Feature

Habib Bukanlah Nabi, Apalagi Tuhan!

4 Mins read

Dalam tulisan ini, saya sama sekali tidak memiliki niat untuk mencemarkan nama baik suatu golongan atau seseorang. Tulisan ini hanya sekedar kegelisahan atau keresahan saya terhadap fenomena habib di Indonesia ini. Saya berpesan untuk pembaca yang memiliki rasa baper alias bawa perasaan, agar tidak membaca tulisan berikut. Okey.

Sebagai warga Indonesia, kita mungkin tidak asing lagi dengan sebutan habib. Yaps, di Indonesia sebutan habib kerap kali disebutkan untuk orang yang memiliki paras orang Arab atau hidungmya mancung. Siapa saja yang memiliki wajah Arab, bagi sebagian orang awam menganggap mereka itu habib.

Secara bahasa, kata habib bermakna kekasih. Jadi semua semua orang yang kita kasihi atau sayangi dapat kita panggil habib. Pada zaman dahulu, habib bukanlah suatu gelar yang diberikan untuk anak cucu nabi Muhammad. Seiring berjalannya waktu, karena banyaknya cucu nabi yang dicintai oleh masyarakat terutama umat muslim, dengan demikian muncullah sebutan habib bagi laki-laki, hababah atau syarifah bagi perempuan.

Sebutan atau gelar habib sama seperti halnya sebutan popular lainnya. Contohnya adalah orang yang sering bekerja dengan raja diberi nama Raden, yang tinggal di keraton dan mengabdi di dalamnya, disebut Abdi Dalem. Orang yang menjaga presiden disebut Paspampres. Panggilan-panggilan tersebut merupakan suatu penghormatan.

Suatu saat seseorang bertanya kepada Habib Novel tentang apa kriteria menjadi seorang habib. Beliau kemudian menjawab bahwa, “Siapa aja boleh dipanggil habib, karena habib merupakan orang yang dicintai”. Karena semua orang berhak untuk mencintai maupun dicintai oleh siapapun. Habib Novel melanjutkan bahwa kriteria menjadi seorang habib adalah ia memiliki nasab yang terhubung ke Nabi Muhammad SAW melalui jalur ayahnya.

***

Semua orang boleh dipanggil dirinya habib, akan tetapi masalahnya adalah habibnya siapa, nasab yang ia miliki itu dari siapa dan tersambung ke siapa. Karena sesuai dengan istilah yang telah terkenal bahwa habib merupakan seorang yang memiliki darah daging Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Baiklah penjelasan di atas bukanlah inti dari tulisan saya ini.

Baca Juga  Kita Boleh Terluka, Tapi Jangan Pernah Patah

Ada sebuah kejadian yang ganjal dalam benak saya dan pastinya membuat saya berpikir panjang. Sebelumnya saya mohon maaf, saya akan bercerita sedikit tentag pengalaman saya. Saat itu saya mengikuti acara Haul Habib di Solo yang berpusat di masjid Riyadh daerah Semanggi.

Acara ini merupakan peringatan wafatnya Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi. Beliau merupakan ulama dari Hadhramaut, Yamam. Ia sangat disegani oleh pengikutnya terutama di Indonesia. Tak tanggung-tangung, dalam haul tersebut ribuan bahkan ratusan ribu orang datang ke Solo untuk memperingatinya.

Saat itu, saya bersama teman berkeliling untuk melihat di setiap sudut area haul. Di sekitaran jalan raya ada yang mejual aksesoris Islam, ada yang menjual makanan dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, saya pada saat itu juga memiliki niat untuk memasuki masjid Riyadh. Saya melihat para hadirin pada saat itu keluar masuk area masjid entah apa tujuannya.

Mereka rela mengantri hingga desak-desakkan demi bisa masuk ke area masjid tersebut. Itulah alasan saya mengapa ingin masuk untuk melihat langsung ada apa sih yang ada di dalam masjid tersebut. Ada hadirin yang masuk lewat pintu biasa yang bisa masuk harus mengantri dulu, ada juga pintu khusus, bisa dibilang pintu VIP kali yak.

Pintu yang hanya bisa dimasuki oleh orang tertentu saja, mungkin bagi orang yang memiliki duit banyak atau orang-orang yang memiliki nasab terkenal disitu, hehehe, nggak lah, nggak usah dibawa hati ya. Mereka memiliki orang dalam lah intinya begitu (mungkin).

***

Tapi apalah daya saya saat itu. Mau ngantri tapi antriannya sampai ribuan, mau masuk melalui pintu khusus saya bukan siapa-siapa. Saat itu saya pasrah kalau tidak bisa masuk. Karena merasa kelaparan, saya dan teman kemudian mecari tempat singgah untuk melepas rasa lapar dan dahaga.

