Hikmah Perang Badar
Hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah merupakan titik awal Islam mulai berkembang, saat itu kabilah-kabilah di Arab mulai memperhitungkan keberadaan umat Islam, sampai pada terjadinya perang besar pertama melawan kafir Quraisy, yakni pada Perang Badar, umat Islam semakin kuat dan menjadi kekuatan politik. (Yatim, 1993)
Perang Badar terjadi pada tahun kedua Hijriah tanggal 17 Ramadhan (13 Maret 624 Masehi) di Lembah Badar. Umat Islam dengan jumlah pasukan 313 melawan pasukan Quraisy 1000 lebih dengan persenjataan yang lengkap pula, digambarkan dalam buku Footsteps of the Prophet : Lessons From the Life of Muhammad, ketika kedua pasukan berkemah di Badar, tampak sekali perbedaan kekuatan antara tentara Quraisy dan pasukan Muslim. (Ramadhan, 2014)
Melihat perbandingan secara kasat mata yang tidak sepadan itu, Nabi Muhammad sempat menangis kemudian menghadap kiblat dan bermunajat kepada Allah Ta’ala “Ya Allah, penuhilah bagiku apa yang telah engkau janjikan kepadaku, ya Allah, jika rombongan yang bersamaku ini ditakdirkan untuk binasa, niscaya takkan ada seorang setelah aku yang akan menyembah Mu di muka bumi ini” (HR. Muslim)
Setelah itu, Nabi Muhammad Saw merapatkan barisan. Beliau menjelaskan strategi perlawanan untuk memenangkan pertempuran, dengan strategi yang rapi dan penuh perhitungan, maka umat Muslim memperoleh kemenangan.
Pentingnya Kualitas daripada Kuantitas
Umat Islam dengan jumlah yang lebih sedikit itu, telah memenangkan pertempuran dengan musuh yang kekuatannya tiga kali lipat lebih banyak. Ini menjadi bukti, bahwa kuantitas tidak selalu menentukan kualitas. Ini menjadi hikmah pertama Perang Badar yang harus kita ketahui.
Mengingat saat ini Indonesia adalah negara dengan mayoritas umat Muslim terbesar di dunia. Apabila kita berkaca pada perang Badar, baiknya kita sebagai umat Muslim bermuhasabah diri untuk menjadi Muslim yang berkualitas.
Dalam artian kita menjadi Muslim yang memiliki kecakapan ilmu agama yang baik, berwawasan luas, memiliki semangat juang yang tinggi, layaknya semangat juang pasukan Muslim ketika Perang Badar. Mereka pantang menyerah untuk meraih kemenangan. Menjadi seorang Muslim yang turut serta berjuang dalam menegakkan agama.
Muslim yang Berpegang Teguh pada Kebenaran
Dalam Al Qur’an, hari ketika terjadinya Perang Badar disebut pula dengan Yaumul Furqan. Hari itu menjadi hari pembeda antara yang memperjuangkan kebenaran dan kebatilan. Sebagai umat Muslim yang sejati, kita dituntut untuk menjalani kehidupan dengan berpegang teguh pada kebenaran yang telah kita yakini, yakni nilai-nilai Islam.
Di tengah zaman yang serba mengikut arus trend seperti sekarang ini, umat Muslim harus memiliki pegangan dan batasan supaya tidak turut mengikuti arus yang bisa berujung pada hal-hal batil.
Islam: Agama yang Menjunjung Nilai Kemanusiaan
Setelah perang badar usai, umat Muslim mendapat harta ghanimah (rampasan perang) cukup melimpah. Namun dibalik itu, terdapat juga korban di kedua belah pihak yang cukup banyak. Pasukan Islam yang meninggal dunia sebanyak 14 orang dan kaum kafir Quraisy 70 orang. Ada juga pasukan kafir Quraisy yang menjadi tawanan kaum Muslim sebanyak 70 orang.
Dalam memperlakukan tawanan dari kaum kafir Quraisy, merujuk dalam buku Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam (Raghib as-Sirjani, 2011), Rasulullah memperlakukan Tawanannya dengan empat cara. Pertama, mengeksekusi mati, namun ini sangat jarang sekali dilakukan. Kedua, membebaskan dengan tebusan.
Ketiga, Membebaskan dengan syarat mengajarkan baca-tulis. Sebab Rasulullah tahu, bahwa tidak semua tawanan memiliki harta berlimpah. Oleh karenanya, bagi tawanan yang bisa baca-tulis, mereka akan dibebaskan jika mau mengajari umat Islam atau dari kaum Anshar tentang baca-tulis.
Keempat, membebaskan tanpa syarat apapun. Rasulullah tidak memberi pilihan ini atas kehendak sendiri, akan tetapi keputusan itu di ambil setelah beliau mendiskusikannya dengan para sahabatnya. Tentu untuk tawanan yang dibebaskan tanpa syarat apapun memiliki sebab-sebab yang membuat umat Muslim mengambil langkah itu.
Dari kebijakan memperlakukan tawanan perang ini, betapa Rasulullah memiliki empati dalam kemanusiaan. Sebagaimana budaya pada masa itu, setiap tawanan perang rata-rata disiksa terlebih dahulu sebelum pada akhirnya dibunuh.
Jihad Melawan Hawa Nafsu
Ketika semua dinamika peperangan telah usai, dan umat muslim kembali menuju ke kota Madinah. Ada kisah yang ter-abadikan dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya, “Kalian telah pulang dari suatu jihad kecil menuju jihad besar.”
Sahabat bertanya, “Apakah jihad yang lebih besar itu, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab,”jihad melawan hawa nafsu”
Hakikat dari jihad melawan hawa nafsu pada dasarnya adalah melawan musuh-musuh Allah atau segala hal yang merusak diri sendiri. sebab, seseorang tak akan mampu berperang melawan mereka sampai ia berhasil menundukkan hawa nafsunya sendiri.
Dalam artian, kaum Muslim dituntut untuk berjuang melawan nafsu yang bersifat merusak. Seperti sifat malas, nafsu kekuasaan yang menindas serta semua nafsu godaan duniawi yang melampaui batas.
Kaum Muslim diminta untuk berjuang dalam berbagai bidang, baik intelektual, ekonomi, spiritual, maupun sosial. Perjuangan ini jauh lebih panjang dan lebih sulit, yakni berujung pada mereformasi diri mereka sendiri serta masyarakat yang sesuai nilai-nilai Islam.
Editor: Saleh