Bercita-cita mendirikan sebuah universitas pada saat ini jelas suatu gagasan yang sangat masuk akal, karena komponen-komponen pendukungnya telah tersedia. Tetapi bercita-cita mendirikan sebuah universitas pada zaman kolonial Belanda ketika komponen-komponen pendukunya belum tersedia, hampir seperti ’mimpi di siang bolong.’ Tetapi ketajaman visi dan kerja keras Haji Hisyam sehingga ia menjadi inisiator berdirinya universitas Muhammadiyah pada zaman kolonial Belanda.
Padahal, sistem pendidikan level dasar pada waktu itu masih segregatif. Terpisah-pisah secara sistemik. Bahkan beberapa lembaga pendidikan yang diselenggarakan kaum bumiputra umumnya mentok, tidak memiliki formula sambungan yang dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, inilah fakta historis gerakan Muhammadiyah pada periode awal yang sangat visioner.
Terhitung sejak 1920, Muhammadiyah Bagian Sekolahan di bawah kepemimpinan Haji Hisyam telah menginisiasi gagasan besar berdirinya universitas Muhammadiyah. Dengan kerja keras dan cerdas, gerak sistemik Muhammadiyah mampu menghasilkan amal usaha perguruan tinggi pertama pada tahun 1963 di Padang Panjang.
Selama 43 tahun, sejak pertama kali digagas pada 1920 hingga memasuki alam kemerdekaan (1963), Muhammadiyah baru bisa mewujudkan impian mendirikan universitas pertama di Padang Panjang yang semula bernama Akademi Kulliyatul Muballighin. Selama seabad lebih berjuang tanpa kenal lelah, kini Muhammadiyah-’Aisyiyah yang telah memiliki 164 Perguruan Tinggi (PTM/PTA) tersebar di seantero Indonesia.
Impian Mendirikan Universitas
Malam 17 Juni 1920 adalah “malam yang diberkati Allah SWT” sebagaimana Haji Syuja merekam peristiwa ini dalam bukunya, Muhammadiyah dan Pendirinya (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Majelis Pustaka, 1989). Rapat anggota Muhammadiyah di Gedung Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah di Jalan Djagang West Kauman (kini Jalan Kauman no. 44) dipimpin langsung oleh KH Ahmad Dahlan.
Masuk dalam agenda rapat adalah prosesi pelantikan empat tokoh muda yang telah siap mengisi jajaran HB Muhammadiyah. Mereka adalah Haji Hisyam (Ketua Bagian Sekolahan), Haji Syuja (Ketua Bagian PKO), Haji Fachrodin (Ketua Bagian Tabligh), dan Haji Mochtar (Ketua Bagian Taman Pustaka). Setelah prosesi pelantikan, Hisyam mendapat kesempatan pertama untuk berpidato.
Dalam pidatonya, Hisyam menyampaikan visi dan misi sebagai Ketua HB Muhammadiyah Bahagian Sekolahan pertama. ”Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus bagian sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan maha-maha guru Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya,” demikian Haji Syuja merekam momentum historis ini.
Subtansi gagasan Hisyam sebagaimana tersirat dalam pernyataan pidatonya mengisyaratkan empat hal. Pertama, diksi ”memajukan pendidikan dan pengajaran” mengisyaratkan adanya praktik pendidikan dan pengajaran yang tidak maju (tradisionalis), sehingga Muhammadiyah berusaha merespon dengan cara memajukannya.
Cukup menarik pemikiran ideologis Siti Bariyah ketika menafsirkan tujuan Muhammadiyah tahun 1923 bahwa yang dimaksud dengan memajukan pendidikan dan pengajaran adalah praktik ”pengadjaran diatoer jang menoeroet pada peratoeran dan tjara menoeroet zaman kemadjoean.” Demikian tulis Siti Bariyah dalam artikelnya, “Tafsir Maksoed Moehammadijah” sebagaimana dimuat di majalah Soewara Moehammadijah nomor edisi 9 tahun ke-4 bulan September 1923. Diksi ”menoeroet pada peratoeran dan tjara menoeroet zaman kemadjoean” mengisyaratkan mode adaptasi kemodernan pandangan Muhammadiyah dalam mengelola pendidikan.
Pandangan Siti Bariyah tersebut sejalan dengan pemikiran kakak kandungnya, Haji Fachrodin. Ketika memahami Islam sebagai agama yang selaras dengan akal (rasional) dan dapat menyertai dinamika zaman. Tetapi Fachrodin, dalam artikelnya, ”Agama Islam Njawa Kemadjoean” (Soewara Moehammadijah no. 3-4/Th ke-3/1322) menggenapi serpihan konsep pendidikan berkemajuan dengan prinsip kemanusiaan, kemuliaan, dan anti diskriminasi berdasarkan sumber Al-Qur’an.
Dengan demikian, konsep Pendidikan Islam Berkemajuan tidak sekedar modernis, tetapi juga humanis dan religius (bersumber dari ajaran Islam).
Haji Hisyam Inisiator Berdirinya Universitas Muhammadiyah
Kedua, impian mendirikan universitas. Haji Hisyam sebagai inisiator berdirinya universitas Muhammadiyah pemikirannya telah melampaui zamannya. Fakta historis sekolah-sekolah Muhammadiyah pada tahun-tahun awal berdiri Muhammadiyah masih dalam bentuk Volkschool (Sekolah Desa 3 tahun). Volkshool ini jenis pendidikan dengan jenjang yang metok, karena jenjang di atasnya sudah tidak ada lagi.
Para lulusan Volkschool yang hendak melanjutkan studi lebih tinggi harus melewati proses pendidikan lain di Scakelschool (dikenal dengan nama “Sekolah Sambungan”) dengan masa studi 5 tahun (H.Mh. Mawardi, 1977). Sistem pendidikan kolonial pada waktu Hisyam menginisiasi berdirinya universitas masih segregatif, terpisah-pisah secara sistemik. Sehingga tidak memungkinkan untuk menggagas pendidikan tinggi. Fakta historis berikutnya, ketika Hisyam menyampaikan gagasannya, keberadaan perguruan tinggi di tanah air masih sangat langka.
Sejarawan M.C. Ricklefs (2005: 330) mencatat, terhitung sejak tahun 1900 pemerintah kolonial Belanda telah memiliki tiga Hoofdenscholen (Sekolah Para Kepala) di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Abendanon menyusun kebijakan baru mengubah tiga sekolahan ini menjadi institusi pendidikan tinggi yang mampu menyiapkan tenaga pejabat bagi kaum pribumi.
Oleh karena itu, ia mengubah Hoofdenscholen menjadi Opleidingscholen voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Pada tahun 1902, Abendanon memelopori perubahan sekolah Dokter-Jawa di Weltervreden (sekarang RSPAD Gatot Subroto) menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Dengan demikian, apa yang digagas oleh Hisyam telah melampaui zamannya. Karena infrastruktur maupun suprastruktur yang dimiliki Muhammadiyah pada waktu itu belum sampai pada niatan atau gambaran bagaimana mendirikan sebuah universitas.
Tidak Cukup dengan Universitas
Ketiga, mencetak para sarjana dan guru besar. Gagasan ini masih relevan dengan konteks kedua. Yaitu setelah berhasil mendirikan universitas, HB Muhammadiyah Bahagian Sekolahan akan mencetak para sarjana dan guru besar. Gagasan ini pun dinilai telah melampaui zamannya. Sebab, para sarjana pada zaman kolonial hanya berasal dari kalangan bangsa Belanda maupun kaum elit bumiputra, khususnya dari kasta bangsawan.
Dengan menginisiasi tercetaknya para sarjana dan guru besar di sekolah-sekolah Muhammadiyah sebenarnya menjadi semacam blueprint pertumbuhan hingga perkembangan pendidikan Islam. Tidak hanya bagi warga Muhammadiyah tetapi juga bagi bangsa ini. Muhammadiyah telah memimpikan terbentuknya masyarakat dengan kultur yang melek literasi (high literacy).
Keempat, seluruh upaya yang dilakukan oleh HB Muhammadiyah Bahagian Sekolahan adalah untuk kepentingan Muhammadiyah dan umat Islam. Dalam konteks gerakan internal Muhammadiyah, fungsi lembaga pendidikan sebagai amal usaha unggulan pada waktu itu memang berperan ganda: sebagai sarana pembelajaran dan sekaligus media dakwah.
Artinya, seluruh amal usaha pendidikan Muhammadiyah tidak bisa lepas dari fungsinya sebagai syi’ar Islam. Sedangkan dalam konteks dinamika kebangkitan nasional, gagasan ini dapat diletakkan dalam kerangka pembentukan nasionalisme Indonesia lewat jalur pendidikan. Yaitu, upaya Muhammadiyah menyiapkan kader atau generasi penerus yang berkualitas agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Fakta historis memang menunjukkan bahwa kaum bumiputra pada waktu itu berada di urutan terbawah dalam stratifikasi masyarakat kolonial. Dengan meningkatkan kualitas pendidikan Islam, Muhammadiyah telah menempatkan kaum bumiputra atau umat Islam setara dengan bangsa-bangsa lain.
Bersambung di tulisan Universitas Muhammadiyah Pertama