“Satu per satu, syariat Islam dipretheli”. Kata itu muncul dalam status media sosial. Dan mungkin banyak juga kekecewaan umat Islam atas putusan pemerintah. Pemerintah dengan berani memutuskan tidak memberangkatkan haji karena pandemi di tahun 2020. Keputusan ini menurut saya tergolong berani dan berkemajuan.
Haji dalam Pandemi
Berani karena pemerintah akan berhadapan dengan umat Islam yang punya pandangan bahwa haji itu wajib. Siapa yang menghalangi itu ibadah wajib, maka akan berhadapan dengan kemarahan umat dan tuhan. Maka jangan heran jika di sebagian kecil umat Islam akan ada suara sinis, seperti catatan awal di atas.
Berkemajuan karena pemerintah mempertimbangkan kemaslahatan dalam keputusan ini. Keputusan pembatalan ibadah haji di tengah pandemi menjadi sesuatu yang pas dan perlu didukung. Pasalnya, kemaslahatan, kesehatan, dan keamanan semua jamaah perlu dijaga. Artinya, ibadah haji memungkinkan bertemunya umat dari berbagai negara. Padahal hampir semua negara di dunia hari ini mengalami masalah yang sama, yaitu Covid-19.
Jika mereka berkumpul, maka dikhawatirkan ada terjadi penularan. Saat terjadi penularan dan jamaah haji kembali ke negara masing-masing, maka dapat menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Tentu umat Islam tidak mau dituduh sebagai penyebab berkembangnya Covid-19.
Bersih dan Sehat
Umat Islam perlu menjadi bagian penting mengurai masalah ini. Salah satunya dengan kembali kepada hidup bersih dan sehat. Catatan Yusuf al-Qaradawi tampaknya penting untuk dibaca dalam mengembangkan, menumbuhkan, dan menjadikan hidup higienis sebagai bagian dari Islam. Yusuf al-Qaradawi menulis buku Hygienes in Sunnah (2003), sebuah catatan yang mengungkap bahwa hidup bersih dan sehat adalah budaya Islam.
Buku ini menelaah al-Quran dan Sunnah terkait dengan hidup bersih dan sehat. Yusuf al-Qaradawi menulis di bab awal bahwa higeinis itu adalah berkah Allah (hygien is blessing). Sebagai berkah, umat Islam diharapkan hidup bersih dan sehat.
Kaitan dengan penundaan ibadah Haji, pandemi memaksa semua orang untuk hidup bersih dan sehat. Namun, penyebaran coronavirus yang semakin meluas dan belum ditemukan vaksin, maka umat Islam perlu menahan diri untuk tidak berkumpul.
Ibadah haji memungkinkan persebaran virus dengan cepat dan model baru. Menurut catatan ahli, sebenarnya Covid-19 adalah virus yang lemah. Namun, ia cepat berubah dan cepat menyesuaikan dengan kondisi. Oleh karena itu, model virus di Indonesia mungkin berbeda dari awal munculnya Covid-19 di Wuhan, China (Tiongkok).
Pertemuan jamaah dari berbagai negara dikhawatirkan membuat Covid-19 semakin berkembang dengan jenis mutasi yang baru. Islam mendorong pencegahan dan perbaikan. Percegahan ditempuh dengan menunda pemberangkatan jamaah haji; perbaikan dengan jalan terus mengajak umat untuk hidup sehat dan bersih sembari terus berusaha menemukan formula vaksin yang cocok untuk Indonesia dan wilayah lain.
Oleh karena itu, penundataan keberangkatan haji tahun ini merupakan langkah berani dan bijak pemerintah. Umat Islam tidak perlu khawatir dan berprasangka buruk terhadap pemerintah. Apa yang diambil pemerintah adalah sesuai dengan syariat Islam. Keputusan ini pun tidak sedang mreteli (memangkas) syariat Islam di Indonesia. Bahkan, penundaan ini menjadi bukti bahwa pemerintah mempunyai perhatian terhadap keberlangsungan Islam di Indonesia.
Kontribusi Muslim
Umat Islam saat ini perlu memikirkan formula yang tepat untuk menata pelaksaan ibadah haji. Ibadah haji cukup sekali pun perlu menjadi pilihan bijak. Bagi mereka yang sudah pernah ber-haji, alangkah lebih baik jika dananya untuk kemakmuran dan kemasalahan umat.
Selain itu umat Islam saat ini perlu memberikan masukan kepada pemerintah terkait penggunaan dana haji. Apakah dana haji boleh untuk membangun infrastruktur, menahan laju pelemahan rupiah, dan untuk penanganan masalah bangsa lain?
Ini saya kira lebih penting dibandingkan berprasangka buruk kepada pemerintah. Membincang dan memberi masukan untuk itu lebih manfaat dan maslahah dibandingkan menganggap penundaan pemberangakatan jamaah haji sebagai ketidakberpihakan pemerintah kepada umat Islam.
Catatan, masukan, dan sumbang saran umat Islam, selain sebagai bukti kontribusi Muslim terhadap negara. Selain itu juga untuk “menyelamatkan” dana umat sebesar lebih dari 125 triliun. Dana itu perlu dimanfaatkan dengan baik dan benar demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang lebih baik.
Editor: Nabhan