Tajdida

Halalbihalal: Sebuah Tradisi Ruhaniyah di Indonesia

3 Mins read

Usai pelaksanaan puasa Ramadhan, umat muslim di Indonesia mempunyai tradisi unik yang tidak dimiliki negara-negara lain. Ya, tradisi itu bernama halalbihalal/halal bi halal. Dalam pelaksanaannya, halalbihalal biasanya diisi dengan kegiatan yang positif seperti berkunjung ke rumah kerabat, silaturahim, ajang maaf-maafan hingga makan bersama.

Halalbihalal sudah menjadi sebuah tradisi yang lekat untuk umat muslim di Indonesia. Meski berasal dari bahasa Arab, orang Arab sendiri pun tidak akan mengerti dan tidak akan paham mengenai makna esensi dari halalbihalal. Sebab tradisi ini hanya ada di Indonesia.

Tradisi yang memang tidak pernah diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW secara syar’i. Namun, secara prinsip, Islam mengajarkan kepada setiap umatnya untuk dapat saling memaafkan di antara saudara seagama maupun sesama manusia.

Sekalipun penamaan istilah halalbihalal tidak ada dasar yang jelas, bukan berarti tradisi ini menjadi illegal dalam ajaran Islam. Sebab esensi yang dibawa dalam tradisi halalbihalal syarat akan nilai-nilai yang diajarkan Islam, dalam artian, tradisi halalbihalal tidak lepas dari nilai-nilai yang dibawa oleh Islam itu sendiri.

Halalbihalal

Pertanyaan yang mulai muncul adalah, siapa pencetus tradisi halalbihalal? Bagaimana sejarah kelahirannya? Dan sejak kapan tradisi ini lahir di tengah-tengah masyarakat Indonesia? Istilah halalbihalal berangkat dari kalimat ‘thalabu halal bi thariqin halal’ yang artinya mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.

Belum ada riwayat yang secara sahih menceritakan, siapa pencetus tradisi halalbihalal ini. Ada yang mengatakan halalbihalal dirintis oleh Pangeran Sambernyawa. Dikisahkan, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.

Baca Juga  Muhammadiyah Pasca Pilpres: Akomodasi atau Oposisi?

Sebagian versi menyebutkan, halalbihalal merupakan tradisi yang dibuat oleh Kiai Wahab Hasbullah dengan Bung Karno. Ketika Indonesia mengalami masa disintegrasi pada 1984 di mana, terjadi pemberontakan oleh kelompok DI/TII hingga PKI yang melibatkan berbagai tokoh politik. Khawatir akan terjadinya perpecahan bangsa, Bung Karno mengundang Kiai Wahab Hasbullah untuk menyelesaikan ketegangan ini. Lalu, Kiai Wahab mengusulkan agar diadakan silaturrahmi dan maaf-maafan. Usulan itu pun diterima Bung Karno namun, harus ada perubahan nama. Akhirnya, tercetuslah nama halalbihalal.

Akar Kuat Tradisi Halal Bihalal

Jika yang dimaksud esensi halalbihalal adalah siturahim, maka tradisi ini sudah mengakar jauh dari leluhur Nusantara. Setidaknya hal ini sudah terjadi semenjak Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I bertahta. Tradisi raja kala itu selepas salat ‘id mengumpulkan para punggawa dan prajurit di istana untuk saling meminta maaf satu dengan yang lainnya.

Sebagai sebuah istilah yang tidak dilahirkan dari induknya, istilah halalbihalal melahirkan tradisi unik yang juga hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara Timur tengah, termasuk di Saudi Arabia, tahniah atau ucapan selamat yang didengungkan untuk merayakan Idulfitri adalah kullu am wa antum bi khair (semoga sepanjang tahun kau dalam keadaan baik-baik saja).

Ucapan ini semukabalah dengan kalimat yang diucapkan untuk menyambut tahun baru. Uniknya di Indonesia kita tidak menjumpai ucapan yang sama dengan yang menjadi tradisi di Arab. Ucapan yang populer di sini adalah minal aidin wal faizin yang memiliki arti “menjadi orang-orang yang kembali dan menang”.

Kalimat di atas merupakan penggalan paksa dari kalimat utuh jaalanallāhu waiyyākum minal āidin wal fāizin yang berarti “semoga Allah menjadikan aku dan kamu termasuk ke dalam orang-orang yang kembali dan menang.”

Baca Juga  Islam Wasathiyyah Menurut 3 Ulama: Quraish Shihab, Gus Mus, dan Said Aqil Siroj

Memaknai Halalbihalal

Suatu tradisi akan mampu mengubah perilaku suatu bangsa jika tradisi tersebut benar benar dipahami dan dijadikan spirit kehidupan. Sebagai suatu tradisi, halalbihalal memiliki makna: Pertama, dilihat dari aspek kata, halal bi halal dipahami gabungan kata halal dengan halal atau baik dengan baik. Berarti sesuatu yang baik (halal) harus dipertemukan dengan sesuatu yang baik pula.

Jangan sampai dicampur adukan sesuatu yang baik (halal) dengan sesuatu yang jelek (Haram). Suatu niat atau tujuan yang baik harus di lakukan dengan cara atau metode yang baik pula. Jangan sampai memiliki atau merencanakan  tujuan yang baik tetapi dilakukan dengan cara yang kotor, buruk (haram). Contohnya ingin menjadi syuhada (mati syahid) tetapi dilakukan dengan aksi bom bunuh diri. Ingin bersedekah tetapi dengan uang hasil korupsi atau hasil curian.

Kedua, halalbihalal berkaitan dengan silaturahim, yang bermakna ‘menyambung kasih sayang.’ Caranya dengan membangun suatu keadaan saling bergantung satu sama lain. Maka dari itu, antarsesama manusia dapat saling memahami dan mengasihi. Silaturahim merupakan sebuah upaya pemulihan karena dalam menjalani kehidupan, seseorang kadang kala melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengganggu hubungan dengan orang lain.

Dengan halalbihalal, hablun minannas atau hubungan horizontal dengan sesama manusia (relasi sosial) diperbaiki. Kalau upaya saling maaf-memaafkan tuntas, insya Allah hubungan vertikal hablun minallah juga dapat ditingkatkan. Dengan begitu, tujuan puasa Ramadhan, yakni menjadi insan yang bertakwa, dapat tercapai.

Ketiga, dilihat dari aspek ruhaniyah. Puncak acara setiap halalbihalal adalah saling memaafkan (mushofahah) satu dengan lainnya. Kemauan untuk minta maaf atas segala kesalahan dan kesanggupan memberi maaf kesalahan orang lain sangat tergantung ada atau tidaknya kesombongan.

Seseorang yang di dalam dirinya memiliki  kesombongan akan sulit meminta dan memberi maaf. Begitu juga sebaliknya. Halalbihalal mengandung makna untuk menghilangkan kesombongan. Sebagai manusia tidak boleh merasa paling benar sendiri, tidak boleh merasa paling beriman yang ujungnya menyalahkan dan merendahkan orang lain.

Baca Juga  Silaturahmi Menumbuhkan Sikap Welas Asih dan Persaudaraan Abadi

***

Hakikat halalbihalal adalah mengajarkan kepada umat Islam dan bangsa Indonesia untuk konsisten dan selalu komitmen kepada amalan atau perbuatan yang positif (bermanfaat) baik untuk dirinya, keluarga dan masyarakat. Semoga kita semua dijadikan pribadi yang lebih rendah hati dan memiliki sifat memaafkan.

Akhir kata, semoga setelah melewati puasa Ramadan dengan keadaan negeri yang dalam kondisi seperti ini, Allah tetap meneguhkan hati kita untuk terus memperjuangkan nilai-nilai keislaman dalam setiap langkah kehidupan. Amin.

Editor: Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Sesungguhnya Allah menyayangi orang-orang yang sabar
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds