Perspektif

Hari-hari Tanpa Shalat Berjamaah

3 Mins read

Begitu sadis rasanya corona menghukum kita. Sejak ditemukan di Wuhan akhir tahun lalu, Covid-19 telah merangsek tak terkendali ke berbagai belahan bumi. Menginfeksi tubuh manusia dalam senyapnya. Tak peduli umur, latar belakang, status sosial, bahkan agama. Semua berada dalam kerentanan yang sama.

Dengan perkiraan tingkat transmisi virus 1,4 – 2,5, sampai saat ini Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 245 ribu orang di seluruh dunia, 10 ribu diantara mereka terenggut jiwanya (Worldometers.info, 20/03).

Bukan saja menjerat tubuh orang yang sudah positif, Covid-19 juga mengintimidasi psikologi manusia yang belum terinfeksi. Panic buying, rasa was-was, takut bahkan stres menjadi pemandangan baru yang belakangan masif menjejali beranda media sosial kita.

Semua sektor terdampak. Segala aktivitas yang mengundang kerumunan manusia dibatalkan, mulai dari sekolah, pertandingan olahraga, konser musik, seminar, pelatihan, bahkan agenda suci seperti peribadatan turut terkena imbasnya.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, sholat Jum’at dan sholat berjamaah di beberapa negara dihentikan sementara. Berharap dengan begitu virus tak semakin liar persebarannya. Umat muslim kini menghadapi hari-hari tanpa shalat berjamaah.

“Shollu fii buyutikum.” Begitu lantunan adzan yang bergema di banyak negeri belakangan ini. Kita teringat saat panggilan itu dikumandangkan pertama kali di langit Kuwait beberapa waktu lalu, sendu seketika menggelayut, lalu menjalar di hati umat muslim seluruh dunia. Seturut menjalarnya video sang muadzin yang menangis itu di jagat maya.

Kesedihan melanda kalbu orang beriman, baik mereka yang memang rajin shalat berjamaah, maupun yang masih terantuk di pintu niat. Yang rajin shalat berjamaah gundah karena corona merenggut kesyahduan beribadah mereka. Tanpa berjamaah, seperti ada puzzle yang hilang dalam keseharian mereka.

Baca Juga  Kenapa Generasi Milenial Gampang Nesu?

Sungguh beruntung mereka yang disesak rindu untuk berjamaah. Baginya telah tercatat pahala apa-apa yang telah dirutinkannya. Yang karena sebab pandemi corona ini, tidak dapat dilakoninya amalan itu.  

Mereka yang belum terbiasa berjamaah juga bersedih, betapa selama ini kelalaian begitu mendominasi jiwa. Fenomena ini menjadi pengingat bahwa ada gunungan niat baik yang belum dieksekusi. Shalat berjamaah di masjid salah satunya.

Tetapi perasaan sedih itu tidak selayaknya mengendalikan logika. Supaya dengan begitu akal sehat kita tidak terkecoh oleh bujuk nafsu. Sehingga tidak ada lagi yang berujar “Kematian itu pasti dan saya tidak takut corona. Lebih baik mati di dalam masjid, itu lebih mulia. Jadi buat apa takut ke masjid?”

Omongan seperti ini jelas merupakan pendapat yang mengikuti nafsu. Pertama, karena corona tidak menyebabkan mati mendadak layaknya peluru yang meluncur dari AK-47. Tertular di masjid bukan jaminan ajalnya juga dijemput di masjid. Bisa jadi Malaikat Izrail menemuinya di tempat lain.

Kedua, dan ini yang paling penting, ulama telah memberi fatwa untuk menghentikan sementara shalat Jum’at dan shalat berjamaah di masjid. Itulah yang semestinya menjadi rujukan kita. Biar bagaimanapun ulama adalah pewaris para nabi. Padanya terjamin satu pahala meski pendapatnya keliru. Dan baginya dua pahala atas kebenaran ijtihadnya.

Puluhan tahun mereka wakafkan hidupnya untuk menekuni ilmu agama. Siang dan malam mereka baktikan diri untuk Rabb-nya. Jika kepada mereka saja kita masih ragu, lalu kepada siapa lagi kita mesti menyimpan kepercayaan?

Ah, saya jadi terkenang kisah kemarin lalu, ketika Arab Saudi mulai menghentikan shalat Jum’at dan shalat berjamaah di masjid, beberapa orang yang tinggal di asrama mahasiswa melaksanakan shalat berjamaah kecil-kecilan, sekira 5-10 orang. Tampak betul keinginan kuat para penuntut ilmu itu untuk menyempurnakan pahala shalat.

Baca Juga  Santri Indonesia sebagai Duta Perdamaian Dunia

Tetapi rupanya praktik inipun tidak dibenarkan oleh para masyaikh. Karena hikmah dihentikannya shalat berjamaah adalah untuk menghindari kontak dengan orang lain, sekecil apapun unitnya. Supaya dengan itu penyebaran virus bisa ditekan. Ada maslahat yang lebih besar yang diperjuangkan di situ.

Berangkat dari situ pula, lamat-lamat saya teringat kisah Abdullah bin Ubay, gembong kaum munafik di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Syahdan ketika kaum muslimin mendengar adanya rencana penyerangan kafir Quraisy ke Madinah, mereka terbelah dalam dua pendapat. Kelompok pertama menganggap serangan itu sebaiknya dihadapi di dalam kota. Abdullah bin Ubay termasuk diantaranya.

Sementara itu, sebagian sahabat yang mayoritas kaum muda menghendaki agar serangan kafir Quraisy dihalau di luar kota. Agar mereka tidak dianggap takut lagi kecut oleh Quraisy. Pada akhirnya Rasulullah mengambil pendapat yang kedua dan kaum muslimin berangkat meninggalkan Madinah menuju Uhud.

Di tengah jalan, Abdullah bin Ubay bersama sepertiga pasukan – yang sebagian besar adalah pengikutnya – melakukan pembelotan. Mereka kembali ke Madinah dan meninggalkan kaum muslimin yang sedang dalam perjalanan perang. Hal ini tentu sedikit banyak berpengaruh pada mental kaum muslimin.

Kita semua tahu akhir kisah Perang Uhud. Kaum muslimin kalah, Rasulullah hampir terbunuh, dan banyak sahabat yang menjadi syuhada. Tetapi ada hikmah yang sangat agung tercuplik dari kisah ini. Betapapun pedihnya, Perang Uhud telah mengajari kaum muslimin tentang culasnya sifat para munafik.

Lalu apa hubungannya dengan cerita shalat berjamaah di masa pandemi corona ini?

Bukan. Saya sama sekali bukan sedang mengaitkan kisah para munafik dengan kekukuhan sebagian orang untuk menjaga shalat berjamaah di masjid. Jauh dari itu, ada rasa iri yang mengintip di lubuk hati saya atas ghirah beribadah yang membuncah dari saudara-saudara kita itu.

Baca Juga  Pahami 10 Pondasi Ilmu ini Sebelum Belajar Ilmu Keislaman!

Akan tetapi, kita juga sepatutnya mewaspadai propaganda ini. Jangan sampai kondisi ini ditunggangi oleh musuh-musuh yang memang senang melihat perpecahan umat Islam. Jangan biarkan para pengikut Abdullah bin Ubay mencuri panggung di tengah kondisi kritis seperti ini.

Sikap waspada dengan mengedepankan prasangka baik diharapkan bisa selalu kita terapkan. Semoga dengan begitu ada akhir yang indah di ujung masa paceklik ini.

Avatar
1 posts

About author
Pegiat Psikologi Islam, sedang belajar di King Saud University
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds