Masalah kebahagiaan (sa’adah) dan kesengsaraan (syaqawah) adalah masalah kemanusiaan yang paling hakiki. Sebab tujuan hidup manusia tak lain adalah memperoleh kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan. Semua ajaran baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan semata (seperti Marxisme).
Yang mana menjanjikan kebahagiaan bagi para pengikutnya dan mengancam para penentangnya dengan kesengsaraan. Gambaran tentang wujud kebahagiaan dan kesengsaraan itu sangat beraneka ragam. Namun semua ajaran dan ideologi selalu menegaskan bahwa kebahagiaan yang dijanjikannya atau kesengsaraan yang diancamkannya adalah jenis yang paling abadi.
Bahagia Jasmani dan Ruhani
Sebagian agama mengajarkan, adanya kebahagaiaan dan kesengsaraan ruhani semata. Bagi agama-agama tersebut, kehidupan jasmani adalah kesengsaraan, karena sifatnya yang membelenggu sukma manusia. Kebahagiaan hanya diperoleh dengan tindakan dan perilaku meninggalkan dunia, dalam orientasi hidup yang mengarah ke kehidupan ruhani saja.
Sebaliknya Marxisme, tentu saja, mengajarkan tentang adanya kebahagiaan dan kesengsaraan yang hanya bersifat jasmani, dan dengan sendirinya, semua itu berlangsung hanya dalam hidup diduniawi saja.
Kaum Marxis yang ateis ini mirip dengan gambaran dalam al-Qur’an, tentang golongan manusia pemuja waktu (ad-Dahr), yang hanya memercayai kehidupan duniawi saja. Sedangkan kematian adalah fase final kehidupan manusia, bukan fase peralihan seperti yang diyakini agama-agama (QS. Al- Jatsiyah: 24).
Sebagian dari manusia mengejar kebahagiaan dengan rela bekerja keras untuk menghimpun harta dan menyangka bahwa, pada harta yang berlimpah itu akan terdapat kebahagaiaan atau kepuasaan tersendiri. Di sisi lain Ada yang mengejar kebahagiaan pada kekuasaan.
Kitab suci al-Qur’an menyajikan banyak ilustrasi dan penegasan yang kuat tentang kebahagiaan dan kesengsaraan. Dalam sebuah firman disebutkan tentang terbaginya manusia kedalam dua kelompok: yang sengsara (syaqy penyandang syaqawah, yakni, kesengsaraan) dan yang bahagia (sa’id penyandang sa’adah, yakni kebahagiaan).
Al-Qur’an melukiskan keadaan itu demikian, jika hari (kiamat) itu telah tiba, maka tiada seorangpun akan berbicara kecuali dengan izin-Nya. Mereka manusia akan terbagi menjadi dua; yang sengsara dan yang bahagia.
Islam mengajarkan kebahagian dan kesengsaraan jasmani dan ruhani atau duniawi dan ukhrawi, namun tetap membedakan keduanya. Dalam islam seseorang dianjurkan mengejar kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar jangan melupakan nasibnya dalam hidup didunia ini (QS. Al-Qashash: 77).
Yang berarti memperoleh kebahagiaan akhirat, belum tentu dan tidak dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan didunia.
Masalah Interpretasi
Para ulama sepakat tentang adanya kebahagiaan dan kesengsaraan dunia-akhirat. Tetapi terdapat banyak perbedaan, yang mana pangkal dari perbedaan itu ialah adanya perbedaan dalam tafsiran, atas berbagai keterangan suci tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, baik dari al-Qur’an maupun Sunnah.
Khususnya keterangan atau penulisan tentang syurga dan neraka yaitu perbedaan antara mereka yang memahami teks-teks suci secara harfiah dan mereka yang melakukan interpretasi metaforis (ta’wil).
Bahagia Perspektif Filsafat
Sudah selama ribuan tahun, para pemikir telah sibuk membincangkan tentang kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia yang bersitat kondisional. Ia bersifat sangat temporal. Kemudian jika dia sedang berkuasa, maka di situ ada kebahagiaan.
Unsur bahagia, ahli filsafat dan tasawuf berselisih paham terkait susunan bahagia. Artinya berapakah percampuran zat yang kelak menjadi zat yang tersendiri yaitu: bahagia?
Ibarat ilmu kimia berapakah zat kapur, vitamin, zat putih-telur, dan lain lain yang diaduk menjadi tubuh bahagia? Perlu juga kita ketahui, karena cara mencari macam kayu kadang-kadang bukan dengan cara menilik batangnya, tetapi dengan memperhatikan dahan dan daunnya.
Pertama, paham pithagoristen dan platonisten. Pendapat phitagoras, socrates, plato, dan lain lain, unsur bahagiaan itu tersusun dari empat sifat utama yaitu: hikmah, keberanian, ‘iffah(kehormatan) dan adil. Menurut mereka yang empat ini sudah cukup, tak usah ditambah lagi.
Kedua, paham aristoteles yaitu, badan sehat sebagaimana panca indera yang normal, cukup kekayaan, indah sebutan diantara manusia, tercapai apa yang dicita-citakan dan tajam pikiran.
Pandangan Kesufian
Pandangan kesufian tentang bahagia dan sengsara cenderung mengarah pada pengertian-pengertian yang lebih ruhani dari pada jasmani, atau bahkan lebih psikologis dari pada fisiologis. Kaum sufi mendapatkan banyak penegasan bahwa bahagia tertinggi terwujud dalam ridha Allah swt. Sebuah firman Allah mengatakan:
“Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman, pria maupun wanita, surga-surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal disana selama-lamanya, (dijanjikan pula) tempat-tempat tinggal yang indah, dalam surga-surga kebahagiaan abadi. Dan keridhaan dari Allah adalah yang akbar. Itulah sebenarnya kebahagiaan yang agung.” (QS. At-Taubah: 72)
Sayyid quthub seorang pembaharu islam pada masa modern (w. 1966) melakukan pendekatan filosofis dan sufi pada masalah hakikat kebahagiaan. Bahwa bahagia tertinggi dan paling agung sebagai keridhaan Tuhan.
Sebagai pengalaman kesaksian ruhani akan wujud Maha Besar itu, yang dihadapan pengalaman kesaksian itu semua bentuk kebahagiaan menjadi tidak bermakna.
Tercapainya pengalaman tersebut, termasuk dalam hidup sekarang ini jika mungkin, menjadi tujuan semua olah ruhani (riyadlah) dan perjuangan spiritual (mujahadah), seperti yang diajarkan kaum sufi.
Kebahagiaan dapat diperoleh setiap manusia tanpa memandang suku, ras, golongan dan agama. Tetapi banyak konsep-konsep yang tersebar tentang kebahagiaan tersebut. dalam konsep keagamaan, khususnya dalam islam bahwa, kebahagiaan itu baik secara duniawi maupun ukhrawi.
Dan dari pandang kesufian bahwa puncak tertinggi kebahagiaan itu keridhaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi dalam kaum marxisme memiliki pandangan bahwa kebahagaiaan hanya diperoleh didunia saja dan kematian merupakan fase final dalam kehidupan manusia.
Editor: Dhima Wahyu Sejati