Melalui akun twitternya, mas Muhammad Akmal Akhsan bercerita bagaimana ia merasakan kagum terkait dengan ruang kerja Buya Syafii di rumahnya. Bagi Akmal, kesederhanaan dengan sikap dan tindakannya, sangat jauh berbeda dengan ruang aktivitas kerjanya.
Selain diisi dengan buku-buku, arsip tulisan, sejumlah undangan pembicara, ruang kerja Buya adalah saksi bagaimana karya-karya tulisannya itu lahir. Pengalaman ini didapatkan oleh Akhsan saat ia ingin bersilaturahmi ke rumah almarhum sekaligus berkeinginan untuk membersihkan ruang kerja Buya Syafii.
Bagi pencinta ilmu, buku-buku adalah segalanya. Apalagi saat buku-buku itu berjejer memenuhi ruangan rak-rak besar dan tinggi yang telah disediakan. Namun, bagi pekerja pengetahuan yang sehari-hari bergulat dengan aksara untuk menghasilan tulisan, buku-buku yang memenuhi rak besar dan tinggi adalah perpaduan pas dalam membentuk ruang kerja layaknya istana.
Di sebut istana ini karena ruang di mana imajinasi liar bisa ditaklukkan dalam kata. Kemarahan bisa dikendalikan dalam struktur kalimat. Letupan ketidaksetujuan bisa dikendalikan dalam pilihan kata. Semuanya tersusun dalam paragraf. Paragraf ini bersatu padu membentuk bangunan dalam bongkah pengetahuan yang bernama ilmu. Ilmu ini terangkai dalam esai, artikel jurnal, paper, bagian buku, dan buku.
Tampaknya, jalan hidup dengan kesederhanaan merupakan pilihan keras yang diambil oleh Buya Syafii. Kemewahan dunia yang sangat mungkin diraih seringkali diabaikan. Tidak hanya membikin takjub banyak orang, kesederhanaan itu seakan menjadi standar yang harus diikuti oleh orang-orang yang bekerja dalam lingkarannya.
Persoalannya, tidak semua orang bisa mengikuti standar zuhud yang diterapkan oleh Buya Syafii. Meskipun demikian, setidaknya prilaku kehidupannya menjadi cerminan bagaimana seorang tokoh besar modernis Islam itu dalam menjalani kehidupan di tengah mudahnya godaan duniawi untuk diraih.
Meskipun sederhana dalam semua hal, ada satu hal yang dimiliki Buya Syafi secara duniawi itu sangat mewah, yaitu ruang kerja. Meskipun bagi banyak orang, ruang kerjanya itu masih sangat dianggap bersahaja. Bagi intelektual, pemikir, dan ilmuwan, termasuk juga untuk Buya Syafii, ruang kerja adalah medan pertempuran yang harus disiapkan sebaik-baiknya dan sekeras-kerasnya.
Di sini, ia bertarung dengan toksik pikiran banyak orang dan pemikir yang kemudian memilahnya jadi refleksi jernih tentang kritik kepada semua hal, termasuk politik busuk yang bebal dan kelompok konservatif Islam yang masih percaya tentang jalan negara Islam.
Di ruangan kerja yang sangat mewah untuk ukuran dirinya ini sejumlah karya lahir dari refleksi pemikiran dan kegelisahan tentang Islam, negara, keindonesiaan yang menjadi corak pilihan medan pertempurannya. Namun, bagi orang-orang pemalas, termasuk saya, semewah apapun ruang kerja, ia adalah ruang kerja. Ruang kerja tidak memotivasi orang untuk terus berkarya. Meskipun hal itu tampaknya tidak terjadi pada Buya Syafii.
Ia masih terus menulis dan menulis, baik itu artikel pendek di koran nasional, majalah Suara Muhammadiyah, ataupun makalah saat diundang oleh sebuah seminar yang diadakan oleh institusi dan komunitas intelektual. Di tengah usianya yang tidak muda, ia masih menyempatkan diri untuk menulis buku.
Dididik secara keras sebagai seorang jurnalis di Suara Muhammadiyah, menulis tidak lagi menjadi aktivitas pekerjaan yang ditunaikan begitu saja. Jauh dari itu, menulis adalah semacam spirit agar ia bisa terus berpikir dan bergerak. Dengan cara semacam ini ia bisa menyelamatkan diri dari penyakit tua yang bernama pikun dan lupa.
Di tengah aktivitasnya yang terus menulis, tidak ada satupun orang yang dapat menghentikannya. Yang dapat menghentikannya hanyalah Sang Khalik pemilik nyawa. Buya Syafii merasa tugasnya sebagai intelektual Islam belum selesai. Sementara Sang Khalik justru berkata sebaliknya. Sang Maha Pemilik Ilmu Segala Ilmu, justru menghentikan Buya Syafii saat ia beberapa hari ingin menunaikan ulang tahunnya yang ke-87 tahun.
Ya, kerja pengetahuan dan intelektual Buya Syafii berhenti saat itu juga. Meskipun demikian, pengetahuan yang telah dituliskan akan abadi, dibaca oleh banyak orang dan kemudian di konseptualisasikan ulang dari zaman ke zaman. Serupa pencatat dokumentasi zaman, sejumlah catatan yang dibikinnya tentang orang biasa, komunitas, kehidupan kelompok, masyarakat, negara, serta ketidakadilan dan penindasan merupakan cara agar generasi selanjutnya bisa belajar agar tidak mengulangi kesalahan generasi sebelumnya. Namun, jika itu tetap melalukan, kita merupakan bagian dari generasi keledai, selalu jatuh pada lubang yang sama.
Parahnya itu berkali-kali. Misalnya, saat pemilu 5 tahun sekali kita selalu percaya kepada figur intelektual yang bisa membawa terhadap perubahan. Nyatanya mereka sama saja brengsek dengan yang lainnya. Di sisi lain, dalam sejumlah tulisannya, Buya Syafii berkali-kali mengingatkan mengenai orang-orang elit intelektual dan politik yang menjadi pengkhianat negara ini, membuat Pancasila sebagai fondasi berbangsa dan bernegara menjadi tuna dalam segala hal.
Saat membaca tulisan-tulisannya kita selalu teringat dengan bahaya tersebut. Namun, sebagaimana ingatan, selalu memiliki durasi yang sangat pendek, karena itu tidak menciptakan trauma dan luka mendalam.
Editor: Yusuf