Perspektif

Hari Bumi Tidak Hanya Satu Hari

3 Mins read

50 tahun yang lalu 20 juta orang berkumpul di Fifth Avenue di New York untuk menyuarakan kerusakan lingkungan. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh tumpahnya 8.000 barel minyak di Santa Barbara California dan tercemarnya sungai di Ohio. Gerakan ini diprakasrasi oleh seorang senator yaitu Gaylord Nelson. Kini hari tersebut, 22 April 2020, diperingati sebagai hari bumi, meskipun hari bumi tidak hanya satu hari.

Kesadaran masyarakat akan lingkungan saat itu diawali oleh seorang perempuan ahli biologi Rachel Carson yang menerbitkan buku Silent Spring tahun 1962. Kesadaran masyarakat juga didorong oleh Gaylord Nelson yang mengemukakan mengenai kerusakan lingkungan pada pidatonya saat menjadi senator tahun 1969.

Namun, ia tidak hanya berhenti berpidato di gedung senator tetapi ia juga menjadi pengajar di berbagai universitas dan menyebarkan keresahannya di kalangan mahasiswa. Sehingga massa yang mendominasi kampanye pada 22 April 1970 adalah mahasiswa. Empat tahun kemudian aksi tersebut berhasil mengubah berbagai kebijakan menjadi pro-lingkungan.

Hari Bumi dan Dampaknya

Kebijakan tersebut berhasil mengubah paradigma pembangunan di Amerika Serikat menjadi lebih ramah lingkungan. Namun, hal ini berbeda dengan Negara-Negara berkembang yang baru saja memulai pembangunan dengan maraknya industrialisasi. Negara-negara maju sudah menyadari akan pentingnya lingkungan. Tetapi mereka mengalihkannya pada negara-negara berkembang melalui janji investasi bahkan pinjaman modal bersyarat.

Indonesia membuka investasi modal asing sejak tahun 70-an yaitu pada era Orde Baru. Ditandai dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Adanya peraturan tersebut membuka peluang para investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia yang saat itu membutuhkan suntikan dana dengan dalih pembangunan.

Pengalihan aset tersebut juga diikuti dengan pengalihan polutan produk sampingan industrsi. Negara-negara maju melupakan prinsip bahwa bumi ini adalah satu kesatuan sistem yang dapat saling memperngaruhi satu sama lain. Mungkin mereka tidak melakukan kerusakan di negaranya tetapi kerusakan yang terjadi di negara lain pun tetap akan memberikan dampak pada seluruh elemen yang ada di bumi.

Baca Juga  Apabila Muhammadiyah Menjadi Negara

Industrialisasi yang baru dimulai di negara-negara berkembang menjadi pembenaran oleh negara-negara maju bahwa negara-negara berkembang banyak melakukan kerusakan lingkungan, salah satunya dengan tingginya laju deforestasi. Sungguh menggelitik jika ditelisik, negara-negara berkembang diberikan tugas untuk menjaga hutannya dengan cara Negara-Negara maju memberikan bantuan untuk melestarikan lingkungan. Tetapi mereka dengan leluasanya tetap melangsungkan industrialisasi yang tidak ramah lingkungan.

Salah satu cara pemberian insentif terhadap negara yang berhasil menjaga hutannya yaitu diberikan melalui Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Inisiasi ini memberikan insentif berkisar antara US$17 miliar dan US$33 milyar per tahun sampai dengan tahun 2030.

Perubahan Iklim

Berbagai upaya yang dilakukan beralasan untuk memperlambat perubahan iklim. Padahal perubahan iklim sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Menurut Murdiyarso (2005) perubahan iklim adalah perubahan unsur unsur iklim dalam jangka yang panjang (50-100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan gas rumah kaca. Bertambahnya gas rumah kaca tersebut didominasi oleh unsur antropogenik daripada unsur alami.

GRK alami dihasikan dari interkasi antara laut dengan atmosfer dan letusan gunung berapi yang terjadi dalam periode tertentu. Sedangkan GRK antropogenik dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil yang saat ini digunakan hampir di seluruh negara sebagai sumber energi yang belum tergantikan dan terjadinya alih guna lahan.

Senyawa GRK dapat bertahan hingga puluhan tahun pada atmosfer, CO2 bertahan hingga 100 tahun, CH4 bertahan hingga 15 tahun dan N2O bertahan hingga 115 tahun. Maka perubahan yang terjadi saat ini merupakan akumulasi dari proses yang terjadi 100 tahunan yang lalu.

Namun, bukan berarti kita dengan sewenang-wenang merusak alam saat ini karena keberlangsungan kehidupan harus tetap dijaga. Bukan untuk kita tapi untuk generasi yang akan datang. Jika kekayaan alam yang berlimpah ruah sudah tidak dapat diwarisan setidaknya lingkungan yang cukup bersahabat masih bisa diwariskan.

Baca Juga  Hanya Penulis Gengsian dan Nggak Kreatif yang Takut Miskin (Tanggapan untuk Wahyudi Akmaliah)

Konvensi Perubahan Iklim

Konvensi perubahan iklim diterima sebagai komitmen politik Internasional tentang perubahan iklim pada KTT Bumi tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro (1992). Konvensi ini bertujuan menyetabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan iklim.

Perubahan iklim yang terjadi tidak hanya berdampak pada panasnya udara yang kita rasakan tetapi juga mengubah suhu rata-rata air laut. Hal ini dapat memicu mencairnya es di Antartika, yang mempengaruhi tidak hanya Antartika melainkan juga berdampak terhadap kita.

Cairnya es di Antartika dapat meningkatkan permukaan air laut. Berdampak pula pada kedaulatan Indonesia, yang ribuan pulau-pulau kecilnya akan tenggelam dengan meningkatnya muka air laut 1,4-5,8 meter pada kurun waktu 101 tahun (1999-2100). Hal ini tidak hanya mengancam pulau kecil, tetapi juga mundurnya garis pantai sebagai penentu batas antar Negara melalui analisis citra penginderaan jauh (Khakim, 2013).

Berdampak pula pada para nelayan dengan menurunnya jumlah tangkapan ikan yang membuat nelayan tak dapat makan. Berdampak pada petani yang tidak bisa memprediksikan kapan waktu tanam sehingga sering terjadi gagal panen. Berdampak pada kita yang turut serta merasakan panasnya terik matahari lebih panas dari 10 tahun yang lalu.

Tidak Hanya Satu Hari

Hari bumi akan selalu diperingati begitupun dengan perubahan iklim yang akan terus terjadi. Hari bumi yang memiliki latar belakang semangat untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan saat itu tidak boleh berhenti. Karena memang semestinya tidak hanya satu hari.

Euforia peringatan hari bumi yang berdampak hanya satu dua hari tidak boleh dipertahankan tetapi tiap hari harus kita sadari sebagai hari bumi. Perubahan tidak akan terjadi jika tidak adanya ketidakikutsertaan seluruh elemen di negeri ini untuk mengimplementasikannya.

Baca Juga  Berdamai dengan Corona: Menyerah?

Peringatan hari bumi hendaknya tidak hanya terhenti sebatas seremonial belaka tetapi dapat memihak pada kebijakan kebijakan yang pro terhadap lingkungan. Karena hanya sebuah omong kosong jika pemerintah menggembargemborkan SDGs dan pelestarian lingkungan namun kebijakan yang dibuat merusak lingkungan.

Editor: Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *