Pemimpin itu adalah dia yang ketika melihat umatnya masih diselimuti kecurigaan terhadap pengikut agama lain, dia tunjukkan ketulusan persahabatan dengan seorang Romo Katholik dan seorang perempuan Hindu. Dia ceritakan tentang suatu malam di sanggar Hindu di wilayah Bali Utara. Ketiganya menikmati heningnya malam sambil diskusi tentang makna wali atau santo atau orang suci.
Pemimpin itu adalah dia yang ketika melihat umatnya mudah dibakar api konflik karena ketidaktahuan, dia justru mengajak dengan tulus berbagai umat beragama untuk duduk bersama dan berdialog tentang apa yang selama ini hanya menjadi uneg-uneg di masing-masing kepala.
Dia membuktikan bahwa ketauhidan tak akan luruh hanya karena masuk ke sebuah gereja. Dia perintahkan para Banser untuk berjaga dengan seragam kebesarannya agar umat Nasrani merayakan Natal bisa bersuka cita.
Pemimpin itu adalah dia yang ketika melihat umatnya masih resah menerima keragamaan bangsa dan belum bisa keluar dari mitos superioritas lama, dia dengan tegas menyatakan menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam berbangsa dan bernegara. Dia tidak peduli dituduh para musuhnya bahwa langkahnya tidak lebih dari sekedar pragmatisme politik untuk mendapatkan jatah upah dari penguasa.
Dengan sangat tegas dia menyatakan, “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan, Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi umat Islam.”
Pemimpin itu adalah dia yang ketika melihat bangsanya bertikai hingga menyabung nyawa hanya karena sebuah nama dan bendera, dengan ringan dan tulus dia nyatakan, “Ya sudah sekarang ganti nama menjadi Papua. Bendera bintang kejora boleh dikibarkan asal merah putih ada di atasnya.”
Hingga kini, rakyat Papua mengenangnya sebagai seorang presiden yang mengembalikan nama Papua sebagai penghormatan atas jati diri dan martabat mereka. Dia juga dikenang karena di bawah kekuasaannya, operasi militer yang puluhan tahun menjadi batu loncatan para perwira untuk naik pangkat akhirnya dihentikan jua.
Pemimpin itu adalah dia yang ketika tahu ada sepasang suami istri yang diancam penjara hanya karena menikah menurut keyakinannya, tanpa mempedulikan kedudukan dan kehormatannya, dia datang sekedar untuk membelanya. Sehingga, pasangan itu tidak mampu berkata-kata karena saking terharu dan bahagianya.
Pemimpin itu adalah dia yang ketika ada satu etnis yang sekedar merayakan hari besarnya saja diancam dengan senjata dan penjara, dia menabrak seluruh tabu sejarah dengan mensahkan agama Khonghucu dan Imlek sebagai hari raya yang bisa dinikmati bersama. Hingga, fotonya kini terpajang di banyak Klenteng, yang dihormati umat Khonghucu sebagai salah satu foto leluhur pelindung.
Pemimpin itu adalah dia yang ketika tidak ada satu pun mulut yang berani untuk mengakui dosa-dosa sejarah terkait dengan pembantaian 1965, dia dengan ketulusan seorang penguasa memohon maaf kepada seluruh korban dan menyerukan rekonsiliasi. Sebuah langkah yang terlalu maju karena bahkan sampai kini pun bulan September selalu menjadi bulan pembodohan massal dan adu domba.
Sebagai presiden, tanpa ragu dia mencabut cap Eks Tapol di KTP orang-orang yang dianggap sebagai bagian atau keluarga dari kelompok komunis ’65. Sebuah cap yang menjadi pengabsah bagi rangkaian diskriminasi antar-generasi.
Pemimpin itu adalah dia yang ketika kekuasaan ada di tangannya, dia berikan dadanya untuk menjaga harta rakyatnya dari para perampok yang selama puluhan tahun menggarongnya.
Ketika kekuasaan sahnya hendak direbut para perampok-penyaru-politisi itu, dan rakyatnya datang berduyun-duyun bertekad mati untuknya, dia lambaikan tangannya menyuruh semuanya pulang ke rumah. Karena menurutnya, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang harus dipertahankan mati-matian, apalagi sampai menumpahkan darah orang Indonesia.”
Kita belajar keberanian seorang pemimpin dalam meluruskan gerak sejarah itu dari seorang Gus Dur. Kita belajar apa itu kepemimpinan dari seorang pria yang biasa dipanggil Gus Dur. Kita belajar seluruh kemuliaan seorang pemimpin itu dari Gus Dur.
Darinya kita tahu bahwa bukanlah seorang pemimpin, dia yang hanya karena tepukan tangan menjadi mabuk seakan-akan dia adalah nabi akhir zaman. Bukan seorang pemimpin, dia yang memuja nafsunya dengan membiarkan mulut para pengikutnya dipenuhi makian kebencian. Dan, bukan seorang pemimpin, dia yang merasa bahwa dirinya layak diberi persembahan nyawa manusia.
Pemimpin itu mengarahkan, bukan merpati yang meliuk-liuk karenan mabuk tepukan. Pemimpin itu menjadi teladan kemuliaan, bukan malah turut mendendangkan makian. Pemimpin itu mencegah pertumpahan darah, bukan malah mendorong pengikutnya untuk meregang nyawa.
Selengkapnya baca disini