Feature

Gus Dur, Istana, dan Celana Kolor

3 Mins read

Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, adalah sosok yang tak pernah lepas dari kontroversi dan kebijaksanaan. Selama masa jabatannya sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia, Gus Dur dikenal sebagai pemimpin yang penuh dengan pemikiran yang maju dan keberanian untuk melawan arus.

Namun, salah satu momen yang paling dikenang dan diperdebatkan dalam sejarah kepemimpinannya adalah ketika ia dilengserkan dari jabatannya, dan kisah terkait dengan celana kolor di Istana Negara menambah lapisan lain dalam narasi ini.

Gus Dur menjabat sebagai presiden pada masa yang penuh dengan gejolak politik dan sosial. Reformasi yang baru saja bergulir membawa harapan besar, tetapi juga ketidakpastian yang tinggi. Gus Dur diangkat sebagai presiden dengan harapan mampu menyatukan berbagai elemen bangsa yang terpecah, tetapi ia segera menghadapi berbagai tantangan, termasuk konflik dengan parlemen dan krisis kepercayaan dari beberapa kalangan politik.

***

Pada akhirnya Gus Dur pun dilengserkan melalui Sidang Istimewa (SI) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada 23 Juli 2001. Momen ini tercatat dalam sejarah politik Indonesia. Momen tersebut tidak hanya mengakhiri masa jabatan Gus Dur sebagai presiden, tetapi juga menandai titik balik yang penting dalam dinamika politik nasional. Sidang Istimewa tersebut diadakan di tengah ketegangan politik yang tinggi, di mana Gus Dur berhadapan dengan parlemen yang menilai kepemimpinannya tidak lagi dapat diterima.

Sebelum berlangsungnya Sidang Istimewa tersebut, Gus Dur telah mengeluarkan sebuah dekrit presiden yang berisi pernyataan penolakan terhadap langkah-langkah parlemen yang dianggapnya inkonstitusional. Dekrit ini bukanlah sebuah langkah yang diambil untuk mempertahankan kekuasaan semata, melainkan sebuah perlawanan terhadap apa yang dianggap Gus Dur sebagai ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi negara.

Baca Juga  Prabu Basukarno, Gus Dur, dan Panduan Etis Menghadapi Politisasi Identitas

Menurut nu.or.id, perlawanan Gus Dur melalui dekrit tersebut adalah bentuk penegasan atas keyakinannya terhadap supremasi hukum dan konstitusi. Gus Dur meyakini bahwa upaya parlemen dalam menggulingkan dirinya tidak sesuai dengan prosedur konstitusional yang seharusnya. Oleh karena itu, ia merasa perlu untuk mengeluarkan dekrit tersebut sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk menjaga keutuhan dan kehormatan sistem kenegaraan, bukan sekadar mempertahankan jabatannya sebagai presiden.

***

Malam itu, 23 Juli 2001, menjadi salah satu momen yang paling diingat dalam sejarah politik Indonesia. Di tengah ketegangan politik yang memuncak, publik disuguhi pemandangan yang tak biasa: Presiden Republik Indonesia saat itu, Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, muncul dari Istana Merdeka dengan pakaian yang jauh dari kesan formal. Ia mengenakan celana kolor dan kaus berkerah, sebuah pemandangan yang mungkin tidak pernah terbayangkan akan terlihat di Istana Negara.

Gus Dur, yang saat itu baru saja dilengserkan dari jabatannya melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tetap menunjukkan ketenangan dan senyum khasnya. Didampingi oleh putrinya, Yenny Wahid, dan beberapa pegawai Istana, Gus Dur melangkah keluar dari Istana Merdeka dengan anggun. Ia melambaikan tangan ke arah ribuan pendukungnya yang telah menyemut di depan Istana, memberikan penghormatan terakhirnya sebagai presiden.

Ketika muncul dari Istana Merdeka dengan mengenakan celana pendek atau celana kolor pada malam pelengserannya, ia seolah menyampaikan pesan yang lebih dalam dari sekadar penampilan. Bagi banyak orang, tindakannya mungkin dianggap sebagai bentuk ketidakpatutan atau bahkan pelecehan terhadap institusi kepresidenan. Namun, bagi Gus Dur, substansi yang terkandung di balik tindakan tersebut jauh lebih penting daripada sekadar menjaga harga diri sebuah simbol atau atribut.

Baca Juga  Kalau Sudah Tak Mampu, Mundur Saja Mas Menteri!

***

Dengan celana kolor, Gus Dur seolah ingin menunjukkan bahwa ada hal-hal yang lebih esensial daripada penampilan luar atau formalitas kenegaraan. Tindakannya, yang mungkin terlihat sederhana, justru mampu mengalihkan perhatian dan meredakan kemarahan para simpatisannya. Di saat yang penuh emosi dan ketegangan, sikap Gus Dur yang santai dan ‘tidak terduga’ menjadi cara yang efektif untuk menenangkan suasana.

Gus Dur memahami bahwa simbolisme kekuasaan sering kali dijunjung tinggi dalam politik, tetapi ia juga sadar bahwa kekuasaan yang sejati tidak terletak pada atribut-atribut tersebut. Dengan tampil apa adanya, Gus Dur menunjukkan bahwa inti dari kepemimpinan adalah ketulusan, keberanian, dan kemampuan untuk tetap fokus pada nilai-nilai yang lebih besar daripada sekadar menjaga formalitas atau tampilan luar.

Dalam retrospeksi, tindakan Gus Dur ini dikenang sebagai salah satu momen yang paling menggambarkan karakternya. Seorang pemimpin yang selalu menempatkan kemanusiaan di atas formalitas, yang berani melawan arus, dan yang tidak pernah takut untuk menunjukkan sisi kemanusiaannya, bahkan ketika menghadapi tantangan yang paling besar.

Kesederhanaan, keteguhan prinsip, dan keberanian untuk menantang status quo adalah beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah ini. Gus Dur menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati tidak hanya dinilai dari apa yang ia kenakan atau dari jabatan yang ia pegang, tetapi dari nilai-nilai yang ia perjuangkan dan bagaimana ia memperlakukan orang lain, terlepas dari situasi yang ia hadapi.

Editor: Soleh

Ibnu Fikri Ghozali
13 posts

About author
Mahasiswa International Islamic University Islamabad, Pakistan Sekarang Aktif di PCINU Pakistan
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds