Feature

Hasil Laporan Rukyatul Hilal Dipersoalkan: Bukti Rukyat Tekstual Sudah Tak Relevan

3 Mins read

Beberapa hari ini, jagat dunia maya diramaikan persoalan hasil laporan rukyat awal bulan Rajab 1446 di Sidoarjo, Jawa Timur. Bahkan, sesama pendukung rukyat mempertanyakan validitas dan autentisitas laporan tersebut. Kasus semacam ini menurut sebagian pihak, bukanlah yang pertama kali terjadi. Sepanjang pengamatan penulis, titik krusial yang diragukan “Kasus Sidoarjo” adalah kondisi cuaca di lokasi rukyatul hilal dan tidak ada bukti citra hilal yang bisa dianalisis bersama. Penerimaan hasil laporan rukyat hanya mengandalkan “kejujuran” pelaku rukyat”.

Secara metodologis, perbedaan pandangan antar pelaku rukyat tersebut bisa dimaklumi, mengapa? Rukyat pada era sekarang adalah pekerjaan yang tidak mudah, karena melibatkan berbagai unsur agar hasil yang diperoleh memiliki validitas yang tinggi. Unsur dimaksud antara lain; data hisab awal bulan, kondisi alam saat pelaksanaan rukyatul hilal, peralatan yang digunakan, dan  tingkat kejujuran para pemburu hilal. Keberhasilan rukyat melibatkan berbagai unsur tersebut agar hasilnya bisa diterima.

Para pendukung rukyat sering kali berargumentasi bahwa rukyat itu adalah perintah yang sarih untuk memulai dan mengakhiri Ramadan, sedangkan hisab tidak memiliki pijakan yang kuat untuk dijadikan rujukan dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal. Bagi pendukung hisab, pemahaman semacam ini kurang memperhatikan pesan universal Al-Qur’an yang menghargai ilmu pengetahuan. Artikel seputar perbincangan hisab dan rukyat sangat berlimpah dan mudah untuk mengaksesnya. Meskipun demikian, artikel singkat ini ingin mengkaji persoalan rukyat dengan pendekatan lain yang belum dilakukan penulis sebelumnya.

Menelusuri Jejak Arkeologi Hadis Rukyat

Sebagaimana diketahui, jumlah hadis rukyat yang terdokumentasi sangat banyak jumlahnya. Dalam penelusuran penulis, ditemukan sekitar 50 riwayat dengan beragam variasi sanad dan matan. Intinya mengandung pentingnya rukyat untuk menentukan awal bulan kamariah, kesatuan umat dalam puasa dan idul fitri, menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat, validitas kesaksian rukyat dari satu orang (dalam kondisi tertentu), dan dimungkinkan menggunakan hisab (faqdurulahu). Selanjutnya, berbagai sumber menyebutkan bahwa perintah puasa Ramadan terjadi pada tahun 2 H, diduga pula praktik rukyatul hilal pertama terjadi pada tahun tersebut.

Baca Juga  Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

Lalu di mana dilakukan rukyatul hilal? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu memperhatikan aspek historis-arkeologis wilayah kota Madinah pada saat hadis rukyat dituturkan. Pada “The Museum of the Prophet’s Biography” digambarkan situs kota Madinah masa Nabi Muhammad Saw. Dalam situs tergambar, pada masa Nabi, Masjid Nabawi menjadi pusat kegiatan keagamaan, sosial, dan politik umat Islam. Wilayah sekitar Masjid Nabawi merupakan tempat tinggal para sahabat dan pemukiman utama masyarakat Madinah. Pada saat itu, Madinah itu hanya meliputi kawasan sekarang yang disebut “area masjid Nabawi Modern” dan beberapa desa di antaranya Quba dan Baqi.

Dengan kata lain, kota Madinah pada masa Nabi seluas Masjid Nabawi para era sekarang. Dalam situs tersebut, juga  terlihat rumah nabi dan para sahabat sangat berdekatan. Rumah para sahabat tersebut kini diabadikan pada nama pintu masuk masjid Nabawi, misalnya pintu Abu Bakar (gate 2), Usman bin Affan (gate 23, 24, 25), dan Ali bin Abi Thalib (gate 27, 28, 29, 30). Data ini menggambarkan jangkauan wilayah rukyat tidak luas. Individu yang melaporkan rukyat kepada Rasulullah Saw kemungkinan besar tidak jauh dari pusat kota. Bahkan jika berasal dari desa sekitar, jaraknya tidak lebih dari beberapa kilometer, yang mudah dijangkau dalam waktu singkat dengan berjalan kaki atau berkendara menggunakan unta.

***

Kondisi ini menggambarkan praktik rukyatul hilal yang disebutkan Rasulullah dalam berbagai hadis bersifat abduktif, terbuka, dan tidak mengingkari penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai perkembangan zaman. Hanya pihak yang menutup diri dan bertahan pada pola pikir yang dimiliki tanpa mendialogkan aspek historis-arkeologis sulit menerima hisab sebagai alternatif penentu awal bulan kamariah demi kemaslahatan bersama. Jika pendukung rukyat menyadari wilayah kota Madinah hanya seluas Masjid Nabawi sekitar 0,5 km2 dan hadis-hadis rukyat diturunkan seluruhnya di Kota Madinah, maka praktik yang dilakukan selama ini tidak sesuai yang dicontohkan Rasulullah Saw.

Baca Juga  Inilah Argumentasi Dasar Kriteria Wujudul Hilal

Salah satunya adalah konsep matlak wilayatul hukmi. Selama ini wilayatul hukmi bagi pengguna rukyat dipahami sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke seluas sekitar 1.904.569 km2. Data ini tidak sebanding dengan luas wilayah kota Madinah era Rasulullah Saw. Dengan kata lain, pengguna rukyat telah melakukan penafsiran keberlakuan hasil rukyat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Dalam kasus hasil rukyatul hilal Sidoarjo di atas, pemburu hilalnya dianggap memiliki ketajaman mata yang memadai, sehingga berhasil melihat hilal meskipun tidak ada bukti autentik yang bisa dikaji bersama. Tentu kasus ini tergantung pendekatan yang digunakan. Jika pendekatan yang digunakan “gnostisisme” sebagaimana berkembang di wilayah filsafat Islam, maka hasil laporan tersebut bisa diterima dan bersifat spekulatif-individual. Namun laporan pemburu hilal tersebut sulit dijadikan pijakan objektif-kolegial, karena tidak bisa diuji secara terbuka. Disinilah internal pengguna rukyat perlu merenungkan ulang secara jernih, apakah penggunaan “rukyat tekstual” masih relevan dalam menghadapi tantangan zaman dan dipertahankan secara berlebihan.

Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.

Editor: Soleh

Avatar
48 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Feature

Ketika Muhammadiyah Menyatukan Fans Sepakbola dan Anak Skena Lewat Kotagede Cup

3 Mins read
Selepas waktu magrib, lapangan Karang yang berada di kawasan Kotagede Yogyakarta riuh. Ahad terakhir di penghujung tahun 2024, sebuah pertandingan sepakbola amal…
Feature

Bukankah Dia Manusia?

3 Mins read
Potongan kalimat judul di atas, diambil dari potongan hadis ketika Nabi dan para sahabatnya sedang berbincang-bincang, dan seketika itu lewatlah pembawa jenazah…
Feature

Haji Rasul dan Polemik “Berdiri” Pembacaan Maulid Nabi di Minangkabau

3 Mins read
Diskursus polemik “berdiri” pembacaan Maulid Nabi ini mulai muncul kepermukaan masyarakat Minangkabau, ketika pada tahun 1914, kali pertama Abdullah Ahmad menerbitkan tulisannya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds