Kisah terpilihnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau akrab dipanggil Buya HAMKA dalam Front Pertahanan Nasional (FPN), menarik untuk dicermati. Front Pertahanan Nasional terbentuk setahun, jelang terjadinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Kisah ini, akan berlanjut dengan perjalanan Bung Hatta dari Bukittinggi ke Pematang Siantar. Hatta masa itu harus melewati Sibolga. Melalui siaran radio, Hatta mengetahui agresi Belanda berhasil menerobos pertahanan Republik Indonesia di Medan.
Terpilihnya Hamka
Tanggal 27 Juli 1947. Serdadu Belanda masuk Tebing Tinggi. Dan langsung bergerak ke Pematang Siantar, ibukota propinsi Sumatera. “…maka Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan, Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohammad dan seluruh staf pemerintahan Sumatera segeralah dipindahkan ke Bukittinggi,” kisah Hamka dalam memoarnya Kenang2an Hidup.
Menurut Hamka, Siantar ditinggalkan 27 Juli 1947, dua jam sebelum kota itu diduduki Belanda.
Di perjalanan, mobil iring-iringan Hatta ditembak. Dua hari kemudian, tanggal 29 Juli 1947 rombongan sudah di Bukittinggi.
Malam itu juga, “baru satu hari sampai di Bukittinggi, Bung Hatta mengadakan briefing dengan menyuruh undang seluruh pimpinan di Sumatera Barat,” kenang Buya Hamka. Dan, sebelum pamit rehat, Hatta sempat menganjurkan perlunya kesatuan perjuangan yang bersifat kerakyatan. “….sehingga dendam kita karena kematian Azizchan dapat ditebus,” kata Bung Hatta.
Siapa yang dipilih untuk memimpin rapat yang dihadiri perwakilan partai politik, Majlis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau, Barisan Hulubalang, Ibu Kesatria, Persatuan Saudagar, Barisan Merah, dan Barisan Teras?
“Pemimpin rapat ialah pemimpin tua yang terkenal, yaitu Haji Datuak Batuah dari Partai Komunis Indonesia. Beliau baru saja pulang sesudah diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Digul sejak tahun 1923,” tulis Hamka dalam memoarnya.
Menurut Hamka, Haji Datuak Batuah adalah guru mengajinya semasa kanak-kanak di Sumatera Thawalib.
“Hari bulan puasa. Malam agak panjang,” tulis Hamka. “Akhirnya putus mufakat untuk mendirikan badan persatuan, diberi nama Front Pertahanan Nasional (FPN).”
Rapat bersepakat mengangkat lima formatur untuk menyusun front pertahanan itu. Terpilih Hamka, Khatib Sulaiman, Udin, Karim Halim dan Rasuna Said.
“Khatib Sulaiman yang memang ahli menyusun organisasi, mengusulkan kelima formatur langsung jadi penyelenggara atau motor dari front ini yang dinamai Sekretariat Front Pertahanan Nasional,” ungkap Hamka.
Untuk ketua sekretariat itu, Khatib Sulaiman, mengusulkan, “Hamka!”.
Sutan Sulaiman dari PNI menyambung, “Hamka!”.
“Hamka!” seru Datuak Batuah dari PKI.
“Hamka!” kata Juir Muhammad dari Partai Sosialis.
Kalangan pemuda dari Pesindo, Hizbullah, Sabilillah bersorak pula, “Hamka!”.
Tinggal Masyumi. Semua mata tertuju ke Ilyas Ya’kub pimpinan Masyumi. Ilyas menatap Hamka. “Terimalah,” katanya. Hadirin sontak bertepuk tangan. Sorak-sorai.
***
Malam 2 Agustus 1947, bertempat di Hotel Merdeka diadakan sidang membahas anggaran dasar, program dan pekerjaan FPN.
Malam itu, melalui siaran radio, Perdana Menteri Amir Syarifuddin memerintahkan hentikan tembak-menembak. Cerita Hamka, “Sehabis mendengar pidato radio, diedarkanlah pertanyaan berkeliling, apakah FPN akan dilanjutkan juga, sebab suasana berubah…”
Dan, sejak itu keakraban antara Haji Datuk Batuah dengan eks murid mengajinya itu makin terjalin erat. Sampai Ketua PKI Cabang Sumatera Barat itu meninggal di bulan Ramadan pada tahun 1949.
Editor: Nabhan Mudrik Alyaum