Hukum sangatlah penting untuk mengatur semua lini kehidupan manusia. Pada dasarnya, tidak ada hukum yang ada dengan sendirinya. Pasti ada yang membuat hukum tersebut. Dalam Islam, pembuat hukum itu disebut Hakim dalam Islam, menurut ushul fiqih. Adapun dalam adanya hukum, terdapat perdebatan akan pembebanan hukum antara mu’tazilah dan ahlu sunnah wal jamaah.
Hakim dalam Islam
Kata Hakim dalam Islam secara etimologi berarti ‘Yang Memutuskan Hukum’. Dalam istilah fiqh, kata Hakim juga disebut sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan–sama halnya dengan Qadhi. Hakim menurut ushul fiqih juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim dalam Islam (pembuat hukum syariat) adalah Allah azza wa jalla baik hukum taklifi dan wad’i. Hukum syariat dapat diketahui melalui wahyu yang bersumber dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, dan dapat diketahui juga melalui ijtihad oleh para mujtahid dengan metode Istinbath (penggalian hukum) seperti Ijma’, Qiyas, dan metode istinbath lainya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Dalam al-Quran, Allah SWT berfirman:
اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (QS. Al-An’am: 57)
وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ
“Dan siapa saja yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”. (QS. Al-Ma’idah: 44)
Merujuk pada dalil di atas, maka Hakim (yang menetapkan hukum) tidak lain hanya Allah SWT. Tidak ada hukum kecuali yang Allah SWT tetapkan dan tiada syariat kecuali yang Allah SWT syariatkan. Kemudian, hukum selain yang diturunkan Allah adalah kufur, karena tidak ada seorang pun selain Allah SWT yang memiliki wewenang menetapkan hukum.
Tugas para rasul hanyalah menyampaikan hukum Allah SWT dan tugas para mujtahid hanya memperkenalkan dan menyingkap hukum itu melalui banyak metode dan kaidah yang diletakkan oleh ilmu ushul fiqih.
Permasalahan tentang Pembebanan Hukum
Seperti yang saya paparkan sebelumnya, Tidak ada perbedaan pendapat antar para ulama dalam mengetahui hukum Allah. Namun, yang diperselisihkan ialah tentang apakah hukum Allah itu tidak bisa diketahui kecuali dengan perantara para rasul-Nya atau sebelum diutusnya Rasul? Apakah akal sendiri dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk (al-tahsin wa al-taqbidh)?
Mengenai masalah tersebut, ulama memiliki perbedaan dalam menjawabnya, antara lain:
Pendapat Hukum Mu’tazilah
Mazhab Mu’tazilah pengikut Wasil bin ‘Atta (131 H) berpendapat bahwa akal dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan sebelum datangnya syariat meskipun sebelum datangnya Rasul. Jika pengetahuan ini (baik dan buruk) tidak datang melalui para rasul dan risalahnya, maka nilai baik-buruknya perbuatan adalah perkara akal, bukan syariat. Dengan kata lain, penetapannya bukan berdasarkan syariat, karena Allah SWT menetapkan hukum itu sesuai dengan tingkat nalar akal mengenai nilai baik dan buruknya perbuatan.
Karenanya, mereka mengatakan bahwa manusia sudah dibebani hukum (mukallaf) sebelum diutusnya rasul dan sebelum dakwah sampai padanya. Sehingga, mereka harus melakukan perbuatan yang menurut akal baik dan meninggalkan perbuatan yang menurut akal buruk, karena itu adalah hukum Allah. Dengan adanya pembebanan hukum tersebut maka timbul tanggung jawab dan hisab serta konsekuensi pahala dan dosa.
Pendapat Hukum Ahlu Sunnah wal Jamaah
Pertama, Mazhab Asy’ariyah pengikut Abu Hasan al-Asy’ari (324 H) dan ulama fiqih yang sependapat. Akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum sebelum turunnya syariat. Akal hanya dapat menetapkan baik dan buruk melalui perantara al-Quran dan Sunnah.
Berdasarkan hal tersebut maka menurut mereka tidak ada hukum Allah yang dibebankan kepada hamba-Nya sebelum diutusnya para rasul. Jika rasul belum datang menyampaikan hukum Allah, maka mereka tidak dibebani hukum. Tidak ada kewajiban dan larangan bagi mereka. Karena tidak ada hukum, maka tidak ada pembebanan hukum (taklif). Dan karena tidak ada pembebanan hukum, maka tidak ada hisab, pujian dan pahala serta celaan dan dosa. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
”Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul”. (QS Al-Isra: 15)
Kedua, Mazhab Maturidiyah pengikut Abu Mansur al-Maturidi (333 H) berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan itu memiliki nilai baik dan buruk yang sebagian besarnya bisa diketahui oleh akal. Akan tetapi adanya nilai kebaikan yang bisa dijangkau akal itu tidak mengharuskan syariat memerintahkannya, dan nilai keburukan pada perbuatan tidak mengharuskan syariat melarangnya.
Berdasarkan hal di atas, mereka berpendapat bahwa hukum Allah tidak bisa dijangkau tanpa perantara rasul dan risalah mereka. Allah tidak memberi ketetapan pada perbuatan manusia sebelum diutusnya para rasul dan risalah mereka. Jika tidak ada hukum, maka tidak ada pembebanan hukum dan jika tidak ada pembebanan hukum maka tidak ada pahala maupun dosa.
Konsekuensi Pendapat Pembebanan Hukum
Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, maka timbul beberapa konsekuensi sebagai berikut,
Pertama, menurut kelompok Mu’tazilah, pada umumnya orang yang tidak mendengar dakwah Islam dan risalah rasul harus dihisab dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tuntutannya adalah: melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal, itulah hukum Allah. Hika
Sedangkan menurut kelompok Asy’ariyah, Maturidiyah dan yang sependapat: orang yang tidak pernah mendengar dakwah maka mereka tidak dihisab serta tidak mendapat pahala dan dosa.
Kedua, setelah turunnya syariat Islam, para ulama sepakat bahwa hukum Allah dapat diketahui dengan perantara al-Quran atau Sunnah Nabi SAW. Keduanya sudah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam dakwahnya.
***
Hakim dalam Islam adalah sang pembuat atau penetap hukum. Dan satu-satunya Hakim yang mutlak adalah Allah azza wa jalla. Untuk mengetahui hukum yang dibuat Allah harus melalui wahyu dan ijtihad. Dalam pengaplikasianya akal juga berperan dalam memahami hukum Allah, tidak hanya terlalu pada wahyu. Karena jika terlalu terpaku pada dogma agama tanpa akal akan mengakibatkan kejumudan.
Wallahu a’lam bi shawab
Sumber: Kitab al-wajiz fi al-usul al-fiqh
Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan