Feature

Buw: Berani Bermimpi

8 Mins read

Yogyakarta, 10 Juni 1979. Udara terasa sejuk ketika matahari pagi hampir menampakkan diri di ufuk timur. Beberapa ibu sedang menyapu halaman rumah di Blok G kompleks PJKA Pengok. Dua becak perlahan memasuki gang dengan masing-masing membawa dua penumpang. Satu becak berhenti di rumah nomor G-4 dan becak lainnya di seberangnya, rumah nomor G-16. Salah satu dari empat penumpang itu adalah aku. Kami baru saja menyelesaikan perjalanan panjang.

Dimulai sejak lima hari sebelumnya naik bis malam Kerinci-Padang. Dilanjutkan naik kapal laut Bogowonto Teluk Bayur-Tanjung Priok. Diteruskan naik kereta api Gambir-Tugu. Lupakan kaki bengkak dan kelelahannya. Sungguh bagiku ini sebuah perjalanan mimpi yang menjadi nyata. Seorang tamatan SD di pedalaman Bukit Barisan Sumatera bagian tengah, melanjutkan sekolah di kota pelajar Yogyakarta. Adalah kakakku nomor empat. Nama lengkapnya Mushlih bin Haji Zainuddin. Dialah pemilik ide dari mimpi ini dan bersikeras menjadikannya nyata.

BUW: Kakak Nomor Empat

Aku biasa memanggil kakak nomor empatku ini dengan Buw. Di desa kami, Pulau Sangkar dan di Kerinci, pada umumnya, sama dengan di Bali. Ada panggilan berbeda atas anak sesuai urutan kelahiran. Anak pertama dipanggil Wao, anak kedua dipanggil Ngah, anak ketiga dipanggil Ndaek, anak keempat dipanggil Buw atau Buh, anak kelima dipanggil Cik, dan anak terakhir dipanggil dengan Nsuw, Nzuw, atau Ncuw.

Bila di atas si bungsu ada anak nomor enam dan seterusnya maka akan dipanggil sesuai karakter tertentu dari sang anak. Anak berbadan besar dipanggil Dong, anak berbadan tinggi atau panjang dipanggil Njang, dan anak dengan badan yang nyempluk, bulat, dipanggil Uleet atau Uleak. Di belakang nama panggilan itu barulah disebut nama asli anak. Aku anak terakhir dari sepuluh bersaudara. Karena itu aku dipanggil dengan Ncuw Mahli. Sedangkan kakakku yang sedang aku ceritakan ini adalah kakak keempatku. Maka aku memanggilnya dengan Buw Mushlih. Atau versi lebih singkat Buw.

Buw adalah perwujudan dari mimpi Upoak (bapak, panggilan untuk seorang ayah di desa kami/Kerinci) tentang pendidikan anak-anaknya. Sebagai pecinta ilmu meskipun tinggal di pedalaman Upoak, ingin sekali anak-anaknya melanjutkan sekolah setinggi-tingginya.

Pendidikan Upoak

Upoak sendiri meraih pendidikan tertinggi pada masanya. Beliau alumni Sumatera Thawalib Padang  Panjang pada 1934. Padang Panjang khususnya, dan Sumatera Barat umumnya, pada era itu adalah pusat pendidikan Islam di Indonesia. Ribuan pelajar menuntut ilmu di sana. Mereka berasal dari Sumatera,  Jawa, bahkan semenanjung Malaysia.

Pada suatu kesempatan, Upoak bercerita bahwa teman sekamarnya bernama Zarkasyi, setelah pulang ke Jawa, ikut mendirikan Pesantren Gontor di Ponorogo. Sedangkan Upoak, setamat Thawalib, pulang kampung. Beliau menjadi buya regional sekaligus pemimpin adat dengan gelar Depati Tago.

Karena tingggal di kawasan yang terbatas, maka ilmu dan karir  akademiknya tidak berkembang.  Keinginan Upoak agar anak-anaknya sekolah setinggi-tingginya terwujud pada anak keempatnya yaitu Buw Mushlih. Buw juga tamatan Thawalib Padang Panjang. Pada 1975, dia menjadi orang pertama dari desa kami yang kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kiprah Buw

Dalam rencana keluarga kami Buw diharapkan bisa membawaku mengikuti jejaknya. Ketika Buw berangkat ke Jogja, secara ekonomi keluarga kami masih kuat. Upoak dan Indok (ibu, Kerinci), memiliki ladang kopi dan kulit manis, dan tentu saja sawah, yang dikelola secara mandiri. Dari hasil berladang, bisa diperoleh dana yang digunakan untuk membiayai kuliah Buw.

Selanjutnya, diharapkan setamat kuliah Buw,akan bekerja mapan, terutama menjadi PNS. Sehingga bisa menggeret adik-adiknya melanjutkan sekolah. Dalam kerangka ini, setamat SD, aku ditarik ke Jogja. Awalnya rencana ini berjalan lancar. Seiring dengan bertambahnya umur Upoak, produkTVtas beliau sebagai petani yang mengandalkan tenaga makin menurun.

Baca Juga  Asyuro di Iran, dari Tangisan menuju Perlawanan

Ketika kiriman dari kampung halaman mulai terasa tidak mencukupi, Buw bergerak mencari biaya tambahan. Sambil kuliah dan menjadi akTVs mahasiswa, dia menjadi guru ngaji privat di beberapa keluarga. Buw memang memiliki kelebihan dalam hal ini. Di banyak tempat dia tinggal selalu berhasil membina pengajian anak-anak.  Awalnya, Buw mengajar pada beberapa keluarga para pejabat perkerataapian di Pengok Blok A. Lalu berkembang ke beberapa keluarga lainnya di luar Pengok.

Masa Tinggal di Yogyakarta

Masa tinggal di Blok G merupakan masa remaja yang indah bagiku. Setidaknya sampai kelas satu SMA. Blok dalam kampung ini berada di tengah kota Yogyakarta.  Di sini berkumpul puluhan mahasiswa asal Kerinci yang kuliah di Jogja. Maka bahasa dan suasana Kerinci terasa tidak asing. Tentu saja ada banyak teman sebaya dan sepadan secara sosial ekonomi. Maka kehidupan sehari-hari terasa guyub. 

Pagi hari, kami berangkat sekolah berjalan kaki bersama-sama sejauh sekitar dua kilometer. Sore hari, kami berjamaah magrib dilanjut mengaji bersama di masjid Nurul Huda. Malam hari, kami biasa nonton TV di rumah di depan kosku. Ini satu-satunya TV di blok kami saat itu. Pada malam tertentu, warga satu blok tumpah ruah di depan TV menonton acara paling favorit Ketoprak Mataram.

Dengan cara ini, aku belajar dan bisa berbicara dalam bahasa Jawa hanya dalam waktu dua bulan. Pada hari libur, kami main bola bersama di halaman SD Inpres di sebelah blok. Pada malam Minggu, kami berjalan beramai-ramai  di Jalan Solo, jalan teramai di Jogja saat itu selain Malioboro. Tentu saja kami lebih banyak menjadi penonton keramaian orang. Tidak ada dana untuk kuliner atau belanja lainnya.

Buw meninggalkan Jogja pada 1984. Saat itu aku sudah duduk di kelas dua SMA. Sebelum berangkat,  Buw menunaikan beberapa tanggungjawab sebagai kakak keempat pada si Ncuw yang akan ditinggalkannya sendiri di rantau orang ini. Untuk itu beliau menitipkan aku pada teman dekatnya, Uda Wil, dan mencari tempat kos baru untukku di dekat rumah Uda Wil yang sudah menikah dengan orang Jogja, di kampung Kauman. 

Informasi Baru Tentang Buw

Setelah Buw meninggalkan Jogja, aku sering kehilangan komunikasi dengannya. Maklumlah waktu itu belum ada HP. Sarana komunikasi utama adalah surat. Untuk Jogja-Kerinci, diperlukan waktu paling cepat seminggu. Untuk hal-hal darurat, digunakan telegram. Surat menyurat aku dengan Upoak di Kerinci tetap lancar.

Dari surat beliau, sedikit informasi aku peroleh tentang Buw. Bahwa awalnya Buw menuju desa perentak Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Sarulangun Bangko. Dia berkumpul bersama keluarga barunya. Di sana istri Buw bekerja menjadi PNS sebagai guru SD. Sesekali datang juga surat dari Buw untukku. Menariknya, surat berasal dari alamat yang berbeda-beda. Kadang dari Bangko, kadang dari kota Jambi, kadang dari Kerinci, dan kadang dari Jakarta.

Mimpi Baru Buw

Belakangan, aku tahu bahwa pada periode ini, Buw sedang membangun mimpi-mimpi baru. Buw  tetap memegang tanggungjawab keluarga kami untuk menyekolahkan aku sebagai adik bungsu  setinggi-tingginya. Dia juga ingin menghantarkan Indok dan Upoak untuk berangkat haji lagi. Menurut Buw, keinginan mulia ini tidak bisa diwujudkan bila dia hanya menjadi pegawai. Maka Buw membangun mimpi baru, menjadi pebisnis.

Sebagai seorang yang memiliki komunikasi interpersonal yang baik, ia memiliki banyak sahabat di mana-mana. Di Jambi, dia cukup dekat dengan kepala kanwil Dikbud kala itu. Konon, ia diberi pilihan menjadi PNS atau berbisnis dengan modal dari beliau. Tentu saja Buw memilih yang kedua. Maka suatu ketika saat pulang kampung, aku meninjau Buw di Perentak dengan kolam-kolam ikan besar yang dibangunnya dengan modal dari sahabatnya yang pejabat itu. Pada kesempatan lain, Buw muncul di Jogja. Dia sengaja singgah menengok adik bungsunya dalam perjalanan bisnis mencari pasar sarang burung walet.

Baca Juga  Kisah Perjuangan Hidup Sang Marbot, Mengabdi Penuh untuk Persyarikatan

Tetapi dalam bisnis, nasib baik tidak berpihak pada Buw. ia sukses dalam membina pengajian anak-anak sehingga memiliki banyak murid mengaji yang mengingatnya sepanjang masa. Tetapi Buw tidak dalam bisnis. Ketidaksusksesan bisnis ini berdampak langsung pada nasib studi adik bungsunya yang saat itu tinggal sendiri di Jogja.

Dengan kata lain rencana besar keluarga tidak bisa dijalankan. Pada sisi lain, pada tahun-tahun ini kondisi ekonomi keluargaku berada pada titik terendah. Memang tidak ada masalah dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hasil dari pengolahan sawah dan ladang yang ada lebih dari cukup untuk itu. Tetapi dana segar yang cukup untuk dikirim ke anak bungsu di rantau tidak mudah dikumpulkan.

Pada 1984 itu Upoak berumur 74 tahun. Sehingga produktivitasnya sebagai petani tradisonal sudah menurun jauh. Meskipun demikian keluarga tetap mendorong aku untuk  menyelesaikan studi sampai tamat SMA. Untuk itu kiriman keluarga masih datang. Tetapi namanya tidak lagi kiriman bulanan. Bisa jadi dua atau tiga bulanan. Soal cukup atau tidak itu cerita lain.

Nasib Baru

Aku ikhlas menerima nasib ini. Aku yakin keikhlasan adalah mata air yang bisa mengalirkan ketabahan. Maka aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Aku sadar bahwa Buw sudah berkelurga dan berada pada posisi berbeda dengan saat masih sendiri. Kini dia memiliki tanggung jawab baru yang tidak bisa ditinggalkan.

Selanjutnya, aku harus mengandalkan diri sendiri. Toh aku masih baik-baik saja, tidak sengsara amat. Bahkan, aku menganggap situasi ini sebagai sebuah petualangan, sesuatu yang mengasyikkan. Aku juga melihat ini sebagai nasib baik dalam arti aku sedang mendapatkan pelajaran kehidupan langsung.

Kalau dalam petualangan ini betul-betul terpojok, mati langkah, aku masih bisa pulang kampung, putar arah. Di kampung halaman, aku bisa membuka lahan, mengolah ladang kopi, atau kulit manis di sela-sela Bukit Barisan, dan menikahi gadis tercantik di desa kami. Kan aku anak sekolahan Jogja. Hehehe.

Maka pada periode ini aku mulai sekolah sambil bekerja. Aku menjadi sales buku. Aku juga   mencetak dan menjual stiker SMA Muhi ke teman-teman sekolahku. Aku menjadi suplier kerupuk jangek (rambak) yang diproduksi keluarga Uda Wil. Untuk itu, aku  keliling ke beberapa warung di Jogja dengan sepeda balap dan ransel besar penuh rambak dipunggung.

Ohya, sepeda balap ini hadiah terindah dari Buw untukku. Buw membelinya ketika memperoleh dana dari KMI (kredit mahasiswa Indonesia). Aku juga meneruskan usaha Buw menjadi guru privat mengaji pada sebuah kelurga di Muja Muju. Pada keluarga yang nampak sayang atau mungkin iba dengan si Ncuw ini, di samping mengajar ngaji aku juga mengajar matematika.

***

Saat itu, aku kelas dua SMA dan murid tertuaku anak sulung keluarga ini, seorang siswi kelas satu SMA. Murid lainnya adalah tiga adiknya. Menariknya dalam masa-masa ini, aku menemukan banyak  indok-indok. Mereka adalah sahabat Buw, yang bangga dan mendukung aku dalam tetap bertahan di Jogja.

Maka meski dompet sering kempis, kehidupan tetap terasa nyaman. Pada sisi lain, aku aktif di organisasi kesiswaan Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Kesibukan bertahan secara ekonomi dan keaktifian dalam organisasi membuat prestasi akademikku stagnan. Tidak di bawah sekali meski tidak pernah masuk tiga besar. Sebagai juara umum saat lulus SMP sebelumnya, aku hanya berprestasi pada semeter pertama kelas satu. Mulai semester kedua, apalagi pada kelas dua dan tiga, lupakan predikat juara.

Baca Juga  Perempuan dan Budaya Arab Saudi

Musibah Menimpa Buw

Medio 1990, sebuah musibah menghampiri Buw. Mobil yang dia tumpangi pada kecepatan tinggi,  terbalik dalam perjalanan di jalan lintas Sumatera, Muara Bungo-Bangko. Buw mengalami kelumpuhan separo badan. Setengah tahun kemudian, Informasi tentang ini baru disampaikan keluarga padaku. Saat itu, aku berada dalam semester akhir dan dalam proses  menyelesaikan skrispsi sebagai mahasiswa Pondok Shabran-UMS. Aku diminta pulang untuk membawa Buw berobat lebih lanjut ke pulau Jawa.

Maka aku berangkat menjemput Buw di Kerinci. Aku membawa Buw berobat pertama di Cimande Bogor selama beberapa minggu. Lalu Buw opname selama beberapa bulan di rumah sakit Pusat Orthopedi Nasional Dr. Suharso di Solo. Buw juga aku bawa berobat di salah satu pesantren sangkal putung di Tengaran Semarang.

Setelah itu, ia menjalani pijat refleksi pada pak Zuhdi di Kelet-Jepara. Saat itu ia tinggal beberapa minggu di rumah teman kuliahku yang asli Jepara yang belakangan menjadi belahan jiwaku. Pada masa ini juga aku sempat mencari obat untuk Buw ke Jatirogo-Tuban, Jawa Timur. 

Di ujung peralanan pengobatan ini, ia mengalami banyak perkembangan. Saat aku jemput di Kerinci memakai krek pada kedua tangannya. Lima bulan kemudian, aku melepas Buw di terminal Pati. Beliau sudah bisa naik bis Jambi Indah sendiri dengaan tubuh yang makin segar dan hanya memegang satu tongkat kecil. Alhamdulillaah.

Buw Meninggal Dunia

Sejak itu Buw  banyak tinggal di kampung halaman kami di Kerinci. Sesekali dia keluar daerah. Bahkan suatu saat sampai juga ke Jakarta. Meskipun tidak bisa pulih seratus persen, Buw sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Mimpi-mimpi bisnis tetap menyertainya. Tetapi yang menggembirakanku Buw kembali mengajar mengaji di berbagai tempat dimana dia tinggal.

Maka aku sering bertemu murid-murid Buw yang sangat menghormatinya. Sebagian dari mereka atas rekomendasi Buw melanjutkan kuliah di Jogja. Beberapa menjadi mahasiswaku di UMY. Pertengahan 2005, Buw dipanggil Allaah untuk selamanya.

Buw berangkat bersama sebagian mimpi, terutama mimpi bisnisnya yang belum sempat berhasil, pada usia 50 tahun. Aku langsung terbang dari Jogja menuju Jambi dan dari sana dijemput kemenakan untuk melanjutkan perjalanan takziyah menuju kampung halaman kami di Kerinci.

***

Jakarta, Januari 2020. Kami baru saja selesai makan sore di salah satu sudat  Kota Lama. Di sebelahku duduk Nzuw Tim. Di depan kami ada Dini dan Engki suaminya. Kami singgah dalam perjalanan menuju bandara Soetta menghantar aku pulang ke Jogja.

Nzuw Tim berada di Jakarta dalam rangka memeriksakan kesehatan sekaligus meninjau Dini anak bungsunya bersama Buw. Meski sepeninggal Buw dia menikah lagi, bagaimanapun Nzuw Tim tetap saudaraku. Tetapi nasib telah membawa sejarah hidup kami tidak sejalan dengan mimpi indah keluarga besar.

Allah rupanya memiliki qadha lain. Mimpi indah tiga anak Buw bersama Nzuw Tim menjadi nyata:  Wo Asra menjadi guru PNS di kampung halaman kami, Ngah Dina menjadi polwan di Muaro Bungo, dan Ncuw Dini menjadi dosen pada satu universitas besar di Jakarta Selatan.

Mimpi Buw sekaligus rencana besar keluarga kami untuk menyekolahkan adik bungsunya setinggi-tingginya alhamdulillah juga menjadi nyata. Beberapa tahun setelah Buw wafat, Si Ncuw menjadi orang pertama dari desa kami yang menyelesaikan studi doktornya di UGM.

Maka perasaan lega hadir di meja makan kami sore itu. Buw seakan hadir kembali di tengah-tengah kami. Keberaniannya bermimpi dan beberapa mimpinya yang  menjadi kenyataan  semoga menjadi amal saleh yang menemani perjalanannya lebih lanjut  di alam baka. Aamiin

Editor: Yahya FR
Avatar
26 posts

About author
Ketua LazisMu PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *