulan”

KH. Irfan Hielmy mewariskan sejumlah gagasan keislaman yang penting. Pertama, konsep “madrasah unggulan.” Kedua, konsep “muslim moderat.” Ketiga, integrasi ilmu keagamaan, humaniora, dan eksakta pada lembaga pendidikan Islam. Ketiga rumusan pemikiran keislaman tersebut merupakan konseptualisasi praktik kepemimpinan pondok pesantren KH. Irfan Hielmy. Rumusan tersebut juga berhubungan dengan dinamika pemikiran keislaman di Jawa.

Berkenaan dengan konsep “madrasah unggulan,” KH. Irfan Hielmy merupakan ulama pesantren yang sangat mendukung reformasi lembaga pendidikan Islam. Hal itu dapat dilihat eksplisit melalui pendirian Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) di Pesantren Darussalam. Sebagaimana dicatat oleh Ali (2016), merespon kebijakan Kementrian Agama Munawwir Sjadjali, model MAPK di Pesantren Darussalam merupakan bentuk kombinasi pengetahuan keislaman tradisional dan disiplin ilmu modern.

Konseptualisasi “madrasah unggulan” diformulasi berdasarkan pada dukungan KH. Irfan Hielmy atas eksistensi MAPK. Konsep “madrasah unggulan” sebetulnya adalah bentuk adaptasi lembaga pendidikan Islam dengan perubahan zaman. Pemikiran “madrasah unggulan” dapat ditelusuri pada masa kecil KH. Irfan Hielmy yang terkesan dengan ilmu non-pesantren.

Kala ia menjadi siswa Sekolah Rakyat, ia mulai bersentuhan dengan pengetahuan umum. Sebelumnya, ia hanya mengenal ilmu keislaman yang diperantarai oleh Bahasa Arab atau Sunda. Di Sekolah Rakyat ia mulai menerima unsur Bahasa Melayu. Perubahan pada Bahasa perantara pengetahuan, menambah visi keilmuan.

Baca Juga  Kuatkan Kapasitas Think Tank, Maarif Institute & P3M Gelar Pelatihan

Bila dipahami lebih lanjut, ketertarikan dan gairah KH. Irfan Hielmy atas ide modernisasi lembaga pendidikan Islam adalah berkat kesadaran baru yang terbentuk pada usia muda tadi. Maka konsep “madrasah unggulan” merupakan politik pengetahuan untuk mempertemukan khazanah pengetahuan Islam (yang senantiasa memuat unsur klasik dan kanonikal) dengan ilmu pengetahuan modern yang diperantarai oleh sejarah impereialisme dunia Barat.

Sikap Moderat KH. Irfan Hielmy

Sikap moderat KH. Irfan Hielmy mencakup dua hal. Pertama, pandangannya bahwa hukum syariah permanen, tapi kondisi terus berubah (Ali, 2016). Kedua, paham keagamaan perlu berlandaskan pada komparasi lintas mazhab (Sumadi, 2002).

Ia mengakui bahwa dalam beberapa tingkatan, paham keagamaan selalu “tradisional” dan “klasik.” Artinya bahwa Islam punya standar moral, politik, dan sosial yang baku dan tidak bisa diutak-atik. Meski demikian, bukan berarti Islam tidak akan mampu menjawab perubahan zaman. Justru karena Islam punya “standar baku” itulah, Islam dapat meletakkan segala urusan pada tempatnya masing-masing.

Sebagai contoh bahwa perkara ibadah selalu masuk ke dalam urusan fikih. Kendati begitu, ibadah juga punya konteks situasi dan lingkungan. Ada faktor-faktor kedaruratan yang dapat “mengubah” aspek tertentu pada ibadah. Tapi tentu dengan catatan bahwa “perubahan” itu telah mendapat persetujuan dan kajian mendalam dari otoritas keagamaan yang kompeten. Jadi syarat pada fleksibilitas beragama selalu pada sumber legitimasi dan bagaimana setiap orang memahami derajat “kedaruratan” tersebut berdasar pada kompetensinya masing-masing.

Bagi seorang ahli kesehatan, Covid-19 menunjukkan derajat kedaruratan tertentu, sehingga akan berpengaruh pada penyelenggaraan peribadahan. Bagi seorang ulama pakar fikih, kedaruratan kesehatan dijelaskan berdasar pada keterangan teks keagamaan. Jadi sumber legitimasi itu menentukan pertimbangan-pertimbangan pada penyelenggaraan peribadahan.

Sikap moderat juga bergantung pada pertimbangan pengetahuan yang telah dicapai oleh masing-masing sumber legitimasi. Ilmu agama, ilmu medis, dan ilmu ekonomi punya pencapaiannya masing-masing. Dalam konteks inilah, “syariah” bersifat “permanen” tersebut dapat dipahami dengan baik.

Baca Juga  Ibnu Khuzaimah, Ulama Hadis dengan Banyak Keistimewaan

Sifat “permanen” tidak mengeraskan sifat kelenturan pada cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan suatu persoalan keagamaan. Apalagi KH. Irfan Hielmy menekankan pentingnya pemahaman lintas mazhab. Satu mazhab fikih tidak dapat melingkupi semua persoalan yang berubah-ubah. Maka diperlukan cara memahami syariah secara komparatif.

Islam dan Spirit Pembaruan

Bagi KH. Irfan Hielmy, Islam hanya akan bertahan dengan menerima semangat pembaruan. Baik pada tataran filosofis maupun praksis. Islam sebagai pengetahuan moral dan kebijaksanaan harus mampu memberi arah bagi pengetahuan eksakta dan humaniora. Pengetahuan dan keterampilan keagamaan merupakan landasan bagi pembentukan karakter. Sedangkan pengetahuan eksakta dan humaniora membimbing manusia menyelesaikan persoalan yang muncul akibat industrialisasi dan revolusi teknologi.

Manusia tidak akan mundur ke belakang, tapi akan terus maju. Maka umat Islam, terutama pada pemimpinnya tidak bisa membawa umat Islam kembali mundur menuju abad klasik. Satu-satunya cara umat Islam mampu berkontribusi pada kehidupan modern adalah dengan turut serta merekonstruksi pengetahuan-pengetahuan non-agama. Maka KH. Irfan Hielmy selalu mendorong santri-santrinya menuntut ilmu seluas-luasnya. Tidak takluk dan menyerah pada perubahan zaman, melainkan turut serta berlomba-lomba pada kebaikan.

Kiai NU Rasa Muhammadiyah

KH. Irfan Hielmy termasuk ulama yang dibesarkan dalam corak tradisionalis tapi mempromosikan pemikiran modernis Islam. Ia termasuk ulama dengan gaya konservatif moderat. Berdasarkan penuturan para santri dan alumni pondok pesantren, KH. Irfan Hielmy adalah sosok yang “berpegang teguh pada syariat” sekaligus menghargai “perbedaan” dan “kemajuan Islam.”

Banyak alumni santri mengatakan bahwa KH. Irfan Hielmy adalah ulama dengan pemikiran besar terkait reformasi lembaga pendidikan Islam. Ia adalah suatu teladan bagi santri dalam mencintai agama sekaligus ilmu pengetahuan. Kiai karismatik ini wafat pada 18 Mei 2010, meninggalkan warisan berharga bagi santri dan umat Islam di nusantara.

Editor: Yahya FR

Eva Nurlaila
3 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *