Inspiring

Habib Husein: Manusia Modern Krisis Kesadaran Eksistensi Atas Ruang dan Waktu

4 Mins read

Setiap zaman selalu mempunyai masalahnya masing-masing, baik itu dari sisi politik, ekonomi, maupun agama. Semuanya selalu bertumpu pada bagaimana ihwal kemanusiaan dapat dicapai. Demikian pula di zaman modern ini, manusia modern dihadapkan dengan masalah yang serupa.

Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya berjudul “Islam dan Nestapa Manusia Modern”, menyatakan bahwa masalah manusia modern adalah hilangnya kesadaran mereka atas eksistensinya sendiri akibat corak kehidupan modern yang cenderung positivistik dan materialistik.

Manusia Krisis Kesadaran Eksistensi

Corak kehidupan modern tersebut secara sederhana dapat dimengerti dalam bentuk gaya hidup manusia hari-hari ini, seperti maraknya perilaku konsumtif, narsistik, dan hedonistik. Kalau dicermati, semua itu sebenarnya berakar dari andaian bahwa kehidupan hanya bisa dijalani jika bersumber dari hal-hal yang tampak dan di luar diri. Terlebih lagi, secara tidak langsung bentuk permasalahan modern tersebut menganggap manusia bukan lagi sebagai subjek, melainkan berbalik menjadi objek dari zamannya.

Hal itu yang akhirnya memantik para ahli menggaungkan wacana-wacana edukasi, baik dalam bentuk tulisan maupun video untuk meng-counter penyakit manusia modern. Dari sekian banyak ahli, nama Husein Ja’far Al-Hadar, atau kerap disebut Habib Husein dari komunitas pemuda tersesat adalah salah satunya.

Wacana yang digaungkan oleh beliau baru-baru ini tersemat pada video di kanal YouTube Gita Wirjawan berjudul “Habib Ja’far: Enigma Waktu, Tanda Kesadaran, Memaknai Eksistensi”.

Dari serangkaian ceramahnya dengan durasi kurang lebih tiga jam, banyak sekali topik penting yang dibicarakan. Salah satu yang menurut saya cukup menarik dan relevan adalah filosofi ruang dan waktu. Di mana penjelasan tentang apa itu ruang dan waktu. Bagaimana kedua hal itu melingkupi gaya hidup seseorang tampak jelas jika manusia modern sebenarnya mengalami krisis kesadaran eksistensi atas ruang dan waktu. Setelah saya amati berkali-kali, penjelasan Habib Ja’far tersebut setidaknya dapat dirangkai ke dalam dua sub bahasan berikut ini.

Baca Juga  Mulla Shadra: Pemikir Terbesar Pasca Ibnu Rusyd

Pentingnya Membedakan Ruang dan Tempat

Segala tindak-tanduk manusia selalu tidak lepas dengan yang namanya ruang dan tempat. Tapi, karena keberadaan manusia setiap detik bertemu dengan kedua term itu, barangkali luput untuk menyadari bahwa antara ruang dan tempat sebenarnya memiliki perbedaan.

Ruang dan tempat, sebagaimana Habib Ja’far mengatakan, keduanya tidak selalu berkelindan. Kita bisa saja berada di tempat yang luas, tetapi tidak mempunyai ruang yang luas. Demikian juga sebaliknya, ketika kita mempunyai ruang yang luas, bukan berarti sedang berada di tempat yang luas. Tempat itu bagian fisik yang dikonstruksi manusia, sementara ruang merupakan bagian konseptual yang ada secara alamiah dalam diri manusia.

Habib Ja’far kemudian menyebutkan Suffah sebagai contohnya. Meskipun tempat yang berada di belakang Masjid Nabawi itu sempit, tapi memiliki ruang yang sangat luas. Sebagaimana hadist yang sampai hari ini masih dipakai oleh seluruh ulama, itu lahir ketika Abu Hurairah berada di tempat sempit tersebut. Tepat di titik inilah kesadaran tentang perbedaan antara ruang dan tempat mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

Kebanyakan manusia modern sekarang hanya mengindahkan tempat yang luas dan estetik, tapi tidak demikian untuk ruang. Tempat-tempat luas seperti kafe, taman, kampus, bahkan perpustakaan menjadi ruang yang sempit bagi mereka yang sekadar narsistik, menggosip, dan menjadi budak media sosial. Ketidaksadaran atas kedua term itu jarang, bahkan mungkin tidak pernah kita sadari. Seolah-olah, kalau sudah berada di tempat yang luas, maka sekaligus mempunyai ruang yang luas.

Tentu bukan tanpa sebab, hal itu tidak lain dikarenakan gaya hidup modern yang menuntut manusia agar berorientasi pada hal-hal yang bersifat tampak oleh indra (positivistik) dan bergantung pada benda (materialistik). Walhasil, ketika berada di suatu tempat, aktivitas manusia terbatasi oleh andaian: Bagaimana sesuatu yang tampak oleh indra dan ketergantungan pada benda itu dapat diraih sebagai wujud eksistensinya.

Baca Juga  Mengenal Syaikh Mahfudz At-Termasi, Ahli Ilmu Hadis Nusantara

Keberhargaan Waktu

Selain persoalan ruang dan tempat, krisis eksistensial manusia modern juga berkelindan dengan konsepsi waktu. Di titik ini, penjelasan Habib Ja’far menurut saya mulai terasa lengkap unsur-unsur filosofisnya.

Waktu, demikian lanjut Habib Ja’far, bukanlah detik jam, bukan pula detak jantung. Lebih dari itu, waktu adalah degup kesadaran. Jadi, yang sebenar-benarnya waktu itu bukanlah yang selama ini diketahui secara objektif seperti pagi, siang, sore, malam, atau pukul 1-24. Justru waktu adalah konstruksi subjektif yang berkaitan dengan kesadaran manusia dalam bereksistensi.

Dari situ menurut saya, manusia modern perlu memperbaiki kembali pola pikir tentang waktu. Sebab, secara sadar atau tidak, waktu yang diketahui secara objektif itu selalu mengekang manusia dalam hal apapun. Manusia akhirnya tidak bebas karena segala tindak-tanduknya dituntut oleh waktu objektif dan bukan oleh dirinya sendiri. Penghayatan mereka tentang kehidupan dan dirinya sendiri juga perlahan hilang seiring tenggelamnya ketidaksadaran mereka atas dirinya sendiri.

***

Habib Ja’far memberikan contoh yang cukup menggugah terkait waktu. Beliau mengutip salah satu filsuf eksistensialis dari Jerman, Martin Heidegger, dengan mengatakan bahwa waktu itu akan terasa berbeda ketika rebahan dibanding ketika mengantar Ibu yang sedang sakit jantung dalam mobil ambulans. Waktu ketika mengantar Ibu akan terasa lebih bermakna dibanding ketika rebahan. Tepat di sinilah menurut saya perihal waktu betul-betul berharga jika kita masuk dalam kesadaran eksistensial. 

Saat mendengarkan ucapan Habib Ja’far terkait waktu, saya lantas teringat salah satu buku yang berjudul “Heidegger dan Mistik Keseharian: Sebuah Pengantar Menuju Sein and Zeit” yang ditulis oleh Budi Hardiman. Di dalamnya menjelaskan bahwa manusia itu selalu terlempar ke dalam faktisitas. Maksud dari faktisitas adalah fakta-fakta yang tidak bisa diprediksi dan dihindari oleh manusia. Oleh karenanya, manusia sebagai makhluk eksistensial seharusnya menyadari bahwa waktu yang telah mereka punya merupakan sesuatu yang berharga untuk segala aktivitasnya.

Baca Juga  Ibn Haitsam, Filsuf Muslim yang Terlupakan

Kalau kita memahami penjelasan di atas dengan saksama, baik ruang maupun waktu sebenarnya bertumpu pada suatu kesadaran yang saling berkelindan. Tidak sekadar sadar atas diri yang sedang berada, melainkan bagaimana kesadaran itu selalu ada pada andaian bahwa keberadaan diri membutuhkan ruang yang luas. Demikian juga waktu, tidak akan ada artinya apabila sudah mempunyai ruang yang luas, tapi tidak punya kesadaran bahwa waktu itu sangat berharga. Jika keduanya bisa dilakukan, maka itulah yang disebut kesadaran eksistensial.

Editor: Soleh

Achmad Fauzan Syaikhoni
14 posts

About author
Mahasiswa IAIN Kediri jurusan komunikasi dan penyiaran islam, tapi sedang bercita-cita menjadi filsuf. Bisa ditemui lewat ig: zann_sy
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds