Perhelatan muktamar Nahdlatul Ulama (NU), salah satu ormas terbesar di Indonesia, selalu menarik perhatian banyak pihak.
Setiap ajang pemilihan Rais Aam dan Ketua Tanfidziyah ini memang selalu diniatkan untuk memperbaiki PBNU ke depan, dan bagaimana menjaga marwahnya agar tetap terlibat dalam urusan keagamaan dan kebangsaan di Tanah Air.
Ada sejumlah nama yang sudah beredar dan disebut-sebut berpeluang menjadi kandidat Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah menjelang Muktamar NU ke-34 di Lampung pada Desember nanti.
Di antaranya KH Said Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU sekarang), Hasan Mutawakkil Alallah (Ketua PWNU Jawa Timur), KH Marzuki Mustamar (Ketua PWNU Jawa Timur), Yahya Cholil Staquf (Katib Aam PBNU), Marsudi Syuhud (Ketua NU), Bahaudin Nursalim (Gus Baha), sampai Nadirsyah Hosen (Gus Nadir).
Mengenal Sosok Gus Nadirsyah
Dari sekian banyak nama yang disodorkan, ada sosok Gus Nadirsyah Hosen yang mungkin menarik perhatian, terutama karena idenya tentang kemandirian NU.
Saya tak kenal dekat dengan Gus Nadir, bertemu langsung pun belum pernah. Hanya mengenalnya lewat karya-karyanya (buku-buku, artikel, meme, ataupun ceramahnya di Youtube) yang sering saya rujuk saja.
Dan, kebetulan juga, saya adalah NU kultural (kalau boleh dibilang begitu), sebab secara ubudiyah saya dan keluarga besar selalu menjadikan tradisi NU sebagai rujukan dalam ibadah keseharian.
Selain itu, mungkin karena aktif bermain media sosial, saya sering juga mendapati postingan atau cuitan Gus Nadir tentang isu-isu keagamaan-kebangsaan aktual yang bertebaran di jagat maya.
Karenanya, bagi saya, boleh dibilang Gus Nadir termasuk tokoh muda NU yang paling rajin mengkonter isu-isu khilafah yang sering diwacanakan kalangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan para pendukungnya.
Bahkan, dua buku bunga rampai Gus Nadir tentang “Islam Yes, Khilafah No!”, konon, laku keras, dicetak berulang-ulang, dan menjadi rujukan para pembaca yang ingin tahu lebih mendalam soal isu khilafah ini.
Gus Nadir: Sosok yang Dekat dengan Media Sosial
Sebagai orang yang berada di struktur PBNU, tepatnya sebagai Ra’is Syuriah, pengurus cabang istimewa (PCI) NU di Australia dan Selandia Baru (sejak 2005), Gus Nadir layak menjadi contoh kiai muda yang terjun ke lapangan medsos yang penuh liku dan tantangan.
Walau kegiatan utamanya sebagai profesor dan akademisi, dan aktivitas lainnya di Monash University bisa dipastikan tak sedikit. Tentu ada banyak kiai yang sekarang ikut meramaikan jagat maya sembari mengedukasi masyarakat.
Ke depan harus lebih banyak lagi nasihat, gagasan, pemikiran kiai-kiai NU dan kader-kadernya yang disebar di jagat maya. Jelas ini pertanda baik, apalagi mengingat kelompok sebelah, mereka yg pro-khilafah dan sejenisnya, juga intens dan aktif di jagat maya sejak lama.
Gus Nadir dan Kemandirian NU
Kembali ke topik utama, yakni tentang kemandirian NU. Menurut saya, tulisan Gus Nadir berjudul “Kemandirian Dana Muktamar NU” beberapa hari lalu yang saya baca lewat WA yang mampir ke nomor saya itu menarik untuk dicermati dan ditindaklanjuti. Mengapa demikian?
Soal dana ini, saya kira, memang menjadi problem maha penting semua organisasi kemasyarakatan (ormas) di mana pun. Sulit dibantah, dana menjadi faktor penting dan utama bagi lancar atau tidaknya sebuah perhelatan acara, apalagi yang hajatnya sangat besar seperti Muktamar NU.
Kemandirian dana ini pasti akan berdampak pada “berkualitas, bermartabat dan bermanfaat”-nya pelaksanaan Muktamar NU. Kalau tidak diantisipasi sejak dini, perkara fulus ini bakal menjadi titik rawan intervensi pihak luar terhadap para peserta muktamar, dan itu berarti dengan sendirinya bakal mencederai independensi Muktamar NU.
Karena itu, ide Gus Nadir untuk menggalakkan kembali “Koin Muktamar NU” yang dulu pernah dilakukan menjelang Muktamar 2019-2020 (yang tertunda karena pandemi Covid-19) penting diperhatikan.
Dana yang terkumpul langsung, jika dilakukan secara masif, bisa digunakan untuk mendanai pelaksanaan acara dan akomodasi peserta selama hajatan besar digelar.
Dengan demikian, intervensi pihak luar—apakah penguasa atau pengusaha atau gabungan keduanya—bisa disaring dan dihindari.
Bukan rahasia lagi, sebagai organisasi terbesar di negeri ini, NU itu ibarat bidadari, sungguh memikat orang untuk ikut “berkontribusi” agar pelaksanaan acara lancar dan mulus. “Kontribusi” inilah yang dikhawatirkan akan menjadi pintu masuk politik uang ke para muktamirin nanti.
Khawatir NU akan Disusupi
Sebagai warga biasa yang kerap menjadikan para Kiai dan Masyayikh NU sebagai rujukan, tentu saya pribadi akan sangat sedih kalau perhelatan akbar yang diniatkan untuk kepentingan umat dan bangsa ini kelak disusupi “gizi politik” semacam itu.
Pengurus PBNU ke depan akan ditakar begitu rendah harganya jika tak mampu mandiri dan membiarkan para pihak-pihak luar yang berkepentingan politik ikut berlenggang di arena Muktamar.
Semoga Pengurus PBNU hasil Muktamar 2021 benar-benar orang-orang yang mampu menjaga marwah NU saat ini dan di masa datang.
Editor: Yahya FR