Perspektif

Trensains (Pesantren Sains): Konvergensi Muhammadiyah-NU

3 Mins read

NU-Muhammadiyah: Konvergensi antar Keduanya

Kolom Opini Kompas, pada Rabu 5 Februari 2020 memuat artikel berjudul “Ulama Visioner Itu Berpulang”. Artikel ini ditulis oleh salah seorang Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, yaitu Robikin Emhas.

Ada kesalahan fatal dalam tulisan tersebut, yakni pada bagian yang menjelaskan Pesantren Sains (Trensains) Tebuireng Jombang.

Dalam artikel tersebut, dijelaskan bahwa “Salah satu terobosan Gus Sholah ialah mendirikan lembaga pendidikan bernama SMA Trensains (akronim dari pesantren dan sains) pada 2013. Sekolah hasil kerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu menggabungkan sistem pendidikan agama ala pesantren dan nasional dengan sains.”

Meluruskan Trensains Tebuireng

Di sini, terdapat dua poin yang menurut penulis perlu dikoreksi. Pertama, SMA Trensains Tebuireng didirikan pada tahun 2014, jadi bukan 2013. Menurut sejarahnya, SMA Trensains Tebuireng diresmikan tepat pada 23 Agustus 2014 (19 Syawal 1935 H), oleh Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin.

Adapun tahun 2013 adalah berdirinya SMA Trensains Muhammadiyah Sragen, tepatnya 5 November 2013 yang bertepatan dengan tahun baru 1 Muharram 1435.

Kedua, Trensains Tebuireng tidak bekerjama sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) baik pada saat merintis, maupun sampai detik ini. Sampai hari ini, Trensains Tebuireng bekerjasama langsung dengan Agus Purwato (Gus Pur) sebagai penggagas sekaligus pemilik hak cipta nama Trensains.

Berdirinya SMA Trensains merupakan manifestasi dari konvergensi dua ormas terbesar di dunia, yaitu Muhammadiyah dan NU. Jika selama ini terdapat stigma bahwa kedua ormas ini tidak bisa bersatu, saling berseteru, apalagi bekerjasama. Tesis ini dipatahkan oleh Gus Solah (NU) dan Gus Pur (Muhammadiyah) yang sama-sama alumni ITB kemudian dipersatukan oleh proyek Trensains.

Baca Juga  Akhirnya Walikota Ijinkan Lapangan untuk Salat Idulfitri, Mu'ti: Terima Kasih

Di sinilah kehebatan Gus Solah yang memiliki sikap tawadhu’, terbuka, dan suka bekerjasama dengan pihak manapun. Untuk membangun kemajuan peradaban dan melakukan pembaruan pesantren, Gus Solah tak segan meminta Gus Pur untuk berkolaborasi mengembangkan Trensains.

Meskipun Gus Pur adalah Ulama Muhammadiyah tepatnya adalah Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur dan anggota MTT PP Muhammadiyah.

Keterbukaan Gus Solah itu disambut oleh Gus Pur yang pada saat itu sedang merintis SMA Trensains Muhammadiyah di Sragen. Gus Pur tak enggan untuk berkolaborasi dengan Gus Solah mengembangakan Trensains sebagai proyek peradaban Islam.

Sehingga saat ini, ada dua SMA-Trensains, yaitu  SMA-Trensains Muhammadiyah Sragen (2013) dan SMA-Trensains di Tebuireng (2014). Atas peran Gus Sholah inilah, NU kini memiliki Trensains sama seperti Muhammadiyah.

Trensains, Bukan Pesantren Modern

Pada dasarnya, Trensains (Pesantren Sains) adalah konsep pendidikan yang tidak menggabungkan materi Pesantren dengan ilmu umum sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh “pesantren modern”. Trensains mengambil kekhususan pada pemahaman al-Qur’an (Ayat-Ayat Semesta), sains kealaman (natural science), dan pola interaksinya.

Di sini, interaksi antara agama, sains, dan filsafat merupakan materi khas Trensains yang tidak ada pada pesantren modern. Di saat menjamurnya pertumbuhan pesantren dan rumah tahfidz (hafalan) Al-Qur’an, Trensains hadir sebagai pesantren yang menalar Al-Qur’an.

Sebab itu, kemampuan bahasa Arab dan Inggris menjadi prasyarat dasar, selain para santri juga dituntut mempunyai kemampuan nalar matematik dan filsafat.

Para alumni SMA Trensains diproyeksikan menjadi ilmuwan sains kealaman, teknolog, dan dokter yang mempunyai basis Al-Qur’an yang kokoh. Jadi bukan agamawan yang paham sains, malainkan saintis muslim.

Sejak didirikan, SMA Trensains Tebuireng maupun Sragen menjadi perhatian banyak kalangan. Tidak hanya di kalangan pesantren, kalangan akademisi dan praktisi untuk mengkaji Trensains sebagai fenomena inovasi pesantren.

Baca Juga  Tahlilan itu Bagian dari Tradisi, bukan Syariat Islam

Hal ini terbukti dengan banyaknya permohonan studi banding maupun penelitian tesis (S-2) dan disertasi (S-3) baik dari universitas dalam maupun luar negeri di SMA Trensains Tebuireng.

Bagi Gus Pur, sang penggagas Trensains , seringkali menyebut Trensains bukan hanya sebagai modernisasi atau pembaruan pesantren, melainkan sebagai revolusi pesantren. Latar belakang Gus Solah yang belajar di bidang sains di ITB, tentu menjadi faktor pendorong mengapa Gus Solah mendirikan Trensains bersama Gus Pur.

Penggas Trensains, Gus Pur, pernah bercerita kepada penulis, bahwa dalam merintis pesantren sains Tebuireng tidaklah mudah. Terutama untuk meyakinkan berbagai pihak di Tebuireng. Banyak penolakan.

Menurut Abdul Mu’ti yang sempat bertanya bagaimana reaksi warga NU? Gus Solah menjawab, “Banyak yang menentang. Tapi saya jalan terus. Saya ingin belajar memajukan pendidikan dari intelektual Muhammadiyah”

Mendekatkan NU-Muhammadiyah

Gus Solah adalah jembatan Muhammadiyah dan NU. Dengan cara mendirikan Trensains sebagai bentuk konvergensi NU-Muhammadiyah. Peran Gus Solah dalam merekatkan kedua ormas terbesar di negeri ini tidak dapat dimungkiri begitu saja.

Karena Gus Solah merupakan sosok yang seringkali datang, berkomunikasi, dan bekerjasama dengan Muhammadiyah. Setidak-tidaknya, kapasitas beliau mewakili NU, sekalipun secara kultural. Gus Solah datang, berkomunikasi, dan bekerjasama dengan Muhammadiyah.

Misalnya saja pada saat Pilpres semakin memanas dan kondisi umat Islam saling berhadap-hadapan, Gus Solah memecah suasana dengan menawarkan kerjasama produktif antara NU (kultural) dengan Muhammadiyah.

Melalui Pondok Pesantren Tebuireng dan Universitas Muhammadiyah Surakarta, terjalin kerjasama penyelenggaraan Seminar Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari tentang “politisasi agama”. Tujuan seminar kerjasama ini untuk menggali pemikiran dan teladan politik dari kedua ulama dan tokoh nasional pendiri dua ormas terbesar di Indonesia.

Baca Juga  Anjar Nugroho: Bapak Paradigma IPM

Selain itu, Gus Solah terlibat dalam proses inisiasi pembuatan film Dua Ulama, yaitu KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, melalui Yayasan Tebuireng berkerjasama dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Lembaga Seni Budaya dan Olahraga yang dipimpin oleh KH. Syukriyanto AR. Tepat tanggal 02/02/2020 film ini di-launching, dan pada hari itu pula, beliau wafat.

Editor: Yahya FR
Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *