Oleh: Mukhlis Rahmanto
Salah satu tugas Nabi Saw adalah memberikan penerangan tentang pelaksanaan Islam yang baik dan benar. Di antara metode yang digunakan Nabi ketika menerangkan agama ini kepada komunitas awal Islam saat itu adalah membandingkannya dengan ajaran Samawi sebelumnya, khususnya dalam tata ritual.
Ringan Berislam
Di antara penjelasan Nabi dalam sebuah hadits komparatif berikut: “Ahabbu ad-din ilallah al-hanafiyyatu as-samhatu.” Artinya, “Agama yang paling dicintai Allah adalah (yang bercirikan) lurus dan lapang.”Dari segi otentisitas, hadits ini dinilai hasan oleh para kritikus hadits. Al-Bukhari mencantumkan dalam Shahih-nya, kitab Iman, bab Ad-Din Yusr (Agama itu Ringan) no. 38 secara mu’allaq (terputus) sanad-nya, tapi ia menyambungnya dalam buku lain, al-Adab al-Mufrad (Etika Individu), bab Husnul Huluqi Idzan Faqqihu (Perilaku Terpuji, Maka Pahamilah Agama dengan Baik) no. 283 dari sahabat Ibnu Abbas ra. Penggalan redaksi di atas adalah jawaban Nabi ketika ditanya, “Ayyul-Adyani Ahabbu ilallah?” (Manakah agama yang paling dicintai oleh Allah?)
Hadits ini berbicara mengenai karakteristik utama Islam sebagai sebuah agama. Pertama, Islam ajaran yang mudah diaplikasikan oleh umat manusia, di segala ruang dan waktu, dalam kondisi apapun, dan sesuai dengan kapasitas manusia. Dalam hadits dari Abu Hurairah ra. disebutkan,
“Inna ad-dina yusrun, walan-yusadda ad-dina ahadun illa ghalabahu, fasaddidu waqaribu wa`absyiru was-ta’inu bil-ghadwati war-rauhati wa syai`in min ad-duljati.”
Artinya, “Agama itu sangat ringan dan siapa pun yang membebani keberagamaannya secara berlebihan tidak akan sanggup menanggungnya. Jadi, engkau tidak perlu berlebihan, tetapi cobalah untuk mendekati kesempurnaan dan terimalah kabar baik bahwa engkau akan diberi ganjaran; dan shalatlah di pagi hari, siang, dan di penghujung malam.”
Jika hadits di atas diperkaya dengan teks-teks lain pada jalur-sanad lain akan semakin meruncing bahwa ad-din (agama) tidak dapat diartikan secara tekstual sebagai agama begitu saja, tetapi lebih mengarah kepada ketaatan (at-tha’ah). Hal itu dapat dilihat dalam riwayat lain, yang secaraa lugas dinyatakan dengan pertanyaan kepada Nabi, “Ayyul-Islam al-Khair? Ayyul-Islam al-afdhal?” Islam manakah yang baik? Islam manakah yang lebih baik.? Bentuk-bentuk redaksi pertanyaan ini mengindikasikan adanya hirarki ketaatan, mulai dari sekedar taat yang baik hingga lebih baik.
Para komentator hadits cenderung menjelaskan hadits di atas dengan keterangan bahwa Islam berbeda dengan ajaran dua agama Samawi sebelumnya, Yahudi dan Nasrani. Islam mengklarifikasi keduanya, dan mencoba mendudukan di antara keduanya. Semisal, pertaubatan orang Yahudi adalah dengan membunuh diri mereka, sedang Islam mencukupkan dengan ucapan ampun dan penyesalan. Ajaran Nasrani mengarah pada monastisisme-rahbaniyyah (kependetaan) hingga berimbas pelarangan menikah bagi para pendetanya; Islam tidak mengakui sistem kependetaan, tapi egaliterianisme di hadapan Tuhan, menganjurkan pernikahan. Kita dapat mengingat sebuah hadits yang mengisahkan kekhawatiran seorang sahabat dengan amal kebaikan yang dilakukannya jika dibandingkan dengan amalan Nabi.
Hanifiyah Samhah
Lalu, Nabi pun menasihatinya dengan permisalan dirinya sendiri, seorang Nabi pilihan Tuhan yang juga menikah, kadang berpuasa, kadang berbuka. Sedang kata “al-hanafiyyah” sendiri merujuk pada ajaran Ibrahim as. (millah ibrahim) yang lurus karena melarang politeisme hingga paganisme dan mengajarkan pada monoteisme-tauhid yang diteruskan oleh Nabi Saw.
Oleh karena itu, pengertian agama yang lurus (al-hanafiyyah) dan lapang (as-samhah) adalah agama yang mempunyai karakteristik ringan dan mudah, sehingga Nabi melarang dalam memahami dan mengaplikasikannya untuk: tasaddud (berlebihan), perfeksionis, pesimistik, dan beribadah sepanjang waktu tanpa menimbang waktu yang telah dijadwalkan oleh Tuhan. Padahal, Tuhan telah memilah waktu yang memang secara kondisi fisik dan psikologis , mendukung untuk beribadah, di antaranya waktu pagi, siang, dan malam hari. Sabda Nabi Saw,
“Halaka al-mutanatthiˊun.” Celakalah orang yang berlebih-lebihan, yaitu orang yang mengambil tindakan keras dan berat, tapi tidak pada tempatnya.
Dalam kitab al-Adab al-Mufrad, bab Husnul Huluqi Idzan Faqqihu dimana juga terdapat hadits “al-hanafiyyah as-samhah”, kebanyakan mengindikasikan sikap “kesalehan” yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan untuk akhirat kelak. Islam tidak mengajarkan asketisme ekstrim yang cenderung mengesampingkan dunia nyata, tetapi juga tidak mengajarkan hedonisme materialisme ekstrim yang cenderung mengesampingkan kenyataan adanya akhirat sebagai pondasi utama eskatologi Islam.
Frasa “al-hanafiyyah as-samhah” menjadi titik tolak dan indikator umum yang diberikan Nabi Saw tentang bagaimanakah model dan corak ber-Islam yang harus kita aplikasi-praksis dan kontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Titik tolak “al-hanafiyyah as-samhah” dimulai dari penggalan kata dalam hadits di atas, “fasaddidu.” Para komentator hadits mengarahkannya pada makna “untuk tidak berlebihan”, tapi tidak bagi Ibnu Hajar Al-Asqalani—komentator terbaik kitab Shahih al-Bukhari—yang menukikannya pada makna at-tawasuth fil-‘amal (pertengahan dalam perbuatan) sebagaimana sabda Nabi Saw, “Khairul-umuri ausatuha”, sebaik-baik urusan ada di pertengahannya.
Tawasuth
Secara bahasa, at-tawasuth berakar dari kata wasath yang berarti segala yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang berada pada posisi di antara dua ekstrem. Misalnya, keberanian adalah pertengahan sifat ceroboh dan takut. Kedermawanan merupakan pertengahan antara sikap boros dan kikir. Kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakaan karena dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini, kata wasath berkembang maknanya menjadi tengah, yang dalam bahasa sekarang lebih dikenal dengan istilah ‘moderat’. Seseorang yang menghadapi dua pihak berseteru dituntut untuk menjadi wasith (wasit) dan berada pada posisi tengah agar berlaku adil. Sehingga, lahirlah makna ketiga wasath, yaitu ‘adil (Quraish Shihab, 2001). Dari sini, moderat atau adil dalam beragama dapat disimpulkan sebagai sikap untuk meletakkan ketentuan-ketentuan agama pada tingkatannya yang adil, baik dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya.
Kenyataan historis yang terkandung dalam hadits-hadits Nabi di atas memuat fakta bahwa umat generasi awal Islam saja yang hidup bersama dengan Nabi, masih mengalami problematika terkait dengan bagaimanakah model beragama yang moderat. Apalagi sekarang ketika umat Islam bergumul dengan makhluk bernama globalisasi yang tentu dinamikanya akan lebih rumit. Tetapi, ajaran Nabi Saw pada 14 abad yang lalu dapat kita bumikan dengan usaha mensistematisasikan model hingga corak Islam jalan tengah.
Sumber: Majalah Al-Manar