Baca Juga  Kiat Membangun Sikap Optimis ala Muslim Milenial

Saya mendapat sebuah kedai susu yang sangat penuh akan pengunjung, dan akhirnya saya memutuskan untuk berhenti sejenak di kedai tersebut. Selang beberapa saat saya di kedai, mulailah masuk beberapa gerombolan jamaah yang kebetulan mereka juga hadirin dari haul tersebut. 1 kelompok mungkin memiliki 7-8 orang lah. 1 orang memiliki paras Arab dan yang lainnya asli paras Indonesia.

Sambil meminum seteguk susu, saya diam-diam mendengarkan pembicaraan hangat mereka. Dari logatnya sih, saya yakin mereka itu asli Betawi. Di akhir pembicaraan sebelum mereka bubar, ada pemandangan yang tak asing saya lihat dan secara tidak sengaja saya pun merekamnya. Salah satu dari orang Indonesia tadi mendatangi orang yang dianggap mereka habib tersebut dan mereka berbisik sambil menunjuk ke sebuah botol yang berisikan air minum.

Tak lama berbisik, si paras Arab kemudian mendoakan dan meniup-niup air tersebut lalu diminumnya seteguk atau dua teguk. Dan pada akhirnya dikembalikan kembali ke perwakilan paras Indonesia tersebut.

Hal yang membuat saya heran dan gelisah adalah, apa tujuan mereka meminta doa atau meminta berkah dari sebuah minuman? Apa mereka merupakan orang-orang soleh atau keturan Nabi? Okelah lah ya kalau mereka orang-orang soleh atau habib. Pertanyaan selanjutnya adalah dari mana mereka mengetahui secara pasti bahwa si rupa Arab itu orang soleh atau habib? Bagaimana kalau ia berpura-pura atau mengaku diri habib dengan bermodal wajah arab doang?

Bagi saya, hal di atas kurang pantas dilakukan oleh seorang awam yang meberlakukan seseorang sangat mulia tanpa mengetahui terlebih dahulu latar belakangnya. Saya pernah membaca bahwasanya para sahabat terdahulu meyakini bahwa mengambil berkah hanya berlaku kepada Nabi saja.

***

Saya teringat video yang saya tonton di YouTube tahun 2019 lalu. Seorang pemuda Gorontalo yang bersumpah di atas Al-Qur’an bersama satu orang lainnya yang entah dari mana, saya lupa. Mereka berdua berani-beraninya bersumpah di atas Al-Qur’an demi membuktikan bahwa mereka berdua adalah habib atau memiliki ketururunan langsung dari Nabi Muhammad.

Baca Juga  Sukidi Mulyadi, Doktor Lulusan Harvard yang Zuhud dan Takut Medsos

Dan pada akhirnya, kedua orang tersebut hanyalah habib gadungan yang terbukti tidak memiliki garis keturunan langsung Nabi. Saat itu saya sangat geram meilihat mereka yang sangat berani bersumpah di atas Al-Qur’an sampai rela su’ul khotimah apabila salah satu dari mereka berbohong. Hadehhh, ada-ada aja ya kelakuan keduanya.

Ada lagi yang membuat saya gelisah kepada orang-orang yang mengaku dirinya habib. Mereka tidak memperlihatkan esensi maupun eksistensi dari habib sebenarnya. Yang mereka lakukan bahkan jauh dari kepantasan orang yang dipanggil habib. Mereka seharusnya dicintai oleh kaum muslimin karena akhlaknya yang baik, tutur katanya yang sopan.

Bukan malah sebaliknya, mereka tak bisa mejaga lisannya dari kata-kata yang tak pantas, mencemarkan nama baik seseorang. Hei kalian habibers, saya tidak memaksa kalian buat memuliakan habib, saya pribadi justru sangat mencintai, mengahargai bahkan memuliakan habib. Saya hanya memberi saran buat kalian agar memikir terlebih dahulu siapa sih orang yang kalian muliakan itu.

Ada lagi fenomena yang membuat saya resah. Saya pernah melihat beberapa orang mencium kaki seseorang habib, seakan mereka bersujud kepadanya. Segitunya kah bro? Hey, kalau mau cium kaki itu, cium kaki ibumu itu. Ia surgamu yang sangat mudah kau dapatkan yang kau lupakan selama ini. Hey, kalau mau sujud itu ke Tuhan (Allah), dengan cara shalat itu sudah cukup buat mendapatkan ridho Allah.

***

Inti dari tulisan ini adalah saya hanya bisa memberi sedikit saran. Kita boleh saja memuliakan para cucu nabi, karena itu merupakan praktik sahabat pada zaman dahulu. Akan tetapi jangan berlebihan untuk memuliakannya. Karena kehidupan kita tak cukup hanya memuliakan habib saja, masih banyak orang yang mesti kita muliakan. Carilah habib yang memiliki akhlak yang baik dari perbuatan maupun ucapan.

Wallahua’lam Bisshowab.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
-Pondok Pesantren Al-Ikhlas, Sumbawa. -Universitas Muhammadiyah Surakarta jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds