Tarikh

Boedi Oetomo dan Muhammadiyah: Pelopor Nasionalisme Indonesia

5 Mins read

Sejak pembentukan organisasi Boedi Oetomo (BO), kaum intelektual bumiputra mulai tergugah. Kesadaran “nasionalisme” mulai tumbuh sejak mereka berinteraksi dengan bangsa-bangsa yang lain, sehingga terbentuklah suatu gagasan tentang pandangan hidup, nasib kaum bumiputra, dan kehidupan masa depan.

Pertemuan-pertemuan diskusi di antara mahasiswa-mahasiswa di Weltevreden (STOVIA), Bandung, Probolinggo, dan Magelang (OSVIA) melahirkan kesadaran baru akan nasib dan masa depan kaum bumiputra di bawah sistem kolonialisme Belanda. Dari sinilah embrio nasionalisme terbentuk lewat segelintir kaum intelektual bumiputra yang pernah mengenyam pendidikan model Barat.

Kelahiran Boedi Oetomo

Pertama kali digagas, Boedi Oetomo (BO) belum memiliki nama resmi. Namun, dasar pemikiran untuk melahirkan sebuah organisasi sudah terbentuk. Ketika Wahidin Sudirohusodo mempresentasikan gagasannya di depan para mahasiswa STOVIA, secara spontan Soetomo berkomentar, “Punika satunggaling pandamelan sae sarta nelakaken budi utami” (Ini merupakan perbuatan baik serta mencerminkan keluhuran budi).

Soeradji, salah seorang mahasiswa STOVIA yang menjadi salah satu dari sembilan pemuda perintis BO, langsung menggunakan dua kata terakhir yang diucapkan Soetomo untuk memberi nama organisasi tersebut.     

Boedi Oetomo dideklarasikan di aula kampus STOVIA pada hari Rabu sekitar pukul 09.00 WIB tanggal 20 Mei 1908. Struktur pertama menempatkan sosok Soetomo sebagai ketua dengan wakilnya Soelaeman.

Jabatan sekretaris I dipegang oleh Soewarno, sedangkan sekretaris II dipegang oleh Goenawan Mangoenkoesoemo. Sedangkan jabatan bendahara dipegang oleh Angka Prodjosoedirdjo. Empat tokoh yang lain, yakni M. Soewarno, M. Moehammad Saleh, Soeradji, dan Goembreg, menduduki posisi sebagai komisaris. 

Tujuan Boedi Oetomo, sebagaimana diutarakan Soewarno dalam surat kabar De Locomotief (24 Juli 1908), adalah sebagai berikut: “Meringankan beban perjuangan hidup bangsa Jawa melalui perkembangan yang harmonis dan kerohanian.”

Kongres Pertama Boedi Oetomo dan Kelahiran Pergerakan Nasional

Kongres pertama Boedi Oetomo diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908.  Wahidin Soedirohoesodo dipercaya sebagai ketua panitia kongres.

Dalam kongres tersebut, Wahidin mengungkapkan pendapatnya tentang pentingnya kaum bumiputra, khususnya para priyayi Jawa, mendapat pendidikan model Barat. Perdebatan dalam kongres akhirnya mengerucut antara perlu tidaknya kaum bumiputra mendapat pendidikan gaya Barat. 

Baca Juga  Posisi Hadis Mauquf, Mursal, dan Daif bagi Muhammadiyah

Meskipun bukan organisasi bumiputra pertama, tetapi Boedi Oetomo telah memainkan peran sosial-politik yang cukup signifikan dalam sejarah kebangkitan nasional. Gerakan-gerakan nasional pasca kelahiran BO bersifat modern, mengutamakan pemberdayaan masyarakat bumiputra, dan diselenggarakan oleh kaum terpelajar.

Kelahiran organisasi Muhammadiyah yang secara tidak langsung terinspirasi oleh gerakan Boedi Oetomo, kemunculan Sarekat Islam, Insulinde, Indische Partij, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), Korps Arbeidsleger (Tentara Buruh), Taman Siswa, Kongres Perempuan, Princess Bond, Wal Fajri, ‘Aisyiyah, dan organisasi-organisasi lain di Yogyakarta pada awal abad 20 merupakan model-model baru pergerakan nasional dengan karakternya masing-masing.

Organisasi-organisasi tersebut dibentuk secara modern dengan struktur pengurus terdiri dari kalangan kaum terpelajar lulusan sekolah-sekolah kolonial. Masing-masing memiliki konsep atau gagasan yang berbeda tentang nasionalisme bumiputra.

Wahidin Sudirohusodo dan KH. Ahmad Dahlan

Sosok Wahidin Sudirohusodo, tokoh yang membidani kelahiran BO, adalah penganut gerakan teosofi. Sebagai priyayi Jawa, Wahidin merasa prihatin atas kondisi kaumnya yang hidup terbelakang.

Dalam pengamatannya, sebab-sebab kemunduran bangsa Jawa akibat kolonialisme dan faktor kedatangan Islam di tanah Jawa.  Dengan demikian, Wahidin memandang Islam sebagai sumber kemunduran bangsa Jawa.

Beruntunglah Wahidin dapat bertemu dengan seorang khatib Masjid Besar Yogyakarta yang dikenal sangat modernis. Sang khatib mampu mengenalkan ajaran Islam dan tata cara hidup islami secara modern. Khatib tersebut adalah KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Ketika kantor BO pindah ke Yogyakarta, KH. Ahmad Dahlan tertarik untuk masuk dalam organisasi ini. Akan tetapi, sang khatib ini tidak memiliki relasi dengan jajaran pengurus organisasi ini.

Setelah melihat sepak terjang pengurus BO, KH. Ahmad Dahlan terinspirasi untuk mendirikan sebuah perkumpulan umat Islam, tetapi dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Atas jasa Mas Djojosoemarto, pendiri Muhammadiyah ini mendapat undangan untuk mengikuti perkumpulan yang diselenggarakan oleh BO.

Pertama kali bertemu Wahidin Soediro Hoesodo, KH. Ahmad Dahlan memberikan pandangan-pandangannya tentang umat Islam. Wahidin kemudian memberikan apresiasi positif karena pandangan keagamaan sang khatib cukup modernis.

Bahkan, KH. Ahmad Dahlan diberikan kesempatan untuk mengisi pengajian agama di Kweekschool Jetis. Hubungan harmonis antara pendiri Muhammadiyah ini dengan pengurus BO cabang Yogyakarta telah mengantarkannya menjadi seorang tenaga pengajar di OSVIA Magelang.

Baca Juga  Heboh Haram Wisata ke Borobudur, Muhammadiyah: Wisata Itu Mubah

KH. Ahmad Dahlan tidak hanya dekat dengan Wahidin Sudirohusodo, tetapi juga akrab dengan jajaran pengurus BO yang lain, seperti M. Ng. Dwidjosewojo dan R. Soesrosoegondo. Dwidjosewojo yang menjabat sebagai sekretaris I BO memberikan dukungan kepada KH. Ahmad Dahlan untuk membentuk sebuah perkumpulan Islam.

Soesrosoegondo juga memberikan dukungan kepada sang khatib, bahkan dialah yang merancang draf statuten (anggaran dasar) Muhammadiyah. Bentuk dukungan Soesrosoegondo bukan hanya sebatas membuatkan draf statuten Muhammadiyah, tetapi dia juga bergabung dalam Muhammadiyah mengurusi Bagian Sekolahan. 

Berdirinya Muhammadiyah

Dengan didukung oleh pemuda-pemuda Kauman dan beberapa anggota BO, KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah perkumpulan yang kemudian dikenal dengan nama “Muhammadiyah.”

Nama Muhammadiyah dipilih sebagai bentuk penisbatan kepada Nabi Akhir Zaman, Muhammad saw, sehingga dapat diartikan perkumpulan ini mengikuti “Jalan Muhammad.”  Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 18 November 1912 Masehi atau 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah.

KH. Ahmad Dahlan meminta bantuan pengurus BO untuk mengajukan rechtspersoon (badan hukum) atas nama Muhammadiyah kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sebelumnya, sang khatib harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan BO.

Raden Mas Boedihardjo dan Raden Dwidjosewojo bersedia mengurus proses legalisasi perkumpulan tersebut jika didukung oleh minimal tujuh orang. Mereka juga harus menjadi anggota BO terlebih dahulu.

Para pemuda Kauman yang telah menjadi murid-murid KH. Ahmad Dahlan menyatakan bersedia menjadi anggota organisasi ini agar dapat membantu meluluskan rechtspersoon pendirian Muhammadiyah.

Ketujuh pemuda Kauman tersebut adalah: R.H. Sjarkawi, H. Abdoelgani, H. Sjuja’, H. Hisjam, H. Fachrodin, H. Tamim, dan KH. Ahmad Dahlan sendiri. Dengan ikhlas, murid-murid Khatib Amin bersedia membayar iuran anggota BO sebesar f. 0,25 tiap bulan.

Dibutuhkan sekitar 20 bulan bagi pemerintah kolonial untuk mengeluarkan rechtspersoon Muhammadiyah. Ketika Statuten Muhammadiyah (versi draf pertama) diajukan, disebutkan pada artikel 2, 4, dan 7 bahwa wilayah gerak dan sasaran organisasi meliputi “Jawa dan Madura.”

Baca Juga  Sisi Lain Islam Madura yang Harus Kamu Ketahui

Pada 15 Juni 1914, dalam rapat anggota Muhammadiyah, diputuskan untuk mengubah ruang lingkup perkumpulan ini, yang sebelumnya bergerak di “Jawa dan Madura”, menjadi hanya bergerak di lingkungan ”Residensi Yogyakarta” saja.

Proses surat menyurat selama 20 bulan inilah yang kemudian menghasilkan besluit (surat keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914. Pada tahun 1914, dalam statuten Muhammadiyah kedua (1914), ruang lingkup gerakan Muhammadiyah sudah meliputi seluruh tanah “Hindia-Nederland.”  Keanggotaan Muhammadiyah sudah semakin luas, karena mencakup umat Islam di Hindia-Nederland.

Perintis Muhammadiyah Anggota BO

Ketujuh tokoh perintis Muhammadiyah adalah anggota BO yang memiliki latar belakang pendidikan berbeda-beda. KH. Ahmad Dahlan, sekalipun tidak pernah mengenyam pendidikan model Belanda, tetapi dia berperan sebagai guru etika di Kweekschool Jetis dan OSVIA Magelang.

Kedua lembaga pendidikan ini milik pemerintah kolonial Belanda. R.H. Sjarkawi dikenal sebagai seorang anemer (insinyur) lulusan pendidikan kolonial. H. Hisyam, sekalipun lulusan pondok pesantren, tetapi dia pernah menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda di Magelang. Selebihnya, H. Abdoelgani, H. Sjuja’, H. Fachrodin, dan H. Tamim adalah lulusan pesantren.

Perubahan struktur Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pada tahun 1918 telah mengubah wajah gerakan Islam modernis ini secara radikal. Masuknya kaum intelektual bumiputra lulusan sekolah kolonial, seperti M. Ng. Djojosoegito, Moh. Hoesni, Singgih, R.M. Prawirowiworo, dan R. Sosrosoegondo,  telah membawa Muhammadiyah setara dengan gerakan-gerakan bumiputra lainnya, seperti BO, SI, dan lain-lain.

Tujuan Muhammadiyah, sebagaimana dalam statuten tahun 1912, disebutkan: ”(a) menyebarkan pengajaran Igama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan (b) memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”

Adapun rumusan tujuan Muhammadiyah sejak tahun 1914 adalah: “(a) Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan; (b) memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya.” 

Dari konsep tersebut lahirlah paham “Islam Berkemajuan” yang menjadi gagasan mainstream pada waktu itu.

Editor: Yahya FR

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *