Kebijakan “merumahkan” pembelajaran di sekolah sebagai langkah antisipasi atas penyebaran Covid-19 memberikan implikasi yang luar biasa bagi sekolah, anak, orang tua, dan guru. Hal ini sekaligus mengingatkan kepada masyarakat betapa tanggung jawab pendidikan anak itu sesungguhnya ada pada keluarga (orang tua). Sekolah hanya membantu proses pembelajaran yang sesaat-sebentar, tidak selamanya. Kita pun perlu memahami betul istilah “guru rumahan” dan “guru murahan”.
Guru Murahan
Sekolah yang biasanya begitu penting didatangi setiap hari, kini ditinggalkan dan bahkan dihindari. Anak yang biasanya ke sekolah tiap hari, sejak pertengahan Maret 2020 berteriak-sorak ketika mereka “diliburkan” (meminjam bahasa mereka) dari pembelajaran di sekolah. Orang tua yang biasanya santuy tidak mikirin anaknya di sekolah, mendadak dangdut harus menjadi guru di rumah. Dialah sang guru rumahan, guru pertama sejak lahir dan guru yang asli.
Sementara itu, guru sekolah yang biasanya dengan mudah mengajar, mendidik, mengendalikan dan mendampingi peserta didiknya dalam mengerjakan tugas keseharian nya, kini harus bersusah payah mengontrol lewat smartphone-nya. Harus nambah pulsa pula. Mereka harus memakai aplikasi ZOOM yang boros dan belakangan ada yang menyadap dengan memasukkan gambar dan video porno. Pembelajaran online itu sangat tidak enak dan tidak leluasa. Tapi, begitulah kewajiban yang harus dilaksanakan.
Bukan hanya itu kendalanya. Saat pembelajaran online via WA dilakukan, ada saja siswa yang “sembunyi” dari grup. Tidak segera nongol. Naifnya, murid tidak boleh dikunjungi lagi. Tidak ada home visite oleh guru. Guru harus merogoh kocek dalam-dalam untuk pulsa.
Inilah nasib guru murahan. Disebut murahan bukan karena tidak memiliki kualitas dan kepribadian yang baik dan berkualitas. Murahan karena bayarannya yang memang murah, meski bisa mengantarkan peserta didiknya menembus SNMPTN, diterima kuliah beasiswa kedinasan, berhasil jadi polisi dan tentara, dan sebagainya.
Kesuksesan peserta didik cukup membahagiakan dirinya. Tidak pernah meminta (dan memang jarang sekali, untuk mengatakan tidak pernah, diberi oleh guru rumahan) imbalan atas jasanya mengantarkan kesuksesan siswanya.
Gaji yang Tidak Seberapa
Gaji guru murahan itu mengandalkan dana BOS dan BPOPP Jawa Timur (yang sekarang ketar-ketir dipotong untuk penanganan Covid-19). Malah, ada yang tidak digaji oleh yayasan penyelenggara, karena guru tersebut sudah dapat sertifikasi guru atau Tunjangan Profesi Guru. Jika dipikir-pikir “apa hubungannya gaji guru dan sertifikasi?”
Sekedar gambaran, di Sumenep hampir semua sekolah swasta tidak memungut SPP. Kalau pun ada mungkin 20 persen, kalau tidak malah 10 persennya saja. Sekolah seperti ini hanya mengandalkan dana BOS untuk menggaji guru dan karyawannya. Kalau BOS belum cair, jangan harap gaji akan cair. Gantungan mereka satu-satunya adalah keberkahan dari Ilahi Rabbi. Alhamdulillah, mereka dihidupi oleh Allah.
Namun, jangan lantas mengatakan, “Ah, mereka kan sudah dicukupi oleh Allah. semua kan sudah ada jalannya sendiri-sendiri.” Inilah “cibiran” khas masyarakat kapitalis. Kata seorang guru, “Kalau disuruh beli smartphone baru atau beli pulsa, langsung dipenuhi. Giliran bayar SPP, susah sekali.”
Sesekali guru murahan itu juga marah. Guru juga manusia. Mungkin asap dapur di rumahnya kurang begitu ngebul. Atau, mungkin tadi pagi, anaknya merengek minta sangu uang jajan sebelum berangkat ke sekolah. Sementara, uang di dompet jatahnya untuk beli laok tahu dan tempe ke pasar nanti.
Kadang ia mencubit siswanya untuk mengingatkan. Kasihan, keesokannya, guru rumahan datang dengan membawa polisi ke sekolah. Dan, lebih ngenes lagi, ada guru rumahan yang langsung melaporkan ke polisi tanpa konfirmasi tentang bagaimana kelakuan anaknya di sekolah.
Guru Rumahan
Menjadi guru rumahan akan terasa berat, jika selama ini ia tidak pernah ikut mendampingi anaknya belajar. Guru rumahan seperti ini biasanya hanya pasrah “bongkokan” kepada sekolah. Biasanya, ia hanya biasa protes ke sekolah jika ada masalah dengan anak-anaknya. Setelah diberi penjelasan dan kelakuan puteranya oleh guru murahan, ia akan sadar dan baru mengakui kesalahannya.
Guru rumahan seringkali tidak tahu kalau anaknya sering loncat pagar sekolah, sering berbohong kepada guru-gurunya. Saat diundang ke ruang BK mereka diberi pilihan oleh guru murahan, “Bagi kami, putera Bapak Ibu itu bohong atau tidak itu paling efeknya maksimal hanya tiga tahun. Tapi, kalau untuk Bapak Ibu akan dibohongi selama bertahun-tahun. Bisa sepanjang hayat. Silahkan Bapak Ibu pilih.”
Anda boleh cuek dengan keberadaan guru di sekolah. Mungkin karena sekarang adalah zaman di mana semua berjalan dengan dunianya sendiri. Menuntut ilmu tidak harus dengan hadirnya seorang guru. Seorang remaja bisa mencari tahu tentang apapun yang ia mau di ranah Mbah Google. Seorang guru bisa kalah dan jauh tertinggal.
Tetapi, yang tidak bisa tergantikan oleh kehadiran Mbah Google dan media IT yang lain adalah kehadiran seorang guru. Kata-kata yang diucapkan secara langsung dengan segala bahasa tubuhnya bisa menggugah semangat belajar seorang anak. Belaian kasih sayangnya menggetarkan hati anak yang bergejolak untuk selalu takdzim dan mengikuti dorongan kebaikan gurunya. Kehadiran dan tatap muka secara langsung menginspirasi keteladanan.
***
Pepatah Arab mengatakan, at-thariqah ahammu mina-l-maddah (metode pembelajaran itu lebih penting dari materi pembelajaran). Namun, al-mudarris (‘guru’) jauh lebih penting dari sekadar thariqah (‘metode’). Dan bukan sekedar guru, namun ruhu-l-mudarris (‘jiwa seorang guru’) itu yang jauh lebih penting lagi dari keduanya (metode dan guru itu sendiri).”
Editor: Nabhan