Inspiring

Irfan Amalee, Kiai Perdamaian Milenial

5 Mins read

I don’t like your country! Seorang guru asal Chicago kaget bergetar mendengar ungkapan kesal seorang muridnya. Eric Lincoln, nama si guru bahasa Inggris yang telah tinggal 25 tahun di Indonesia, pulang berkata pada istrinya, “Di kelas saya ada orang Taliban!” Irfan Amalee, nama si murid, tak disangka pada akhirnya justru berkawan akrab dengan Eric. Setelah vakum sekian tahun menggeluti isu perdamaian dan toleransi, pada 2007, Irfan mendirikan dan mengembangkan organisasi perdamaian berbasis anak muda bernama Peace Generation bersama Eric.

Irfan Amalee adalah penulis, aktivis dan wiraswastawan sosial. Ia menulis dan menerbitkan banyak buku pendidikan Islam untuk bayi dan anak-anak, modul pendidikan perdamaian, games, hingga aplikasi edukasi. Karya-karyanya telah dipresentasikan, disebarluaskan, dan dipergunakan di berbagai negara. Berkat komitmen Irfan terhadap pendidikan perdamaian bagi anak-anak dan kaum muda, pada 2010 dan 2011 ia masuk jajaran 500 muslim berpengaruh di dunia versi Royal Institute for Islamic Studies Amman Yordania.

IRM/IPM: Perjalanan Awal

Irfan Amalee lahir di pinggiran kota Bandung bernama Cibereum pada 28 Februari 1977. Di sana, si Irfan kecil bertetangga dengan orang berlatar belakang Tionghoa, Flores, Batak, dan Jawa. Sejak awal, ia sudah menikmati keragaman, punya kawan sepermainan beragama Kristen sekaligus Tionghoa. Tapi keragaman itu justru kemudian mengganggu Irfan Amalee yang mulai remaja. Ia sendiri pernah mengenang, “Semakin saya belajar agama, kok saya jadi berjarak dengan orang dari agama lain.”

Kesan harus berjarak dengan orang beda agama kian berkembang karena sebagaimana diakuinya sendiri, ia tumbuh dalam model pendidikan agama yang konsevatif. Irfan Amalee dipersiapkan oleh keluarga untuk jadi agamawan. Tidak heran, pada 1990, ia dikirim ke Pondok Pesantren Darul Arqam Garut hingga 1996. Di pondok, minat literasi Irfan justru makin terasah.

Ia tidak sekedar belajar ilmu-ilmu keagamaan, tapi juga jurnalistik dan aktif organisasi pelajar bernama IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah). Aktivitas mengelola majalah di pondok dan jadi aktivis IRM tingkat Ranting (untuk tingkat komunitas sekolah/masjid) dan Daerah (tingkat Kabupaten/Kota), menjadi jalan penting meniti visi besarnya kelak.

Selepas mondok di Darul Arqam, Irfan Amalee lanjut kuliah di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (1996-2000). Ini agak berlainan dari harapan Irfan yang justru ingin kuliah bidang desain. Menjelang akhir masa kuliah, Irfan jadi Ketua Bidang Advokasi Pimpinan Pusat IRM (1998-2000). Selama aktif di PP IRM, ia mempelopori pendirian gerakan Studi Refleksi Aktif Antikekerasan dan menulis suplemen untuk majalah HAI bernama RETAS (Resistensi Tanpa Kekerasan). Banyak aktivis IRM waktu itu mengagumi visi antikekerasan yang diperkenalkan Irfan.

Baca Juga  Haji Agus Salim: Membangun Teologi Islam yang Progresif

Fahd Pahdepie, penulis dan influencer media, mengenang, “RETAS (Resistensi Tanpa Kekerasan) adalah yang paling berkesan. Majalah-majalah dan aneka pelatihan yang digagas RETAS betul-betul mengubah cara berpikir dan cara berimajinasi saya. Barangkali di sanalah saya mulai serius belajar menulis, percaya bahwa literasi bisa mengubah masyarakat—bahkan dunia.” Sembari aktif di IRM, Irfan banyak berkeliling Indonesia memfasilitatori pelatihan antikekerasan. Kurang lebih empat tahun Irfan kuliah dan menyelesaikan skripsi tentang Ibnu Arabi.

Mendirikan Peace Generation

Pertemuan awal yang janggal pada 2007 berbuah komitmen. Irfan akhirnya tahu bahwa Eric juga adalah seorang pegiat isu-isu antikekerasan. Apalagi ketika Eric memperlihatkan sejumlah buku berbahasa Inggris mengenai pendidikan antikekerasan. Irfan bersemangat. “Bagaimana bikin buku begini dalam bahasa Indonesia?” tanya Irfan.

Pertanyaan itulah yang mengantarkan Irfan bersama Eric mulai bekerja menyusun buku 12 Nilai Dasar Perdamaian Muslim. Irfan pada waktu itu sudah bekerja sebagai editor di penerbit Mizan. Secara khusus, ia membidangi divisi anak dan remaja (DAR). Irfan bahkan dipercaya menjadi CEO Pelangi Mizan.

Peace Generation adalah buah minat yang berlanjut. Organisasi ini awalnya tidak dimaksudkan menjadi gerakan. Irfan dan Eric fokus pada penulisan bahan-bahan pendidikan perdamaian. Mereka menulis modul dan buku sebagai media edukasi. Pada waktu itu, media edukasi untuk tujuan pendidikan perdamaian dan antikekerasan berbahasa Indonesia masih sangat jarang.

Kalau pun ada, sebagian besar merupakan adaptasi atau terjemahan versi bahasa Inggris. Bahan ajar yang mengakomodir pengalaman hidup lokal belum tersedia. Sebagai aktivis yang telah pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk belajar pendidikan perdamaian, Irfan paham betul ada ruang kosong yang tidak diperhatikan banyak pegiat pendidikan. Lebih-lebih terkait inisiasi untuk merumuskan model pendidikan perdamaian untuk kelompok anak dan remaja.

Sementara belum tersedianya bahan pendidikan yang memadai, problem polarisasi keagamaan justru semakin menguat. Pasca kerusuhan Mei 1998, Indonesia secara mendebarkan menyaksikan rententan konflik dan kerusuhan di Ambon, Poso dan Sampit.

Belum selesai ketegangan antar agama, rentetan kasus ledakan Bom pada 2002 dan 2005 memberi trauma pada sebagian besar warga sipil di Indonesia. Kepastian perlindungan hukum, keamanan dan hak asasi manusia bergema di berbagai forum. Dalam konteks ini, karya Irfan dan Eric jadi relevan.

Baca Juga  Tiga Aspek Dakwah Menurut Hisham At-Thalib

Pemikiran: Islam Brand Perdamaian

Karya Irfan merentang dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Selain merespon media teks (buku, modul, dan pamflet), ia juga mahir dengan media visual dengan beragam dimensi dan digital (game dan aplikasi). Tidak berhenti di situ, ia kreatif menjaga napas komunitas yang dibangunnya dengan model kewirausahaan sosial. Komitmen, karya, dan strateginya dalam isu perdamaian dan antikekerasan sangat berbeda dengan aktivis urban pada umumnya.

Bagi Irfan, berkarya mendukung kerukunan antar agama, etnis dan bangsa, bukan sekedar agenda, melainkan suatu misi sosial. Pemikiran semacam itu, barangkali memang berangkat dari pengalaman dan cara Irfan menyerap inspirasi dari berbagai sumber. Barangkali, tanpa sadar, ia banyak tergerak oleh kisah-kisah kepahlawanan orang-orang biasa yang kini dikenang sebagai pahlawan kemanusiaan. Di antara nama itu, mungkin Nabi Muhammad, Mahatma Gandhi, dan Chico Mendez begitu berpengaruh.

Menimbang intensitas dan karya Irfan, Ia jelas telah rumusan pemikiran yang terlihat begitu gamblang. Jika dapat disederhanakan menjadi beberapa poin, barangkali berikut adalah yang paling tampak.

Pertama, Islam adalah brand agama perdamaian. Irfan selalu berkata pada agent of peace, pegiat Peace Generation, bahwa Islam menjadi tampak “menakutkan” tidak lain karena kaum muslim gagal jadi brand perdamaian dan antikekerasan. Padahal agama ini punya banyak khazanah keagamaan dan spiritual yang mendukung perdamaian.

Kegagalan tersebut membuat stereotip dan stigma yang berkembang di media massa mengenai Islam menjadi tampak absolut. Seolah-olah, kaum muslim identik dengan label “sumbu pendek” atau “fanatik.” Dalam berbagai kesempatan, Irfan selalu mengatakan sangat penting menjadikan Islam sebagai brand perdamaian. 

***

Kedua, pengalaman adalah guru terbaik untuk belajar perdamaian dan antikekerasan. Pengalaman berjumpa, bertemu, dan berinteraksi dengan orang dari agama yang berbeda, akan membongkar asumsi sesat tentang pemeluk agama lain. Kecurigaan dan kewaspadaan pada pemeluk agama lain adalah akibat kualitas perjumpaan sosial yang sangat rendah.

Setiap pemeluk agama yang berbeda-beda perlu saling membangun interaksi berkualitas sehingga bobot pengetahuan tentang orang lain pun meningkat. Dalam hal ini, konservatisme adalah pengalaman hidup monokultur yang dikelola dengan cara keliru. Sehingga tidak ada antisipasi bahwa dalam kondisi atau situasi krisis tertentu, steretorip, dan stigma pada pemeluk agama lain dapat menghasilkan sikap agresi yang serius dan berbahaya. Mencari pengalaman berjumpa dengan pemeluk agama berbeda adalah sarana yang tidak mungkin dilewatkan jika ingin membangun kohesi sosial tinggi

Baca Juga  Hadapi Covid-19 dan Dampaknya: Beri Solusi untuk Negeri

Ketiga, faktor utama konflik dan kekerasan adalah kekeliruan membaca semangat Islam atau agama. Tidak ada satu pun agama yang membenarkan peperangan, pembunuhan, dan pengrusakan kehidupan. Agama hadir sebagai suara moral dan pertahanan atas kehidupan. Maka, menempatkan “ayat-ayat perang” dalam konteks untuk menghukum orang lain yang berbeda agama atau kelompok sangat keliru. Maka basis fundamental perdamaian dan politik antikekerasan sangat tergantung pada bagaimana agama digunakan untuk menginterpretasi relasi antar manusia. Irfan merefleksikan masa kecil sebagai “surga” keberagaman yang perlahan harus ia korbankan atas nama “agama.” Tidak mungkin Islam diciptakan oleh yang Maha Kuasa sebagai instrumen pemikiran dan sikap untuk melawan kenyataan sosial yang sangat multikultur.

Kiai Muda Perdamaian Muhammadiyah

Irfan sangat percaya pada kekuatan kaum muda untuk mendobrak ketegangan sosial dan antar agama. Ketika Irfan mendirikan Peace Generation, ia sedang mengatakan bahwa perdamaian dan sikap antikekerasan harus bekerja sebagaimana “virus” yang dapat bermutasi atau mempengaruhi orang lain.

Jika konflik dan kekerasan bisa berlipat ganda pada pikiran dan tindakan sekelompok orang dalam masyarakat, maka mengapa nilai-nilai perdamaian dan antikekerasan tidak? Irfan sadar bahwa ia tidak bisa sekedar mengajarkan perdamaian sebagai etika. Tapi perdamaian sebagai jaringan sosial yang saling terhubung dan mempengaruhi.

Irfan sampai pada kesimpulan bahwa perdamaian dan kekerasan itu bekerja dengan cara yang sama. Setiap orang rentan dipengaruhi oleh pemikiran kekerasan dan agresif atau perdamaian dan welas asih. Tergantung pada dirinya sendiri, wacana sosial di sekitarnya dan pengalaman berjumpa dengan pemeluk agama lain.

Irfan adalah potret aktivis muda Muhammadiyah pada masa transisi demokrasi Indonesia yang penuh konflik, kekerasan, dan bencana sosial-politik. Irfan menunjukkan pada semua orang bahwa ia harus mencari ganti “surga” hidup damai yang pernah ia rasakan pada masa kecil. Irfan jelas bukan satu-satunya orang yang pernah kehilangan masa kecil bahagia semacam itu. Ada banyak anak muda lain pada generasinya dan generasi berikutnya yang akan menghadapi masalah serupa. Tapi Irfan memberi tahu bahwa masih ada harapan di ujung jalan. Dan Irfan telah menunjukkan titik cahaya itu.

Editor: Yahya FR

Avatar
50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *