Perspektif

Hagia Sophia: Pertanda Bangkitnya Peradaban Islam?

3 Mins read

Terlihat dalam sebuah video, banyak orang berkumpul ramai. Dengan membawa alat dokumentasi, mereka bersuka ria ingin mengabadikan momen bersejarah bagi warga Turki. Bahkan jutaan orang yang dibuat kagum dengan keputusan presiden Erdogan, ikut ceria atasnya. Keputusan penting, krusial dan “ambisius”, yaitu mengembalikan fungsi Hagia Sophia menjadi masjid setelah 86 tahun dijadikan museum. Dan resmi Sabtu (11/7) kemarin, adzan pertama terdengar berkumandang dari atas menaranya.

Sejarah panjang mewarnai lika-liku Hagia Sophia. Sebuah bangunan yang megah, elok, kokoh nan mewah yang terletak di Istanbul ini telah beberapa kali mengalami transformasi fungsi semenjak didirikan pada abad ke-6 M. Tepatnya pada tahun 537, Hagia Sophia ini selesai dibangun dan kemudian dijadikan sebagai katedral Kristen kekaisaran Romawi Timur atau yang lebih tersohor sebagai Bizantium dan disinggahi oleh Patriark Ekumenis Konstantinopel.

Selanjutnya pada tahun 1204, oleh tentara Salib Keempat, Hagia Shopia dikonversi menjadi katedral Katolik Roma dibawah kekuasaan Kekaisaran Latin Konstantinopel, sebelum dikembalikan lagi menjadi Katedral Ortodoks setelah pembangunan kembali Kekaisaran Bizantium pada tahun 1261.

Pada tahun 1453, Konstantinopel yang menjadi Ibu Kota Kekaisaran Bizantiium ditaklukkan oleh Kekaisaran Ottoman, Turki Utsmani, di bawah pimpinan Sultan Mehmed II atau dikenal dengan Muhammad al-Fatih. Terbayang di kepala saya ketika membaca buku karangan Felix Siauw yang berjudul Muhammad al-Fatih 1453, bagaimana spektrum penaklukan yang begitu brilian dilakukan oleh al-Fatih. Sebuah penaklukan yang sudah disabdakan oleh Kanjeng Nabi dalam sebuah hadits. Momen yang terlau romantis untuk “dinostalgiai”.

Semenjak jatuh dibawah kekuasaan Islam itu, Hagia Sophia dijadikan sebagai masjid dan aktif sampai tahun 1931. Setelah kurang lebih 478 tahun menjadi masjid, Hagia Sophia ditutup untuk umum. Baru pada tahun 1935 dibuka kembali, dengan statusnya sebagai museum oleh Republik Turki yang dipimpin Mustafa Kemal Ataturk. Konversi masjid sebagai museum itu merupakan bagian dari reformasi sekuler Ataturk.

Baca Juga  Maaf ke Buya Syafii: Pasca Tsunami Politik Menerpa Muhammadiyah

Pengembalian Hagia Sophia menjadi masjid tentu menjadi daya tarik untuk dibicarakan. Media Masa beramai-rami membuat berita. Ratusan ribu orang di Twitter secara kolosal me-retweet-nya. Mengucapkan hamdalah, pujian, dan berbagai senandung doa dan harapan.

Hagia Sophia, Bertanda Kebangkitan Islam?

Akan tetapi, pertanyaannya sekarang adalah, apakah kembalinya Hagia Shopia menjadi masjid pertanda bangkitnya peradaban Islam? Sebelum menjawab pertanyan tersebut, mari sejenak kita menengok kondisi umat di zaman modern ini.

Perkataan Muhammad Abduh yang berbunyi “I went to the west and saw Islam, but no muslims. I got back to the east and saw muslims, but not Islam”, bisa dijadikan sebuah refleksi keadaan umat Islam masa kini. Ketika Abduh pergi ke barat, ia melihat bagaimana sebuah pemandangan yang eksotis mencerminkan Islam.

Nilai-nilai Islam nampak di sana. Ilmu pengetahuan berkembang. Etos kerja tinggi. Ekonomi sejahtera. Namun sayang, bukan orang Islam yang menerapkannya. Namun, ketika seorang mujaddid ini pergi ke timur, fakta mempertontonkan sebaliknya.

Barat sudah move on dari keterpurukan yang mereka alami kala Copernicus dan Galileo menemukan hukum bahwa Bumi bukanlah pusat alam semesta. Era sekarang merupakan eranya mereka. Nyaris semua lini kehidupan sekarang ini mereka kuasai. Mulai dari ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan mereka, yang menurut Ibnu Khaldun sebagai kemajuan peradaban, maju sangat gesit dan cepat.

Sementara itu, umat Islam sekarang masih banyak pedebatan masalah-masalah “receh”, lalu bersikap responsif dan reaktif sehingga cenderung hanyut ke dalam bahasa-bahasa peperangan psikis  yang tidak produktif bagi dialog peradaban.

Jika meminjam istilah Soekarno, para “Islam Sontoloyo” seakan melupakan fakta bahwa Islam adalah sebuah agama yang telah terbukti mampu menjadi obor peradaban yang bermartabat, yang kaya dengan konsep dan sistem kehidupan yang teratur selama berabad-abad lamanya.

Baca Juga  Paylater: Generasi Milenial dan Candu Hutang

Bisa dikatakan kita sekarang masih mengekor dengan peradaban barat. Dalam bidang kemajuan intelektual, kita masih tertinggal jauh. Belum ditemukan di zaman kita sekarang ini seorang filsuf Islam secerdas al-Kindi dan al-Farabi, dokter sekeran Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, astronom sejenius an-Naqqas dan az-Zarkalli, matematikus sepintar al-Khawarizmi, misalnya. Dalam bidang politik, Timur Tengah masih mencekam. Terjadi “baku hantam”, percekcokan yang tidak berkesudahan. Sementara dalam hal ekonomi, sikap materealisme masih nampak adanya.

Maka, sesungguhnya kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid bukan menjadi pertanda dari kebangkitan peradaban Islam. Sangat “pongah” rasanya jika saya mengatakan itu sebagai kebangkitan Islam, hingga melupakan kondisi umat Islam yang masih belum stabil, amburadul, carut marut ini.

Menjadi Pemantik

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri kembalinya Hagia Sophia, sebuah bangunan yang menyimpan ruh kebangkitan, bisa menjadi pemantik untuk bangkitnya Islam itu sendiri. Sebuah pemantik yang akan mengobarkan semangat kembalinya peradaban. Kenangan historis Hagia Sophia setelah ini akan masuk kedalam relung setiap muslim, yang semoga akan mendorongnya bergerak naik menembus semesta.

Sudah banyak proyek-proyek membangun kembali peradaban Islam. Seperti yang ditawarkan oleh para reformis semacam al-Attas dan al-Faruqi dalam hal islamisasi ilmu pengetahuan. Termasuk Sayyed Hossein Nasr dalam memandang relasi sains dan agama, atau “Mu’tazilah” ala Hasan Hanafi, misalnya.

Tugas kita sekarang ikut melanjutkan proyek tersebut. Menjadi penyambung estafet kemajuan peradaban yang akan menciptakan worldview (at-tashawwur al-islami dalam bahasa Sayyid Qutb) yang masih panjang dari kata finish.

Sebuah diktum “semurni-murni tauhid, setinggi-tinggi ilmu, sepintar-pintar siasat” dari HOS Tjokroaminoto mungkin bisa menjadi penutup dalam tulisan ini. Artinya kita butuh tauhid, hal-hal yang bersifat teologis yang murni. Kita butuh ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu membebaskan dari kebodohan dan kekeringan akal, serta butuh strategi yang kreatif dan inofatif dalam membangun kembali peradaban Islam.

Baca Juga  Toleransi Total Haji Agus Salim: Konfirmasi Atas Esai Sukidi, Ph.D.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
4 posts

About author
Anggota Santri Merapi. Mahasiswa PAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds